Kisah Supriyadi, Shodanco Pentolan PETA Berani Berenang di Pantai Selatan dengan Celana Hijau
loading...
A
A
A
“Seluruh anggota batalyon PETA di Blitar ikut ambil bagian dalam pemberontakan bersenjata dan untuk pertama kalinya suatu kesatuan Indonesia mengarahkan senjata kepada pembinanya”.
Sayang, pemberontakan yang sudah disiapkan berbulan-bulan itu, masih penuh kekurangan. Bantuan kekuatan dari batalyon PETA lain tidak sesuai harapan.
Pemberontakan Supriyadi di Blitar dalam sekejap berhasil dipadamkan. Karena situasi yang tidak menguntungkan, Supriyadi bersama pasukannya menyingkir ke luar kota.
Tiga rombongan menuju ke arah utara dan satu rombongan ke selatan. Pada 17 Februari 1945 atau tiga hari paska pemberontakan, unit-unit batalyon yang terlibat pemberontakan kembali ke Blitar.
Salah satunya adalah Muradi. Mereka bersedia kembali ke Blitar setelah Jepang memberi jaminan tidak akan membawa ke pengadilan militer. Namun janji tinggal janji.
Khawatir pemberontakan tersebar luas, Jepang melucuti batalyon dan menahan kurang lebih 55 orang perwira beserta anak buahnya. Jepang mengirim mereka ke Jakarta untuk disidangkan di Pengadilan Militer.
Semua dinyatakan terbukti bersalah. Enam orang dijatuhi hukuman mati, dipenggal kepalanya di Ancol Jakarta. Sejak itu nasib Shodanco Supriyadi tidak diketahui rimbanya.
“Tiga orang dijatuhi hukuman seumur hidup dan sisanya dijatuhi hukuman penjara dengan jangka waktu yang berbeda-beda,” tulis David Jenkins dalam buku “Soeharto di Bawah Militer Jepang”.
Sayang, pemberontakan yang sudah disiapkan berbulan-bulan itu, masih penuh kekurangan. Bantuan kekuatan dari batalyon PETA lain tidak sesuai harapan.
Pemberontakan Supriyadi di Blitar dalam sekejap berhasil dipadamkan. Karena situasi yang tidak menguntungkan, Supriyadi bersama pasukannya menyingkir ke luar kota.
Tiga rombongan menuju ke arah utara dan satu rombongan ke selatan. Pada 17 Februari 1945 atau tiga hari paska pemberontakan, unit-unit batalyon yang terlibat pemberontakan kembali ke Blitar.
Salah satunya adalah Muradi. Mereka bersedia kembali ke Blitar setelah Jepang memberi jaminan tidak akan membawa ke pengadilan militer. Namun janji tinggal janji.
Khawatir pemberontakan tersebar luas, Jepang melucuti batalyon dan menahan kurang lebih 55 orang perwira beserta anak buahnya. Jepang mengirim mereka ke Jakarta untuk disidangkan di Pengadilan Militer.
Semua dinyatakan terbukti bersalah. Enam orang dijatuhi hukuman mati, dipenggal kepalanya di Ancol Jakarta. Sejak itu nasib Shodanco Supriyadi tidak diketahui rimbanya.
“Tiga orang dijatuhi hukuman seumur hidup dan sisanya dijatuhi hukuman penjara dengan jangka waktu yang berbeda-beda,” tulis David Jenkins dalam buku “Soeharto di Bawah Militer Jepang”.
(shf)