Sunan Panggung, Sufi Tanah Jawa yang Dihukum Mati karena Dianggap Sesat
loading...
A
A
A
SUNAN Panggung merupakan sosok pemberontak. Dia mengikuti jejak ayahnya Sunan Kalijaga, ikut menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa. Namun, ajaran agama yang disebarkannya tidak dikehendaki pemerintah yang sah.
Ajarannya dianggap menyimpang, dan harus dibasmi. Seperti gurunya Syekh Siti Jenar yang mengajarkan manunggaling kawula Gusti, tindakan Sunan Panggung juga tidak dapat dimengerti pada saat itu.
Dia digambarkan sangat cinta kepada Tuhan, sehingga kehilangan penglihatannya tentang semua bentuk materi. Yang paling tidak bisa diterima, dia memelihara dua ekor anjing yang selalu mengikutinya kemanapun dia melangkah.
Anjing itu diberi nama iman dan tauhid. Bahkan, setiap dia salat Jumat, kedua anjingnya ini selalu dibawa masuk ke dalam masjid. Tindakan ini dianggap tidak sopan dan sembrono, karena melewati batas pemahaman masyarakat.
Para wali pun gusar dengan kelakuan najis Sunan Panggung. Mereka lalu meminta penguasa Demak, Sultan Trenggana untuk menjatuhkan hukuman bakar terhadap Sunan Panggung. Putusan pun akhirnya dijatuhkan.
Saat kobaran api sudah menyala, Sunan Panggung melempar sandalnya. Tiba-tiba, kedua ekor anjing Sunan Panggung melompat ke dalam api mengambil sandal itu tanpa terbakar. Setelah itu, giliran Sunan Panggung yang melompat.
Anehnya, Sunan Panggung juga tidak terbakar dalam kobaran api itu. Di dalam kobaran api itu, dia malah menulis sebuah Suluk Malang Sumirang. Suluk ini bercerita tentang kelahiran dirinya sendiri.
Setelah selesai menulis, dia keluar dari kobaran api tanpa terluka sedikit pun. Bajunya pun tidak terbakar sama sekali, utuh seperti sedia kala. Suluk itu kemudian diserahkan kepada Sultan Demak, lalu pergi bersama iman dan tauhid.
Setelah berabad-abab kemudian, suluk itu tetap hidup dan terus dirujuk. Salah satunya dalam Serat Cabolek. Suluk itu disalin dan dicetak. Tetapi, tidak hanya Sunan Panggung yang dihukum mati karena berbeda dengan ulama syariah.
Pada masa Kerajaan Islam di Jawa, sedikitnya ada 6 ulama tasawuf yang dihukum mati karena memiliki perbedaan ini.
Pertama adalah Syekh Siti Jenar. Dia dihukum mati dengan cara dipancung. Kemudian, Ki Anggeng Pengging dihukum mati dengan cara ditikam. Lalu Sunan Panggung, dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup.
Selanjutnya Ki Bebeluk atau Syekh Bagdad dihukum mati dengan cara ditenggelamkan ke sungai. Lalu ada Syekh Amongraga yang dihukum mati dengan cara ditenggelamkan ke dalam laut dan terakhir Ki Mutamakin yang diampuni.
Meski dibinasakan, ajaran-ajaran para ulama sufi Jawa itu tetap hidup hingga saat ini. Bagi masyarakat Tegal, Sunan Panggung bahkan juga dianggap sebagai penguasa lokal dengan gelar Panembahan Panggung.
Namanya juga diabadikan menjadi Desa Panggung. Ajarannya juga telah menyebar di wilayah pesisir utara Jawa bagian barat. Wilayah Cirebon, Tegal dan sekitarnya bahkan menjadi medan pertempuran Islam putihan dan kejawen.
Dalam pertarungan itu, tidak selamanya Islam putihan menang. Islam kejawen mengalami masa jaya dengan ajaran manunggaling kawula Gusti pada masa Kerajaan Islam Pajang yang didirikan oleh Sultan Hadiwijaya.
Demikian ulasan singkat ini diakhiri, semoga memberikan manfaat kepada pembaca.
Sumber tulisan:
1. Ahmad Syafii Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama di Jawa, Yayasan Obor Indonesia, 2006.
2. Pusat Data Dan Analisa Tempo, Kisah Penting Masa Silam Gunung Lawu Bagi Peradaban Jawa, Tempo Publishing, Buku Elektronik.
3. Ayu Utami, Anatomi Rasa, Kepustakaan Populer Gramedia, Buku Elektronik.
4. Rojikin, Manunggaling Islam Jawa, Spektrum Multikulturalisme Islam Kontemporer, A-Empat, Buku Elektronik.
Ajarannya dianggap menyimpang, dan harus dibasmi. Seperti gurunya Syekh Siti Jenar yang mengajarkan manunggaling kawula Gusti, tindakan Sunan Panggung juga tidak dapat dimengerti pada saat itu.
Dia digambarkan sangat cinta kepada Tuhan, sehingga kehilangan penglihatannya tentang semua bentuk materi. Yang paling tidak bisa diterima, dia memelihara dua ekor anjing yang selalu mengikutinya kemanapun dia melangkah.
Anjing itu diberi nama iman dan tauhid. Bahkan, setiap dia salat Jumat, kedua anjingnya ini selalu dibawa masuk ke dalam masjid. Tindakan ini dianggap tidak sopan dan sembrono, karena melewati batas pemahaman masyarakat.
Para wali pun gusar dengan kelakuan najis Sunan Panggung. Mereka lalu meminta penguasa Demak, Sultan Trenggana untuk menjatuhkan hukuman bakar terhadap Sunan Panggung. Putusan pun akhirnya dijatuhkan.
Saat kobaran api sudah menyala, Sunan Panggung melempar sandalnya. Tiba-tiba, kedua ekor anjing Sunan Panggung melompat ke dalam api mengambil sandal itu tanpa terbakar. Setelah itu, giliran Sunan Panggung yang melompat.
Anehnya, Sunan Panggung juga tidak terbakar dalam kobaran api itu. Di dalam kobaran api itu, dia malah menulis sebuah Suluk Malang Sumirang. Suluk ini bercerita tentang kelahiran dirinya sendiri.
Setelah selesai menulis, dia keluar dari kobaran api tanpa terluka sedikit pun. Bajunya pun tidak terbakar sama sekali, utuh seperti sedia kala. Suluk itu kemudian diserahkan kepada Sultan Demak, lalu pergi bersama iman dan tauhid.
Setelah berabad-abab kemudian, suluk itu tetap hidup dan terus dirujuk. Salah satunya dalam Serat Cabolek. Suluk itu disalin dan dicetak. Tetapi, tidak hanya Sunan Panggung yang dihukum mati karena berbeda dengan ulama syariah.
Pada masa Kerajaan Islam di Jawa, sedikitnya ada 6 ulama tasawuf yang dihukum mati karena memiliki perbedaan ini.
Pertama adalah Syekh Siti Jenar. Dia dihukum mati dengan cara dipancung. Kemudian, Ki Anggeng Pengging dihukum mati dengan cara ditikam. Lalu Sunan Panggung, dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup.
Selanjutnya Ki Bebeluk atau Syekh Bagdad dihukum mati dengan cara ditenggelamkan ke sungai. Lalu ada Syekh Amongraga yang dihukum mati dengan cara ditenggelamkan ke dalam laut dan terakhir Ki Mutamakin yang diampuni.
Meski dibinasakan, ajaran-ajaran para ulama sufi Jawa itu tetap hidup hingga saat ini. Bagi masyarakat Tegal, Sunan Panggung bahkan juga dianggap sebagai penguasa lokal dengan gelar Panembahan Panggung.
Namanya juga diabadikan menjadi Desa Panggung. Ajarannya juga telah menyebar di wilayah pesisir utara Jawa bagian barat. Wilayah Cirebon, Tegal dan sekitarnya bahkan menjadi medan pertempuran Islam putihan dan kejawen.
Dalam pertarungan itu, tidak selamanya Islam putihan menang. Islam kejawen mengalami masa jaya dengan ajaran manunggaling kawula Gusti pada masa Kerajaan Islam Pajang yang didirikan oleh Sultan Hadiwijaya.
Demikian ulasan singkat ini diakhiri, semoga memberikan manfaat kepada pembaca.
Sumber tulisan:
1. Ahmad Syafii Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama di Jawa, Yayasan Obor Indonesia, 2006.
2. Pusat Data Dan Analisa Tempo, Kisah Penting Masa Silam Gunung Lawu Bagi Peradaban Jawa, Tempo Publishing, Buku Elektronik.
3. Ayu Utami, Anatomi Rasa, Kepustakaan Populer Gramedia, Buku Elektronik.
4. Rojikin, Manunggaling Islam Jawa, Spektrum Multikulturalisme Islam Kontemporer, A-Empat, Buku Elektronik.
(hsk)