Gunung Anak Krakatau Picu Tsunami 2018 hingga Tewaskan 400 Orang, Ini Penyebabnya

Kamis, 30 Desember 2021 - 13:21 WIB
loading...
Gunung Anak Krakatau...
Bencana tsunami di laut Jawa dan Sumatera pada 22 Desember 2018 dan menyebabkan sekitar 400 orang meninggal dunia. Foto/Dok.
A A A
BANDUNG - Peristiwa memilukan pernah terjadi pada 22 Desember 2018. Tiga tahun berlalu, tsunami yang melanda wilayah laut Jawa dan Sumatera tersebut, masih selalu segar diingatkan masyarakat Indonesia.



Bencana tsunami itu menyebabkan sekitar 400 orang di Pulau Jawa, dan Sumatera, meninggal dunia. Saat itu banyak disebut bahwa tsunami dibebaskan oleh runtuhnya sebagian tubuh Gunung Anak Krakatau.



Namun, hasil kajian terbaru menyebutkan, tsunami itu disebabkan oleh proses destabilisasi jangka panjang. Tsunami tidak dipicu oleh perubahan mencolok dalam sistem magmatik, yang dapat dideteksi oleh teknik pemantauan yang ada saat ini.



Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam penelitian terbaru yang berjudul Downward-propagating eruption following vent unloading implies no direct magmatic trigger for the 2018 lateral collapse of Anak Krakatau dan dipublikasikan dalam Earth and Planetary Science Letters.

Bahwa Gunung Anak Krakatau telah meletus selama sekitar enam bulan sebelum keruntuhan. Aktivitas itu memperlihatkan lebih dari dua pertiga dari ketinggiannya meluncur ke laut saat pulau itu seolah terbelah menjadi dua. Peristiwa tersebut memicu tsunami dahsyat, yang menggenangi garis pantai Jawa dan Sumatera.

Sebuah tim penelitian Inggirs dan Indonesia yang dipimpin oleh University of Birmingham memeriksa material vulkanik dari pulau-pulau terdekat guna mencari petunjuk untuk menentukan apakah letusan kuat dan eksplosif yang diamati sesaat setelah keruntuhan itu memicu tanah longsor dan tsunami.

Bekerja dengan peneliti di Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Oxford dan British Geological Survey, tim melihat karakteristik fisik, kimia dan mikrotekstur dari material hasil letusan.



Disimpulkan bahwa letusan eksplosif besar yang terkait dengan keruntuhan justru disebabkan oleh sistem magmatik yang menjadi tidak stabil sesaat setelah longsoran berlangsung. Ini berarti sangat kecil kemungkinannya, bencana di penghujung 2018 lalu disebabkan oleh magma yang memaksa naik ke permukaan dan memicu tanah longsor.

Metode pemantauan gunung berapi saat ini merekam aktivitas seismik dan sinyal lain yang disebabkan oleh magma yang naik melalui gunung berapi, namun peristiwa Anak Krakatau 2018 ini tidak dipicu dari dalam melainkan dari luar yaitu hilangnya tubuh gunung secara tiba-tiba, maka tidak akan terdeteksi menggunakan teknik yang ada saat ini.

Sebastian Watt, dari Fakultas Geografi, Ilmu Bumi dan Lingkungan Universitas Birmingham, adalah penulis senior makalah tersebut. "Jenis bahaya vulkanik ini jarang terjadi, sangat sulit diprediksi dan seringkali menghancurkan. Temuan kami menunjukkan bahwa, meskipun ada letusan eksplosif yang dramatis setelah runtuhnya Anak Krakatau, ini dipicu oleh tanah longsor yang melepaskan tekanan pada sistem magma, seperti gabus sampanye yang meletus," ujarnya dalam siaran pers tertulis.

Hasilnya menghadirkan tantangan untuk memprediksi bahaya masa depan di pulau-pulau gunung api. Mirzam Abdurrachman, dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menjelaskan, jika tanah longsor berskala besar terjadi di daerah vulkanik sebagai akibat dari ketidakstabilan jangka panjang, dan dapat terjadi tanpa perubahan khas dalam aktivitas magmatik di gunung berapi, ini berarti fenomena tersebut dapat terjadi secara tiba-tiba dan tanpa peringatan yang jelas.



"Apa yang coba disampaikan Anak Krakatau 2018, mungkin bisa menjawab beberapa hal yang terjadi di Semeru pada saat ini, terjadi secara tiba-tiba dan tanpa tanda-tanda khusus," jelasnya.

"Temuan ini penting bagi orang-orang yang tinggal di daerah yang dikelilingi oleh gunung berapi aktif, dan pulau-pulau gunung api di tempat-tempat seperti Indonesia, Filipina, dan Jepang," tambah Mirzam.

Kyra Cutler, peneliti utama dari Universitas Oxford mengatakan, mengevaluasi pertumbuhan jangka panjang dan pola deformasi gunung berapi akan sangat membantu memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kemungkinan terjadinya fenomena tersebut.

"Tentu ini akan sangat relevan untuk Anak Krakatau saat ia membangun kembali tubuhnya menjadi lebih besar. Mengidentifikasi daerah yang rentan, bersama dengan upaya untuk mengembangkan deteksi tsunami nonseismik, akan meningkatkan strategi manajemen bahaya secara keseluruhan untuk masyarakat yang berisiko," pungkasnya.
(eyt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2494 seconds (0.1#10.140)