Cerita Pilu Abas yang Idap Stroke Hidupi 12 Anak dari Belas Kasih Tetangga
loading...
A
A
A
PURWAKARTA - Pasangan suami istri, Abas (49) dan Juju (40) hidup dalam belenggu kemiskinan. Warga Kampung Mariuk, Desa Sirnagalih, Kecamatan Mani'is, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat ini, memiliki sebanyak 12 anak yang masih kecil-kecil.
Tragisnya, sebagai kepala keluarga, Abas kini tak dapat bekerja lagi karena serangan stroke. Sebelumnya, Abas bekerja sebagai buruh bangunan. Untuk makan sehari-hari, keluarga ini banyak mengandalkan belas kasihan para tetangganya.
Abas bersama istri dan 12 anaknya, hidup di rumah yang kondisinya sangat memprihatinkan. Rumah panggung dari kayu itu, berdiri seadanya di tepian kebun karet. Sebagian jendelanya sudah tak ada kacanya lagi karena pecah. Lantai dari papan kayu, sebagian sudah lapuk dan banyak yang bolong akibat tak ada biaya untuk memperbaikinya.
"Sekitar satu tahun ini saya mendertita stroke. Sehari-hari hanya di rumah saja. Sebelumnya saya bekerja sebagai buruh bangunan. Untuk makan banyak dibantu para tetangga," ungkap Abas dengan suara terbata-bata akibat stroke.
Begitu juga dengan Juju, waktunya habis hanya untuk mengasuh anak bungsunya yang baru berusia empat bulan. Selain itu, Juju juga disibukan mengurusi lima anak lainnya, apalagi kakak dari anak bungsunya baru berusia dua tahun.
Sementara enam anak lainnya, kini telah berusia 12-23 tahun. Anak yang berusia 23 tahun merupakan anak pertama, dan kini sudah berumah tangga, serta memiliki seorang anak balita. Keluarga anak pertama itu, juga tinggal serumah dengan Abas dan Juju.
Di tengah kesibukannya mengurusi anak, yang bisa dilakukan Juju hanya sebatas menyapu, dan membersihkan sampah dari dalam rumah. Abas dan Juju sejatinya tidak menginginkan banyak anak. Mereka sempat mengikuti program keluarga berencana (KB), namun tidak cocok.
Selain kondisi tubuh Juju yang sering sakit saat mengikuti program KB. Ternyata, Juju juga tetap hamil dan mempunyai anak, sehingga terpaksa menghentikan program KB. Saat Abas belum sakit stroke, keluarga ini tak kesulitan untuk makan meskipun penghasilannya pas-pasan.
Bukan hanya soal makan, keluarga ini juga kesulitan untuk membiaya sekolah anak-anaknya. Rata-rata anak-anak Abas dan Juju yang berhasil lulus SMP hanya anak pertama dan kedua, sedangkan adik-adiknya hanya lulus sekolah dasar, bahkan ada yang tidak lulus sekolah dasar.
Keluarga ini hanya mendapat bantuan keuangan dari seorang anak laki-lakinya yang berusia 18 tahun, karena sudah bekerja sebagai buruh bangunan. Namun, uang itu tidak cukup. Hanya untuk makan saja, Juju mengaku harus membutuhkan 6 kg beras per hari.
Untuk mengurus anak-anaknya yang masih kecil, Juju sering dibantu oleh anak-anaknya yang sudah beranjak remaja. Namun hal itu tak mampu membuat Juju menahan kepedihan. Dia berharap, ada bantuan pemerintah untuk biaya hidup dan sekolah anak-anaknya.
Tragisnya, sebagai kepala keluarga, Abas kini tak dapat bekerja lagi karena serangan stroke. Sebelumnya, Abas bekerja sebagai buruh bangunan. Untuk makan sehari-hari, keluarga ini banyak mengandalkan belas kasihan para tetangganya.
Abas bersama istri dan 12 anaknya, hidup di rumah yang kondisinya sangat memprihatinkan. Rumah panggung dari kayu itu, berdiri seadanya di tepian kebun karet. Sebagian jendelanya sudah tak ada kacanya lagi karena pecah. Lantai dari papan kayu, sebagian sudah lapuk dan banyak yang bolong akibat tak ada biaya untuk memperbaikinya.
"Sekitar satu tahun ini saya mendertita stroke. Sehari-hari hanya di rumah saja. Sebelumnya saya bekerja sebagai buruh bangunan. Untuk makan banyak dibantu para tetangga," ungkap Abas dengan suara terbata-bata akibat stroke.
Begitu juga dengan Juju, waktunya habis hanya untuk mengasuh anak bungsunya yang baru berusia empat bulan. Selain itu, Juju juga disibukan mengurusi lima anak lainnya, apalagi kakak dari anak bungsunya baru berusia dua tahun.
Sementara enam anak lainnya, kini telah berusia 12-23 tahun. Anak yang berusia 23 tahun merupakan anak pertama, dan kini sudah berumah tangga, serta memiliki seorang anak balita. Keluarga anak pertama itu, juga tinggal serumah dengan Abas dan Juju.
Di tengah kesibukannya mengurusi anak, yang bisa dilakukan Juju hanya sebatas menyapu, dan membersihkan sampah dari dalam rumah. Abas dan Juju sejatinya tidak menginginkan banyak anak. Mereka sempat mengikuti program keluarga berencana (KB), namun tidak cocok.
Selain kondisi tubuh Juju yang sering sakit saat mengikuti program KB. Ternyata, Juju juga tetap hamil dan mempunyai anak, sehingga terpaksa menghentikan program KB. Saat Abas belum sakit stroke, keluarga ini tak kesulitan untuk makan meskipun penghasilannya pas-pasan.
Bukan hanya soal makan, keluarga ini juga kesulitan untuk membiaya sekolah anak-anaknya. Rata-rata anak-anak Abas dan Juju yang berhasil lulus SMP hanya anak pertama dan kedua, sedangkan adik-adiknya hanya lulus sekolah dasar, bahkan ada yang tidak lulus sekolah dasar.
Keluarga ini hanya mendapat bantuan keuangan dari seorang anak laki-lakinya yang berusia 18 tahun, karena sudah bekerja sebagai buruh bangunan. Namun, uang itu tidak cukup. Hanya untuk makan saja, Juju mengaku harus membutuhkan 6 kg beras per hari.
Untuk mengurus anak-anaknya yang masih kecil, Juju sering dibantu oleh anak-anaknya yang sudah beranjak remaja. Namun hal itu tak mampu membuat Juju menahan kepedihan. Dia berharap, ada bantuan pemerintah untuk biaya hidup dan sekolah anak-anaknya.
(eyt)