Kisah Supriyadi, Shodanco Pentolan PETA Berani Berenang di Pantai Selatan dengan Celana Hijau
loading...
A
A
A
BLITAR - Shodanco Supriyadi jauh sebelum memimpin pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air) pada Blitar, Jawa Timur 14 Februari 1945, sudah lama tidak mempercayai Jepang.
Sejak mengikuti pelatihan Beppan di Tangerang dan berlanjut pelatihan calon perwira PETA di Bogor (1944), Supriyadi sudah memperlihatkan ketidakpercayaanya kepada Jepang.
Baca juga: Memilukan, Anak-anak Pejuang Kemerdekaan Ini Puluhan Tahun Tinggal di Bunker Belanda
Zulkifli Lubis, teman dekat sekaligus rekan seangkatan Supriyadi yang kelak dianugerahi gelar Bapak Intelijen Indonesia menangkap isyarat ketidaksukaan itu.
“Ketika kami berada di Bogor, ia (Supriyadi) sering mengatakan kita tidak dapat mempercayai Jepang,” kata Zulkifli Lubis seperti yang ditulis David Jenkins dalam buku “Soeharto di Bawah Militer Jepang”.
Supriyadi satu angkatan dengan Zulkifli Lubis, Daan Mogot, Kemal Idris, dan Sudirman yang kelak menjadi Panglima Besar TNI. Soeharto yang bekas tentara KNIL juga ikut dalam pelatihan angkatan kedua itu.
Pada pelatihan angkatan pertama yang berlangsung dua bulan (1943) ia sudah pernah ikut. Namun Soeharto yang kelak menjadi Presiden RI ke-2 kembali ikut.
Selama empat bulan di Bogor, Jepang menggembleng para calon perwira PETA dengan keras. Jepang menonjolkan tiga karakter utama, yakni ketangguhan, semangat juang, dan ketrampilan taktik dalam kesatuan kecil infanteri.
Perwira Jepang Letnan Satu Tsuchiya Kiso di akhir latihan membuat peringkat kemampuan peserta didiknya. Supriyadi bukan lulusan terbaik. Begitu juga dengan Soeharto maupun Sudirman.
Lulusan terbaik disandang Zulfikli Lubis yang sejak pelatihan di Tangerang sudah memperlihatkan kecakapannya.
“Dengan mudah Lubis (Zulkifli Lubis) meraih nomor satu dan nomor dua adalah Daan Mogot. Mereka berada di peringkat atas berkat kemampuanya. Mereka ini hampir seperti perwira Jepang,” demikian yang tertulis dalam “Soeharto di Bawah Militer Jepang”.
Sejak mengikuti pelatihan Beppan di Tangerang dan berlanjut pelatihan calon perwira PETA di Bogor (1944), Supriyadi sudah memperlihatkan ketidakpercayaanya kepada Jepang.
Baca juga: Memilukan, Anak-anak Pejuang Kemerdekaan Ini Puluhan Tahun Tinggal di Bunker Belanda
Zulkifli Lubis, teman dekat sekaligus rekan seangkatan Supriyadi yang kelak dianugerahi gelar Bapak Intelijen Indonesia menangkap isyarat ketidaksukaan itu.
“Ketika kami berada di Bogor, ia (Supriyadi) sering mengatakan kita tidak dapat mempercayai Jepang,” kata Zulkifli Lubis seperti yang ditulis David Jenkins dalam buku “Soeharto di Bawah Militer Jepang”.
Supriyadi satu angkatan dengan Zulkifli Lubis, Daan Mogot, Kemal Idris, dan Sudirman yang kelak menjadi Panglima Besar TNI. Soeharto yang bekas tentara KNIL juga ikut dalam pelatihan angkatan kedua itu.
Pada pelatihan angkatan pertama yang berlangsung dua bulan (1943) ia sudah pernah ikut. Namun Soeharto yang kelak menjadi Presiden RI ke-2 kembali ikut.
Selama empat bulan di Bogor, Jepang menggembleng para calon perwira PETA dengan keras. Jepang menonjolkan tiga karakter utama, yakni ketangguhan, semangat juang, dan ketrampilan taktik dalam kesatuan kecil infanteri.
Perwira Jepang Letnan Satu Tsuchiya Kiso di akhir latihan membuat peringkat kemampuan peserta didiknya. Supriyadi bukan lulusan terbaik. Begitu juga dengan Soeharto maupun Sudirman.
Lulusan terbaik disandang Zulfikli Lubis yang sejak pelatihan di Tangerang sudah memperlihatkan kecakapannya.
“Dengan mudah Lubis (Zulkifli Lubis) meraih nomor satu dan nomor dua adalah Daan Mogot. Mereka berada di peringkat atas berkat kemampuanya. Mereka ini hampir seperti perwira Jepang,” demikian yang tertulis dalam “Soeharto di Bawah Militer Jepang”.