Proyek SDN O2 Mojorejo Madiun Senilai Rp3 M Diduga Sarat Masalah
loading...
A
A
A
MADIUN - Proyek Rehabilitasi SDN 02 Mojorejo, Madiun Tahap II dengan pagu Rp3 miliar berpotensi masuk ranah tindak pidana korupsi. Dugaan perbuatan melawan hukum dapat dilihat dari ketidak patuhan sejumlah pihak dalam melaksanakan sebuah pekerjaan yang diatur dalam undang-undang.
Hal itu disampaikan Akademisi Universitas Merdeka Madiun Mudji Raharjo melalui sambungan telepon, Selasa pagi (16/06/2020). Menurutnya Putusan MA Nomor 64 Tahun 2019 jelas menyatakan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2019 tidak sah serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya dalam Pengadaan Barang dan Jasa aturan yang digunakan adalah Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018. Oleh karena itu pemerintah daerah harus menjadikan Putusan Mahkamah Agung itu sebagai acuan. (Baca:2 Dokter RSU Tabanan Positif COVID-19, Penerapan New Normal Ditunda)
"Kalau Mahkamah Agung sudah mengeluarkan aturan, menurut azas hukum, azas lho ya, itu adalah hukum yang terbaru. Jadi harusnya Putusan Mahkamah Agung itu yang dipakai pegangan Pemerintah Daerah, bukan Permen. Itu kalau ada warga yang usil bisa masuk (lapor) dugaan tindak pidana korupsi, di Kepolisian atau Kejaksaan, bahaya itu. Meski sebenarnya tanpa laporanpun, Kepolisian atau Kejaksaan bisa masuk," katanya.
Mudji kemudian menyampaikan lebih detail. Menurutnya perbuatan melawan hukum terlihat dari ketidak patuhan sejumlah pihak dalam melaksanakan peraturan pada proses tender Rehabilitasi SDN 02 Mojorejo Tahap II tersebut. Lebih beresiko jika proses pembangunan sudah berlangsung.
"Dugaan perbuatan melawan hukumnya terlihat dengan tetap menggunakan Permen PUPR yang telah diputus MA tidak sah. Jika dikorelasikan dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2009Tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 dan 3 misalnya, ataupun Undang Undang Republik IndonesiaNomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 2009 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 12, kan berpotensi itu. Apalagi jika misalnya proses pembangunan sudah berlangsung," jelasnya.
Sementara Kabag Hukum Pemkot Madiun Budi Wibowo, saat dikonfirmasi melalui pesan singkat tidak memberikan jawaban. Sedangkan Dinas Pendidikan Kota Madiun selaku Dinas Pengguna Anggaran melalui sekretarisnya Sri Mahendradata menjawab singkat akan melihatnya. "Coba tak lihatnya," jawabnya melalui pesan singkat saat ditanya soal Proyek SDN 02 Mojorejo Tahap II tersebut.
Sedangkan CV Cipta Niaga Abadi saat di konfirmasi melalui telepon Kantornya mengakui bahwa badan usahanya berkualifikasi kecil. Yanti Karyawan kantor tersebut mengaku tidak mengetahui bagaimana tempatnya bekerja bisa mendapatkan pekerjaan yang menurut ketentuan diatas kualifikasinya.
"Iya Yanti Pegawainya, bener, kualifikasinya kecil, kecil... Saya ndak hafal... ada yang ngurusi sendiri (soal bagaimana kualifikasi kecil bisa mendapat pekerjaan diatas kaulifikasinya)," jawab Yanti yang mengaku sebagai karyawan CV Cipta Niaga Abadi.
Diketahui sebelumnya, melalui laman LPSE Pemkot Madiun, Proyek Rehabilitasi SDN 02 Mojorejo Tahap II dengan pagu Rp3 miliar dan HPS (Harga Perkiraan Sendiri) sekitar Rp2,9 miliar, dalam proses tendernya dimenangkan oleh CV. Cipta Niaga Abadi sesuai dengan yang tertera di kontrak Rp2.655.730.677,60 yang penandatanganan pemenang kontraknya berlangsung 9 Maret 2020 lalu.
Belakangan proses tersebut mendapat sorotan karena aturan yang digunakan oleh Bagian Administrasi Pembangunan Pemkot Madiun saat proses lelang berdasarkan Permen PUPR Nomor 7 Tahun 2019. Padahal Putusan MA Nomor 64 Tahun 2019 menyatakan Permen PUPR tersebut khususnya Pasal 21 ayat 3 huruf a, b, dan c tidak sah.
Padahal di Perpres Nomor 16 tahun 2018 pasal 65 ayat 4 jelas menyebutkan nilai paket pengadaan barang, jasa konstruksi dan oleh usaha kecil paling besar adalah Rp2,5 miliar.
CV Cipta Niaga Abadi selaku pemenang tender proyek Rehabilitasi SDN 02 Mojorejo Tahap II dengan pagu Rp3 miliar, ternyata Sertifikasi Badan Usaha Jasa Konstruksi yang di milikinya berkualifikasi kecil. Hal itu sesuai dengan yang tertera di laman lpjk.net dan juga pengakuan karyawannya.
Hal itu disampaikan Akademisi Universitas Merdeka Madiun Mudji Raharjo melalui sambungan telepon, Selasa pagi (16/06/2020). Menurutnya Putusan MA Nomor 64 Tahun 2019 jelas menyatakan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2019 tidak sah serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya dalam Pengadaan Barang dan Jasa aturan yang digunakan adalah Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018. Oleh karena itu pemerintah daerah harus menjadikan Putusan Mahkamah Agung itu sebagai acuan. (Baca:2 Dokter RSU Tabanan Positif COVID-19, Penerapan New Normal Ditunda)
"Kalau Mahkamah Agung sudah mengeluarkan aturan, menurut azas hukum, azas lho ya, itu adalah hukum yang terbaru. Jadi harusnya Putusan Mahkamah Agung itu yang dipakai pegangan Pemerintah Daerah, bukan Permen. Itu kalau ada warga yang usil bisa masuk (lapor) dugaan tindak pidana korupsi, di Kepolisian atau Kejaksaan, bahaya itu. Meski sebenarnya tanpa laporanpun, Kepolisian atau Kejaksaan bisa masuk," katanya.
Mudji kemudian menyampaikan lebih detail. Menurutnya perbuatan melawan hukum terlihat dari ketidak patuhan sejumlah pihak dalam melaksanakan peraturan pada proses tender Rehabilitasi SDN 02 Mojorejo Tahap II tersebut. Lebih beresiko jika proses pembangunan sudah berlangsung.
"Dugaan perbuatan melawan hukumnya terlihat dengan tetap menggunakan Permen PUPR yang telah diputus MA tidak sah. Jika dikorelasikan dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2009Tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 dan 3 misalnya, ataupun Undang Undang Republik IndonesiaNomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 2009 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 12, kan berpotensi itu. Apalagi jika misalnya proses pembangunan sudah berlangsung," jelasnya.
Sementara Kabag Hukum Pemkot Madiun Budi Wibowo, saat dikonfirmasi melalui pesan singkat tidak memberikan jawaban. Sedangkan Dinas Pendidikan Kota Madiun selaku Dinas Pengguna Anggaran melalui sekretarisnya Sri Mahendradata menjawab singkat akan melihatnya. "Coba tak lihatnya," jawabnya melalui pesan singkat saat ditanya soal Proyek SDN 02 Mojorejo Tahap II tersebut.
Sedangkan CV Cipta Niaga Abadi saat di konfirmasi melalui telepon Kantornya mengakui bahwa badan usahanya berkualifikasi kecil. Yanti Karyawan kantor tersebut mengaku tidak mengetahui bagaimana tempatnya bekerja bisa mendapatkan pekerjaan yang menurut ketentuan diatas kualifikasinya.
"Iya Yanti Pegawainya, bener, kualifikasinya kecil, kecil... Saya ndak hafal... ada yang ngurusi sendiri (soal bagaimana kualifikasi kecil bisa mendapat pekerjaan diatas kaulifikasinya)," jawab Yanti yang mengaku sebagai karyawan CV Cipta Niaga Abadi.
Diketahui sebelumnya, melalui laman LPSE Pemkot Madiun, Proyek Rehabilitasi SDN 02 Mojorejo Tahap II dengan pagu Rp3 miliar dan HPS (Harga Perkiraan Sendiri) sekitar Rp2,9 miliar, dalam proses tendernya dimenangkan oleh CV. Cipta Niaga Abadi sesuai dengan yang tertera di kontrak Rp2.655.730.677,60 yang penandatanganan pemenang kontraknya berlangsung 9 Maret 2020 lalu.
Belakangan proses tersebut mendapat sorotan karena aturan yang digunakan oleh Bagian Administrasi Pembangunan Pemkot Madiun saat proses lelang berdasarkan Permen PUPR Nomor 7 Tahun 2019. Padahal Putusan MA Nomor 64 Tahun 2019 menyatakan Permen PUPR tersebut khususnya Pasal 21 ayat 3 huruf a, b, dan c tidak sah.
Padahal di Perpres Nomor 16 tahun 2018 pasal 65 ayat 4 jelas menyebutkan nilai paket pengadaan barang, jasa konstruksi dan oleh usaha kecil paling besar adalah Rp2,5 miliar.
CV Cipta Niaga Abadi selaku pemenang tender proyek Rehabilitasi SDN 02 Mojorejo Tahap II dengan pagu Rp3 miliar, ternyata Sertifikasi Badan Usaha Jasa Konstruksi yang di milikinya berkualifikasi kecil. Hal itu sesuai dengan yang tertera di laman lpjk.net dan juga pengakuan karyawannya.
(sms)