Menteri PPPA Kecam Aksi Pembakaran Pakaian dan Pengusiran Terhadap Perempuan di Cianjur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kasus yang dialami N, warga Kabupaten Cianjur , Jawa Barat, yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari warga berupa pengusiran dan pembakaran pakaian, mendapat perhatian serius dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( Kemen PPPA ). Menteri PPPA Bintang Puspayoga, secara tegas mengecam kekerasan yang dialami N yang diduga dilakukan oleh sekelompok warga Kecamatan Sukaluyu, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat itu.
Kemen PPPA sendiri menerima laporan, aksi pengusiran warga terhadap perempuan berusia 28 tahun tersebut dilakukan karena N merupakan perempuan yang diduga melakukan poliandri. Namun, dugaan itu tidak seharusnya menjadi pembenaran bagi warga untuk bisa menghakimi N. Baca juga: Selamatkan Warga dari Zona Merah, BIN Siapkan 15.000 Vaksin
“Saya merasa prihatin dan menyayangkan terjadinya aksi tersebut. Semestinya sebagai warga negara yang baik dan memiliki aturan hukum, aksi main hakim sendiri (eigenrichting) tidak perlu dilakukan dengan alasan apapun," kata Bintang dalam keterangan resmi, Rabu (18/5/2022).
Menteri menilai, dalam kasus tersebut perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. "Apapun alasannya, permasalahan sebab akibat menjadi syarat mutlak yang harus dilihat dalam kasus N ini,” jelasnyai.
Menteri PPPA menuturkan bahwa aksi pembakaran pakaian dan pengusiran korban yang disertai dengan caci maki oleh warga tersebut, masuk dalam kategori tindakan penghakiman atau 'main hakim sendiri.'
Tindakan tersebut, jelas dia, merupakan perbuatan sewenang-wenang yang tidak berdasarkan pada hukum yang berlaku. "Apapun kesalahan seseorang, upaya main hakim sendiri merupakan hal yang dilarang oleh hukum," tegas dia.
Jika melihat hukum yang berlaku, lanjut Bintang, perbuatan warga desa setempat bisa dikenakan Pasal 406 KUHP tentang penghancuran atau perusakan barang. Pasal tersebut berbunyi 'Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum, menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah'.
Selain Pasal 406 ayat (1) KUHP, pelaku dapat juga dikenakan Pasal 170 KUHP, jika terbukti adanya kekerasan yang dilakukan bersama-sama (pengeroyokan). Pasal tersebut menyebutkan 'Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.'
Sementara, terkait poliandri sendiri, papar dia, disebutkan dalam Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa negara menyatakan asas perkawinan Indonesia adalah monogami, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 3 ayat 1 'pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.'
Dalam ayat (2) UU itu, diatur ketentuan poligami, yaitu 'Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan'. "Sedangkan untuk ketentuan sebaliknya (terkait poliandri) tidak diatur dalam UU Perkawinan di Indonesia," jelas dia.
Bintang menjelaskan, semestinya masyarakat bisa lebih bijak untuk mendengarkan dan mengetahui terlebih dahulu alasan N melakukan poliandri secara diam-diam itu. Tidak menutup kemungkinan, pemicu praktik tersebut karena N mengalami KDRT, faktor ekonomi, dan lain sebagainya.
“Saya mengapresiasi UPTD PPA Kabupaten Cianjur yang telah bergerak cepat untuk melakukan penjangkauan kepada Korban untuk melakukan klarifikasi terlebih dahulu terkait kejadian yang menimpa korban,” ujar Menteri PPPA.
Kemen PPPA, lanjutnya, akan mengawal kasus ini bersama Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang membidangi urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, dalam hal ini Dinas PPPA Provinsi Jawa Barat, Dinas Kabupaten Cianjur dan UPTD PPA Kabupaten Cianjur yang secara fungsional memiliki tugas yang sama dengan Kemen PPPA dalam melakukan layanan, khususnya penjangkauan korban, dan pendampingan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dan bantuan hukum,
Kemen PPPA sendiri menerima laporan, aksi pengusiran warga terhadap perempuan berusia 28 tahun tersebut dilakukan karena N merupakan perempuan yang diduga melakukan poliandri. Namun, dugaan itu tidak seharusnya menjadi pembenaran bagi warga untuk bisa menghakimi N. Baca juga: Selamatkan Warga dari Zona Merah, BIN Siapkan 15.000 Vaksin
“Saya merasa prihatin dan menyayangkan terjadinya aksi tersebut. Semestinya sebagai warga negara yang baik dan memiliki aturan hukum, aksi main hakim sendiri (eigenrichting) tidak perlu dilakukan dengan alasan apapun," kata Bintang dalam keterangan resmi, Rabu (18/5/2022).
Menteri menilai, dalam kasus tersebut perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. "Apapun alasannya, permasalahan sebab akibat menjadi syarat mutlak yang harus dilihat dalam kasus N ini,” jelasnyai.
Menteri PPPA menuturkan bahwa aksi pembakaran pakaian dan pengusiran korban yang disertai dengan caci maki oleh warga tersebut, masuk dalam kategori tindakan penghakiman atau 'main hakim sendiri.'
Tindakan tersebut, jelas dia, merupakan perbuatan sewenang-wenang yang tidak berdasarkan pada hukum yang berlaku. "Apapun kesalahan seseorang, upaya main hakim sendiri merupakan hal yang dilarang oleh hukum," tegas dia.
Jika melihat hukum yang berlaku, lanjut Bintang, perbuatan warga desa setempat bisa dikenakan Pasal 406 KUHP tentang penghancuran atau perusakan barang. Pasal tersebut berbunyi 'Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum, menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah'.
Selain Pasal 406 ayat (1) KUHP, pelaku dapat juga dikenakan Pasal 170 KUHP, jika terbukti adanya kekerasan yang dilakukan bersama-sama (pengeroyokan). Pasal tersebut menyebutkan 'Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.'
Sementara, terkait poliandri sendiri, papar dia, disebutkan dalam Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa negara menyatakan asas perkawinan Indonesia adalah monogami, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 3 ayat 1 'pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.'
Dalam ayat (2) UU itu, diatur ketentuan poligami, yaitu 'Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan'. "Sedangkan untuk ketentuan sebaliknya (terkait poliandri) tidak diatur dalam UU Perkawinan di Indonesia," jelas dia.
Bintang menjelaskan, semestinya masyarakat bisa lebih bijak untuk mendengarkan dan mengetahui terlebih dahulu alasan N melakukan poliandri secara diam-diam itu. Tidak menutup kemungkinan, pemicu praktik tersebut karena N mengalami KDRT, faktor ekonomi, dan lain sebagainya.
“Saya mengapresiasi UPTD PPA Kabupaten Cianjur yang telah bergerak cepat untuk melakukan penjangkauan kepada Korban untuk melakukan klarifikasi terlebih dahulu terkait kejadian yang menimpa korban,” ujar Menteri PPPA.
Kemen PPPA, lanjutnya, akan mengawal kasus ini bersama Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang membidangi urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, dalam hal ini Dinas PPPA Provinsi Jawa Barat, Dinas Kabupaten Cianjur dan UPTD PPA Kabupaten Cianjur yang secara fungsional memiliki tugas yang sama dengan Kemen PPPA dalam melakukan layanan, khususnya penjangkauan korban, dan pendampingan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dan bantuan hukum,
(don)