Jalan Dago dan Jalur Tradisional Kerajaan Pajajaran
loading...
A
A
A
Pamor dan legenda Jalan Ir H Djuanda atau Dago, di utara Bandung ini cukup kuat. Lebar jalan lebih dari 25 meter lengkap dengan trotoar tertata rapi.
Yang membedakan dengan jalan lain, Jalan Dago dihiasi puluhan pohon besar menjulang tinggi berusia puluhan tahun.
Tapi apakah Anda tahu jika jalan yang membentang dari persimpangan Jalan Merdeka-Riau hingga Dago Pakar ini dulu terhubung dengan jalur tradisional Kerajaan Pajajaran dari Kota Bandung hingga Banten?. (Baca: Gempa 5 SR di Pacitan, Warga Gunungkidul DIY Berhamburan Keluar Rumah)
Pegiat Komunitas Aleut, pemerhati sejarah Kota Bandung, Ariyono Wahyu Widjajadi mengatakan, berdasarkan toponimi atau penamaan sebuah tempat, bisa dilacak dari kata "dago" yang berasal dari bahasa Sunda, artinya "menunggu".
Secara sejarah, ujar pria yang akrab disapa Alex ini, dahulu, seperti dikutip dari buku karya Haryanto Kunto, disebutkan bahwa "dago" berasal dari bahasa Sunda yang berarti "menunggu". Jadi, dago merupakan tempat orang saling menunggu untuk bersama-sama turun ke kawasan kota.
Sebab, kata Alex, kondisi perjalanan mengharuskan orang yang tinggal di kawasan utara Bandung, saling menunggu karena masalah keamanan dan kerawanan, baik dari gangguan hewan buas dan tindak kejahatan.
Dari situlah, mungkin secara teori muncul nama Dago sehingga menjadi nama jalan dan kawasan. "Jadi, akan lebih aman jika bersama-sama atau tidak jalan sendirian. Seperti kondisi sekarang gitu kan. Misalnya saat malam keamanan kurang, dianjurkan pulangnya berusaha untuk jangan sendirian," kata Alex.
Alex mengemukakan, di Dago terdapat satu kecamatan, yakni Coblong yang merupakan kampung tua di Kota Bandung. Dulu ada jalur jalan tradisional Bandung yang menghubungkan dengan jalan tradisional pada masa kerajaan Pajajaran.
Rute jalur tradisional Kerajaan Pajajaran itu, ujar dia, dari Alun-alun Bandung kemudian ke Merdeka Lio, Kampung Balubur, Coblong, Dago, Buniwangi, dan Maribaya.
Taman air mancur Cikapayang yang berada di tepi Jalan Dago, Kota Bandung. Foto/SINDOnews/Agus Warsudi
Selanjutnya, jalan-jalan di Bandung tersebut menyambung dengan jalur tradisional Kerajaan Pajajaran yang telah ada sejak zaman Kerajaan Galuh dan Pakuan.
Yang membedakan dengan jalan lain, Jalan Dago dihiasi puluhan pohon besar menjulang tinggi berusia puluhan tahun.
Tapi apakah Anda tahu jika jalan yang membentang dari persimpangan Jalan Merdeka-Riau hingga Dago Pakar ini dulu terhubung dengan jalur tradisional Kerajaan Pajajaran dari Kota Bandung hingga Banten?. (Baca: Gempa 5 SR di Pacitan, Warga Gunungkidul DIY Berhamburan Keluar Rumah)
Pegiat Komunitas Aleut, pemerhati sejarah Kota Bandung, Ariyono Wahyu Widjajadi mengatakan, berdasarkan toponimi atau penamaan sebuah tempat, bisa dilacak dari kata "dago" yang berasal dari bahasa Sunda, artinya "menunggu".
Secara sejarah, ujar pria yang akrab disapa Alex ini, dahulu, seperti dikutip dari buku karya Haryanto Kunto, disebutkan bahwa "dago" berasal dari bahasa Sunda yang berarti "menunggu". Jadi, dago merupakan tempat orang saling menunggu untuk bersama-sama turun ke kawasan kota.
Sebab, kata Alex, kondisi perjalanan mengharuskan orang yang tinggal di kawasan utara Bandung, saling menunggu karena masalah keamanan dan kerawanan, baik dari gangguan hewan buas dan tindak kejahatan.
Dari situlah, mungkin secara teori muncul nama Dago sehingga menjadi nama jalan dan kawasan. "Jadi, akan lebih aman jika bersama-sama atau tidak jalan sendirian. Seperti kondisi sekarang gitu kan. Misalnya saat malam keamanan kurang, dianjurkan pulangnya berusaha untuk jangan sendirian," kata Alex.
Alex mengemukakan, di Dago terdapat satu kecamatan, yakni Coblong yang merupakan kampung tua di Kota Bandung. Dulu ada jalur jalan tradisional Bandung yang menghubungkan dengan jalan tradisional pada masa kerajaan Pajajaran.
Rute jalur tradisional Kerajaan Pajajaran itu, ujar dia, dari Alun-alun Bandung kemudian ke Merdeka Lio, Kampung Balubur, Coblong, Dago, Buniwangi, dan Maribaya.
Taman air mancur Cikapayang yang berada di tepi Jalan Dago, Kota Bandung. Foto/SINDOnews/Agus Warsudi
Selanjutnya, jalan-jalan di Bandung tersebut menyambung dengan jalur tradisional Kerajaan Pajajaran yang telah ada sejak zaman Kerajaan Galuh dan Pakuan.