Aturan KHDPK Picu Konflik Horizontal di Jabar

Jum'at, 13 Mei 2022 - 12:36 WIB
loading...
Aturan KHDPK Picu Konflik Horizontal di Jabar
Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Jawa Barat, Nace Peran melakukan musyawarah. Foto: Agung/SINDOnews
A A A
BANDUNG - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya telah meneken dan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 287 Tahun 2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) pada Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten.

Mengacu pada SK tersebut, kawasan hutan seluas 1,1 juta hektare "dilepas" dari Perhutani dan kembali dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), salah satunya ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program Perhutanan Sosial.

Selain Perhutanan Sosial, kebijakan KHDPK itu juga diklaim ditujukan untuk kepentingan penataan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan, dan pemanfaatan jasa lingkungan.



Namun, alih-alih bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat, penerapan aturan KHDPK di lapangan ternyata jauh dari harapan. Ironisnya lagi, penerapan aturan KHDPK justru cenderung memberikan ruang kepada kelompok-kelompok "kapitalis" yang hendak mengeruk kekayaan dari kawasan hutan.

"Terbitnya SK menteri nomor 287 terkait KHDPK ini sangat memprihatinkan karena jauh dari konsep-konsep kehutanan. Terbitnya regulasi ini justru cenderung lebih memberikan ruang kepada kelompok reforma agraria untuk kepentingan permukiman, bisnis, dan sebagainya. Artinya, ini sangat jauh menyimpang dari konsep konservasi," beber Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Jawa Barat, Nace Permana, Jumat (13/5/2022).

Terbukti, lanjut Nace, sejak SK tersebut terbit 5 April 2022 lalu, kelompok-kelompok yang mengatasnamakan kelompok reforma agraria tersebut sudah mulai berupaya mengambil alih kawasan hutan yang selama ini dikelola oleh Perhutani, termasuk LMDH. Kondisi tersebut, kata Nace, akhirnya memicu konflik horizontal.

Dia mencontohkan, di Kabupaten Karawang, kelompok reforma agraria sudah memasang papan pengumuman di kawasan hutan yang selama ini dikelola Perhutani dan LMDH. Bahkan, kata Nace, mereka sudah berani melarang Perhutani dan LMDH memasuki kawasan yang mereka klaim bagian dari KHDPK.



"Banyak gesekan antara masyarakat dengan masyarakat. Masyarakat yang tergabung dalam LMDH lahannya diambil alih. Ini kan konflik, kalau ini terus dibiarkan, ya sudah rakyat dengan rakyat perang. Di Karawang, beckhoe sudah masuk hutan dan mulai menggali hutan," paparnya.

Nace pun yakin, konflik serupa bakal terus bermunculan di Jabar. Bahkan, tidak hanya di Jabar, konflik horizontal juga kini sudah bermunculan di wilayah lain, seperti di Cibaliung, Provinsi Banten hingga Jawa Tengah dan Jawa Timur.

"Padahal, sampai hari ini pun, SK penetapan lahan KHDPK belum diterbitkan, baru mengatur kewenangan, tapi kelompok reforma agraria sudah mengkapling-kapling," sesal Nace.

Nace menekankan, aturan KHDPK ini sangat bertentangan dengan segala aspek, baik aspek hukum maupun sosial ekonomi. Selain mengancam masyarakat yang tergabung dalam LMDH, aturan KHDPK juga tentunya mengancam ekosistem hutan akibat eksplorasi hutan demi keuntungan ekonomi semata.



"Dengan terbitnya KHDPK, yang dirugikan bukan hanya LMDH, tapi juga konservasi dan lingkungan. Bayangin hutan di Jawa dipotong setengahnya untuk kepentingan reforma agraria. Bagaimana nasib penduduk Jawa ketika di Jawa sudah tidak ada hutan? Otomatis bencana kekeringan, longsor, dan bencana lain bakal terjadi karena hutan ini kan satu kesatuan ekosistem, ada tegakan ada penghijauan, ada binatang, ada sumber air," jelasnya.

"Ketika ini sudah hancur, ya sudah nasib pulau Jawa ini seperti dongeng orang tua kita yang menyebutkan Pulau Jawa ini tenggelam akan terbukti," tambah dia menegaskan.

Guna menyikapi persoalan tersebut, pihaknya bersama tokoh-tokoh rimbawan Jabar dari LSM Gerakan Hejo, Forum Penyelamat Lingkungan Hidup (FILM), dan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPLKTS), termasuk tokoh rimbawan luar Jabar telah menggelar pertemuan untuk merumuskan langkah-langkah strategis atas terbitnya aturan KHDPK tersebut di Bandung, Kamis (12/5/2022) kemarin.

"Secara politis, sebenarnya kami tidak perlu tangan lagi karena Komisi IV DPR RI telah menolak KHDPK. Tapi kami kurang yakin, gerakan ini selesai di Komisi IV DPR RI. Maka kami akan tetap melakukan langkah strategis, salah satunya meminta masyarakat LMDH mempertahankan haknya untuk tidak tergiur iming iming kelompok reforma agraria. Bila perlu melakukan patrloi, pagar betis dan lainnya," jelas Nace seraya mengaku bakal tetap berkoordinasi dengan Komisi IV DPR RI, agar aturan KHDPK bisa dicabut.



Nace menambahkan, aturan KHDPK juga telah mengancam peradaban LMDH yang sudah dimulai 2007 silam dimana telah terjadi simbiosis mutualisme antara keberadaan hutan dengan masyarakat sekitar yang berjuang meningkatkan derajat ekonominya.

"Kalau sekarang di-cut dengan KHDPK, ini akan meruntuhkan peradaban yang sudah terbangun," tandasnya.

Sementara itu, Ketua LSM Gerakan Hejo, Eka Santosa menegaskan, pihaknya menentang aturan KHDPK. Pasalnya, aturan tersebut jauh dari harapan dan sangat mengancam ekosistem hutan.

"Kebijakan ini harus disikapi baik dari aspek hukum, politis, termasuk aspek budaya karena telah mengancam keseimbangan alam dan menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat," tegasnya.



Terlebih, kata Eka, aturan KHDPK ini sebenarnya bertentangan dengan kontruksi hukum. Pasalnya, KHDPK lahir berdasarkan SK menteri yang jauh lebih rendah derajatnya dari Peraturan Pemerintah (PP) sebagai landasan hukum pengelolaan hutan oleh Perhutani selama ini.

Apalagi, dalam implementasinya di lapangan, aturan KHDPK ini malah memberi ruang bagi pihak-pihak yang ingin menguasai lahan hutan yang selama ini telah dikelola baik oleh Perhutani dan masyarakat. Tak heran, Eka pun mensinyalir bahwa terbitnya aturan KHDPK hanya demi kepentingan kaum kapitalis berkedok reforma agraria.

"Makanya, KHDPK ini untuk kepentingan siapa? LMDH ini kan rakyat. Apa mau diadu adukan? Jadi sudah jelas di lapangan akan terjadi konflik. Jika benar tujuannya untuk reforma agraria, kenapa lahan yang diincar lahan yang sudah dikuasai institusi negara? kenapa tidak diarahkan ke lahan telantar atau misalnya lahan HGU yang habis izinnya? Rakyat sudah baik, dengan adanya KHDPK ini menjadi kacau. Ini kan berbahaya, terlalu liberal. Jadi, jangan sampai kelompok industri, kapitalis menguasai hutan," tandasnya.
(san)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1795 seconds (0.1#10.140)