Kisah Kiai Mahrus Aly Lirboyo, Kirim Santri Syafii Sulaiman Menyusup dan Lucuti Senjata Jepang
loading...
A
A
A
" Kemerdekaan ini harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan," tegas KH. Mahrus Aly, saat mendengar kabar dari Mayor Mahfudh tentang pendaratan pasukan Belanda di Surabaya, dengan membonceng pasukan sekutu di penghujung tahun 1945.
Belanda rupanya tak ingin melepaskan begitu saja Indonesia, yang telah dijajahnya sejak berabad-abad silam. Saat itu, Mayor Mahfudh juga mengabarkan, tertang terjadi pertempuran sengit antara Arek-arek Surabaya, melawan tentara Sekutu di seputar Tanjung Perak.
Kiai yang memiliki nama kecil Rusydi tersebut, langsung menegaskan santri-santri di Lirboyo, siap membantu Arek-arek Surabaya melawan Sekutu. Jauh sebelumnya, Kiai Mahrus Ali telah mempersiapkan diri menghadapi pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan.
Bersenjatakan bambu runcing dan sejata tradisional lainnya, sebanyak 97 santri diberangkatkan ke Surabaya, untuk menghadapi pasukan sekutu yang baru saja memenangkan perang dunia dua, dan bersenjatakan senapan-senapan modern.
Di bawah komando langsung Kiai Mahrus Aly, para santri Lirboyo ini tergabung dalam Laskar Hizbullah dan Sabilillah. Bermodal keberanian dan semangat mempertahankan kemerdekaan Indonesia, para santri berhasil merampas sejumlah senjata lawan.
Aksi perampasan senjata yang dilakukan para santri di bawah komando KH Mahrus Aly, terjadi jauh sebelum pecah perang besar di Surabaya. Mereka sepakat melucuti senjata pasukan Jepang, di Markas Kompitai Dai Nippon di Kediri, yang kini menjadi Markas Brigif 16 Kodam V Brawijaya, letaknya sekitar 1,5 Km dari arah timur Pondok Pesantren Lirboyo.
Menggunakan peralatan seadanya, ratusan santri mengadakan pernyerbuan ke Markas Kompitai Dai Nipon di bawah komando KH Mahrus Aly, Mayor Mahfudh, dan Abdul Rakhim Pratalikrama. Santri muda, Syafii Sulaiman yang kala itu masih berusia 15 tahun, diutus oleh Kiai Mahrus Aly untuk menyusup ke markas Dai Nippon, guna mempelajari keadaan dan memantau kekuatan lawan.
Setelah penyelidikan dirasa cukup, Syafii Sulaiman segera melapor kepada Kiai Mahrus Aly, dan Mayor Mahfudh. Invasi para santri itu berhasil. Atas kebijaksanaan Kiai Mahrus Aly, satu truk senjata hasil lucutan Jepang itu, dibawa ke Pondok Pesantren Lirboyo, dan setelahnya diserahkan kepada Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Bermodalkan senjata rampasan, para santri Lirboyo, di bawah komando Kiai Mahrus Aly, secara bergantian dikirim ke front pertempuran Surabaya. Pengiriman pasukan yang beranggotakan para santri ini, terus berlanjut hingga pecah perang 10 November 1945.
Bukan sekedar mengirimkan pasukan ke medan laga, Kiai Mahrus Aly bersama para santri Lirboyo, juga melakukan gerakan batin yang digelar setiap malam, agar pasukan yang tengah bertempur diberi keteguhan iman, dan apabila gugur diterima sebagai syahid.
Gerakan batin ini digelar di dua tempat, yakni di Pondok Pesantren Lirboyo, dipimpin oleh KH Abdul Karim dan KH Marzugi Dahlan. Lokasi gerakan batin kedua digelar di Manukan, Jabon, Kediri, yang dipimpin oleh KH Mahrus Aly, dan KH Said.
Usai pertempuran heroik 10 November 1945 di Surabaya, Kiai Mahrus Aly kembali mengerahkan pasukan yang beranggotakan para santri ke medan laga, untuk menghadapi Agresi Militer II yang dilakukan pasukan belanda, pada 12 Desember 1948.
Empat santri senior Lirboyo dikirim oleh Kiai Mahrus Aly untuk menjadi pasukan di bawah komando Mayor Mahfudh. Keempat santri itu adalah Syafi'i Sulaiman, Muhid Ilyas, Muhammad Masykur, dan Mahfudh AK. Taktik perang gerilya, dan melakukan serangan secara sporadis ke jantung pertahanan musuh yang dijalankan pasukan para santri ini, ternyata berjalan sangat efektif.
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, melalui pertempuran berdarah tersebut, berlangsung hingga penyerahan kedaulatan Indonesia, oleh Belanda, melalui perjanjian yang dihasilkan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Deen Hag, pada 27 Desember 1949.
Pasukan perang yang terdiri dari para santri ini, akhirnya dilebur untuk semakin memiliki kekuatan dahsyat. Pasukan dilebur dalam Batalyon 508 yang lebih dikenal dengan Batalyon Gelatik. Batalyon ini merupakan ikal bakal lahirnya Kodam V Brawijaya.
Batalyon Gelatik resmi didirikan pada 17 Desember 1948 di Lapangan Kuwak, yang sekarang Stadion Brawijaya. Bertindak sebagai komandan Batalyon Gelatik, adalah Kolonel Sungkono. Sementara KH Mahrus Aly mendapat kehormatan sebagai penasihat. Hal inilah yang menyebabkan KH Mahrus Aly menjadi sesepuh Kodam V Brawijaya sampai akhir hayatnya.
KH Mahrus Aly, lahir dan besar dalam lingkungan pesantren. Hal ini membuat kepribadiannya tumbuh menjadi orang baik, berbudi luhur, dan berbakti kepada orang tua. Sebelum berlabuh di Pondok Pesantren Lirboyo, sejumlah pondok pesantren telah disinggahinya, untuk menuntut ilmu.
Di bawah bimbingan pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, KH Abdul Karim, Kiai Mahrus Aly muda terkenal menjadi santri yang tidak pernah letih dalam mengaji. Saat liburan tiba, Kiai Mahrus Aly muda mencari pondok lain untuk mengikuti pengajian kilatan.
Pernah juga Kiai Mahrus Aly belajar ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, mengaji kitab Shahih Bukhari kepada KH Hasyim Asy'ari. Setelah tiga tahun menimba ilmu di Lirboyo, KH Mahrus Aly muda, membuat KH Abdul Karim terkesan, dan akhirnya menjodohkan salah satu putrinya yang bernama Zaenab.
Pernikahan Kiai Mahrus Aly dengan Zaenab, dikaruniai tujuh putra dan putri. Kesetiaannya pada sang istri terus dijaganya hingga akhir hayat. Meskipun istrinya meninggal dunia terlebih dahulu pada 4 maret 1985, Kiai Mahrus Aly tak lagi menikah hingga wafat pada 26 Mei 1985.
Kisah keberanian dan kesetian Kiai Mahrus Aly pada tanah airnya, sampai membuat Panglima ABRI, Jenderal LB. Moerdani menaruh rasa hormat yang sangat tinggi pada sang kiai. Bahkan, ketika Kiai Mahrus Aly jatuh sakit, jenderal yang namanya besar di dunia intelijen ini sampai mengirimkan helikopter khusus untuk membawa sang kiai ke RSUD dr Soetomo.
Sumber:
- jatim.nu.or.id
- wikipedia
- ipnu.or.id
data diolah dari berbagai sumber
Belanda rupanya tak ingin melepaskan begitu saja Indonesia, yang telah dijajahnya sejak berabad-abad silam. Saat itu, Mayor Mahfudh juga mengabarkan, tertang terjadi pertempuran sengit antara Arek-arek Surabaya, melawan tentara Sekutu di seputar Tanjung Perak.
Kiai yang memiliki nama kecil Rusydi tersebut, langsung menegaskan santri-santri di Lirboyo, siap membantu Arek-arek Surabaya melawan Sekutu. Jauh sebelumnya, Kiai Mahrus Ali telah mempersiapkan diri menghadapi pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan.
Baca Juga
Bersenjatakan bambu runcing dan sejata tradisional lainnya, sebanyak 97 santri diberangkatkan ke Surabaya, untuk menghadapi pasukan sekutu yang baru saja memenangkan perang dunia dua, dan bersenjatakan senapan-senapan modern.
Di bawah komando langsung Kiai Mahrus Aly, para santri Lirboyo ini tergabung dalam Laskar Hizbullah dan Sabilillah. Bermodal keberanian dan semangat mempertahankan kemerdekaan Indonesia, para santri berhasil merampas sejumlah senjata lawan.
Aksi perampasan senjata yang dilakukan para santri di bawah komando KH Mahrus Aly, terjadi jauh sebelum pecah perang besar di Surabaya. Mereka sepakat melucuti senjata pasukan Jepang, di Markas Kompitai Dai Nippon di Kediri, yang kini menjadi Markas Brigif 16 Kodam V Brawijaya, letaknya sekitar 1,5 Km dari arah timur Pondok Pesantren Lirboyo.
Menggunakan peralatan seadanya, ratusan santri mengadakan pernyerbuan ke Markas Kompitai Dai Nipon di bawah komando KH Mahrus Aly, Mayor Mahfudh, dan Abdul Rakhim Pratalikrama. Santri muda, Syafii Sulaiman yang kala itu masih berusia 15 tahun, diutus oleh Kiai Mahrus Aly untuk menyusup ke markas Dai Nippon, guna mempelajari keadaan dan memantau kekuatan lawan.
Setelah penyelidikan dirasa cukup, Syafii Sulaiman segera melapor kepada Kiai Mahrus Aly, dan Mayor Mahfudh. Invasi para santri itu berhasil. Atas kebijaksanaan Kiai Mahrus Aly, satu truk senjata hasil lucutan Jepang itu, dibawa ke Pondok Pesantren Lirboyo, dan setelahnya diserahkan kepada Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Bermodalkan senjata rampasan, para santri Lirboyo, di bawah komando Kiai Mahrus Aly, secara bergantian dikirim ke front pertempuran Surabaya. Pengiriman pasukan yang beranggotakan para santri ini, terus berlanjut hingga pecah perang 10 November 1945.
Bukan sekedar mengirimkan pasukan ke medan laga, Kiai Mahrus Aly bersama para santri Lirboyo, juga melakukan gerakan batin yang digelar setiap malam, agar pasukan yang tengah bertempur diberi keteguhan iman, dan apabila gugur diterima sebagai syahid.
Gerakan batin ini digelar di dua tempat, yakni di Pondok Pesantren Lirboyo, dipimpin oleh KH Abdul Karim dan KH Marzugi Dahlan. Lokasi gerakan batin kedua digelar di Manukan, Jabon, Kediri, yang dipimpin oleh KH Mahrus Aly, dan KH Said.
Usai pertempuran heroik 10 November 1945 di Surabaya, Kiai Mahrus Aly kembali mengerahkan pasukan yang beranggotakan para santri ke medan laga, untuk menghadapi Agresi Militer II yang dilakukan pasukan belanda, pada 12 Desember 1948.
Baca Juga
Empat santri senior Lirboyo dikirim oleh Kiai Mahrus Aly untuk menjadi pasukan di bawah komando Mayor Mahfudh. Keempat santri itu adalah Syafi'i Sulaiman, Muhid Ilyas, Muhammad Masykur, dan Mahfudh AK. Taktik perang gerilya, dan melakukan serangan secara sporadis ke jantung pertahanan musuh yang dijalankan pasukan para santri ini, ternyata berjalan sangat efektif.
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, melalui pertempuran berdarah tersebut, berlangsung hingga penyerahan kedaulatan Indonesia, oleh Belanda, melalui perjanjian yang dihasilkan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Deen Hag, pada 27 Desember 1949.
Pasukan perang yang terdiri dari para santri ini, akhirnya dilebur untuk semakin memiliki kekuatan dahsyat. Pasukan dilebur dalam Batalyon 508 yang lebih dikenal dengan Batalyon Gelatik. Batalyon ini merupakan ikal bakal lahirnya Kodam V Brawijaya.
Batalyon Gelatik resmi didirikan pada 17 Desember 1948 di Lapangan Kuwak, yang sekarang Stadion Brawijaya. Bertindak sebagai komandan Batalyon Gelatik, adalah Kolonel Sungkono. Sementara KH Mahrus Aly mendapat kehormatan sebagai penasihat. Hal inilah yang menyebabkan KH Mahrus Aly menjadi sesepuh Kodam V Brawijaya sampai akhir hayatnya.
KH Mahrus Aly, lahir dan besar dalam lingkungan pesantren. Hal ini membuat kepribadiannya tumbuh menjadi orang baik, berbudi luhur, dan berbakti kepada orang tua. Sebelum berlabuh di Pondok Pesantren Lirboyo, sejumlah pondok pesantren telah disinggahinya, untuk menuntut ilmu.
Di bawah bimbingan pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, KH Abdul Karim, Kiai Mahrus Aly muda terkenal menjadi santri yang tidak pernah letih dalam mengaji. Saat liburan tiba, Kiai Mahrus Aly muda mencari pondok lain untuk mengikuti pengajian kilatan.
Pernah juga Kiai Mahrus Aly belajar ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, mengaji kitab Shahih Bukhari kepada KH Hasyim Asy'ari. Setelah tiga tahun menimba ilmu di Lirboyo, KH Mahrus Aly muda, membuat KH Abdul Karim terkesan, dan akhirnya menjodohkan salah satu putrinya yang bernama Zaenab.
Pernikahan Kiai Mahrus Aly dengan Zaenab, dikaruniai tujuh putra dan putri. Kesetiaannya pada sang istri terus dijaganya hingga akhir hayat. Meskipun istrinya meninggal dunia terlebih dahulu pada 4 maret 1985, Kiai Mahrus Aly tak lagi menikah hingga wafat pada 26 Mei 1985.
Kisah keberanian dan kesetian Kiai Mahrus Aly pada tanah airnya, sampai membuat Panglima ABRI, Jenderal LB. Moerdani menaruh rasa hormat yang sangat tinggi pada sang kiai. Bahkan, ketika Kiai Mahrus Aly jatuh sakit, jenderal yang namanya besar di dunia intelijen ini sampai mengirimkan helikopter khusus untuk membawa sang kiai ke RSUD dr Soetomo.
Sumber:
- jatim.nu.or.id
- wikipedia
- ipnu.or.id
data diolah dari berbagai sumber
(eyt)