Kisah Kolonel Sentot, Pemimpin Pasukan Setan yang Ditakuti Belanda karena Kebal Peluru

Sabtu, 16 April 2022 - 05:00 WIB
loading...
Kisah Kolonel Sentot,...
Kolonel Muhammad Asmat Sentot. Pemimpin Pasukan Setan. Foto: Istimewa
A A A
PARA pejuang Indonesia begitu perkasa dan berani mati dalam memperjuangkan kemerdekaan. Hal itulah yang membuat para penjajah Belanda takjub dan segan terhadap para pejuang. Mereka tidak hanya punya nyali tetapi juga memiliki kesaktian.

Itu juga yang dimiliki salah seorang pejuang asal Indramayu yang namanya hingga kini dikenang. Dialah Kolonel Muhammad Asmat Sentot. Pemimpin Pasukan Setan yang disegani lawan-lawannya karena memiliki kesaktian tidak mempan peluru.



Peristiwa itu terjadi pada November 1947. Dalam buku berjudul “Perjuangan M.A.Sentot Dalam Perang Mempertahankan Kemerdekaan di Indramayu (1945-1949)" terbitan tahun 2018 disebutkan.

Kala itu, tentara Belanda yang sedang iring-iringan melewati Jembatan Bangkir Indramayu tiba-tiba terkapar karena dihantam bom dan dihujani brondongan peluru dari arah yang tak diketahui. Sebanyak 40-an prajurit Belanda tewas dalam peristiwa tersebut. Dalang dari peristiwa itu adalah MA Sentot, Komandan TRI Pasukan Setan dari Divisi Siliwangi.

Pasca terjadinya peristiwa pembunuhan Prajurit Belanda yang sedang melakukan Agrisi Militer I itu, nyawa MA Sentot dihargai tinggi oleh Belanda, dia dikejar-kejar dan diburu tentara Belanda, bahkan Belanda bersedia membayar tinggi bagi seorang yang menginformasikan keberadaan MA Sentot.

Namun, pasukan setan pimpinan MA Sentot tidak mudah ditemukan, selain kebal peluru dia juga dikenal pandai dalam menyamar, serangan yang dilancarkan pun tidak pernah diduga datangnya sebab itulah ia menamai pasukannya dengan nama Pasukan Setan.



Pada tahun 1948 TRI Divisi Siliwangi Hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta, sebagai akibat dari perjanjian Renville antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda. Begitupun dengan MA Sentot, dari Indramayu ia memimpin pasukannya hijrah menuju ke Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, oleh sebab itu TRI Divisi Siliwangi yang sebelumnya berkumpul di Jawa Tengah, kemudian kembali ke Jawa Barat. Peristiwa kembalinya tentara Jawa Barat dari Jawa Tengah menuju Jawa Barat ini dalam sejarah disebut longmarch Siliwangi.

Tapi rupanya, ketika Tentara Divisi Siliwangi memasuki Jawa Barat, dan untuk kemudian dipecah-pecah sesuai tujuan kepulangannya, MA Sentot dalam kepulanganya ke Indramayu malah selanjutnya berhadapan dengan pemberontak DII/TII. Milisi DII/TII ternyata mengincar MA Sentot. Pada saat berjalan dengan anak buahnya, tiba-tiba terdengar letusan senjata, tembakan itu ditujukan kepada pasukan MA Sentot.

Sentot pun memerintahkan pasukannya untuk maju, namun karena rentetan tembakan tersebut terus menerus ditembakan, anak buah MA Sentot yang kaget hanya bisa tiarap sambil sesekali melakukan tembakan-tembakan balasan.

Saat itu, MA Sentot tetap tegak dari serangan peluru lawan, bahkan dikisahkan peluru yang diberondong ke badanya jatuh berguguran ke tanah.

Kisah mengenai kebal pelurunya MA Sentot tersebut dikisahkan oleh salah satu anak buahnya yang bernama Kaswinah. Bahkan katanya, dia melihat dengan mata kepala sendiri peluru-peluru yang diberondong hanya berjatuhan di depannya.

Karir Militer Sentot

MA Sentot memulai karier dengan pangkat Letnan Satu. Kemudian naik menjadi Kapten dan menjadi Komandan Kompi. MA Sentot juga pernah ikut hijrah ke Yogyakarta dan Jawa Tengah kemudian Long March kembali Ke Jawa Barat.

Setelah perang kemerdekaan usai dan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, MA Sentot naik pangkatnya menjadi Mayor dan menjabat sebagai Komandan Batalyon A Divisi Siliwangi.

Pangkat MA Sentot kemudian naik kembali menjadi Komandan Detasemen Subsistensi KMKB Bandung di tahun 1951. Setelah itu, ia menjadi Staf TT III Siliwangi di tahun 1957, Siswa SSKAD di tahun 1957 dan di tahun yang sama naik pangkatnya menjadi Letkol.



Setelah lulus SSKAD, MA Sentot sempat ditempatkan di Kalimantan Selatan menjadi Komandan Batalyon 604 di Kotabaru Kalimantan Selatan dan menjabat Irtepe Koanda Kalimantan hingga menjadi Asisten II Deyah Koanda serta pernah mewakili Kepala Staf Deyah Koanda.

Pada Desember 1961, MA Sentot dipindah tugaskan dan ditempatkan sebagai Pamen SUAD III Mabes AD di Jakarta. Kemudian, pada Maret 1963, ia ditugaskan di Operasi Karya menjabat Asisten III dan Juni 1966 dipindahkan kembali ke Mabes AD. Pada Oktober 1969, pangkatnya naik menjadi Kolonel.

MA Sentot pensiun dari tentara pada tahun 1980 dengan pangkat terakhirnya, yaitu Brigadir Jenderal (bintang satu). Setelah pensiun, MA Sentot kembali ke tengah masyarakat dan tinggal di Desa Bugel, Kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu.

Sentot tercatat memiliki sembilan orang anak. Pernikahannya yang pertama dengan Hj. Siti Aliyah pada tanggal 8 Mei 1946 telah memberinya lima orang anak. Sementara pernikahannya yang kedua dengan Hj. Faidah pada tanggal 12 Februari 1971 memberinya empat orang anak.

Hingga masa tuanya, M.A. Sentot menolak diperlakukan istimewa. Pejuang sekaligus pahlawan Indramayu ini memilih hidup bersama rakyat kebanyakan. Dia menyatu dengan masyarakat di sekitarnya, hingga akhirnya wafat di Rumah Sakit Pertamina Cirebon pada 6 Oktober 2001 dalam usia 76 tahun, kemudian dimakamkan di TMP Cikutra, Kota Bandung, Jawa Barat.

(Sumber: buku dan diolah dari berbagai sumber)
(nic)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1715 seconds (0.1#10.140)