Kisah Veteran Perang Peranakan Tionghoa yang Sambung Hidup dengan Melukis
loading...
A
A
A
SEMARANG - Jari-jari keriputnya masih lincah memainkan arang di atas kanvas. Bak penari di atas panggung, jari-jari Trisno Yuwono menggoreskan warna hitam pekat dari arang, menjadi lukisan realis tentang pejuang melawan tentara penjajah yang bengis.
Pria peranakan Tionghoa, yang kini berusia 77 tahun tersebut, tak lagi sekuat masa mudanya. Tetapi, semangatnya masih membara. Pelukis renta ini, bukanlah pelukis sembarangan. Dia adalah salah satu veteran perang untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia.
Trisno pernah dikirim ke perbatasan Malaysia, saat terjadi konfrontasi Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Bersama ratusan pemuda lainnya, dia diterjunkan ke medan laga di wilayah Riau, pada tahun 1965.
Menjadi prajurit telik sandi untuk memata-matai pergerakan musuh, dilakukan Trisno di perairan Riau. Lawannya tak main-main, yakni pasukan Inggris yang memiliki persenjataan sangat lengkap.
Menenteng senapan mesin ringan, yang dilengkapi dengan rentengan peluru tajam di pinggangnya, pria berperawakan tinggi tegap itu juga dilengkapi oleh satuannya berupa pistol.
"Dahulu kami bersama-sama digembleng secara fisik dan mental di Gombong, Kebumen, sebelum dikirim ke medan perang. Latihan militer merayap melewati pagar berduri, hingga menghadapi rentetan tembakan yang di sekelilingnya terpasang ranjau kami jalani," tuturnya.
Masa-masa perjuangan itu banyak menjadi inspirasi untuk dituangkan di atas kanvas. Bukan hanya mahir menggunakan cat warna, dia juga piawi membuat lukisan monokrom dengan arang kayu. Selain bakat, dia juga mendalami ilmu lukis dari sang maestro Basuki Adullah.
Mengisi hari tuanya, Trisno masih produktif melukis di rumahnya Jalan Mulawarman Banyumanik Semarang, bersama istrinya. Karya lukisnya dijual dengan harga variatif, seperti lukisan potret ukuran 60x50 cm dipatok Rp1 juta-1,5 juta. "Saya dapat uang tunjangan veteran sebesar Rp2,6 juta per bulan," tuturnya.
Sudah ada 100 lebih lukisan realis yang ia hasilkan. Corak lukisannya punya ciri khas, karena menyimpan rekam jejak sejarah Bangsa Indonesia. Lukisannya telah merambah ke sejumlah negara seperti Rusia, Jerman, Australia, dan Jepang.
Pria peranakan Tionghoa, yang kini berusia 77 tahun tersebut, tak lagi sekuat masa mudanya. Tetapi, semangatnya masih membara. Pelukis renta ini, bukanlah pelukis sembarangan. Dia adalah salah satu veteran perang untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia.
Trisno pernah dikirim ke perbatasan Malaysia, saat terjadi konfrontasi Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Bersama ratusan pemuda lainnya, dia diterjunkan ke medan laga di wilayah Riau, pada tahun 1965.
Menjadi prajurit telik sandi untuk memata-matai pergerakan musuh, dilakukan Trisno di perairan Riau. Lawannya tak main-main, yakni pasukan Inggris yang memiliki persenjataan sangat lengkap.
Menenteng senapan mesin ringan, yang dilengkapi dengan rentengan peluru tajam di pinggangnya, pria berperawakan tinggi tegap itu juga dilengkapi oleh satuannya berupa pistol.
"Dahulu kami bersama-sama digembleng secara fisik dan mental di Gombong, Kebumen, sebelum dikirim ke medan perang. Latihan militer merayap melewati pagar berduri, hingga menghadapi rentetan tembakan yang di sekelilingnya terpasang ranjau kami jalani," tuturnya.
Baca Juga
Masa-masa perjuangan itu banyak menjadi inspirasi untuk dituangkan di atas kanvas. Bukan hanya mahir menggunakan cat warna, dia juga piawi membuat lukisan monokrom dengan arang kayu. Selain bakat, dia juga mendalami ilmu lukis dari sang maestro Basuki Adullah.
Mengisi hari tuanya, Trisno masih produktif melukis di rumahnya Jalan Mulawarman Banyumanik Semarang, bersama istrinya. Karya lukisnya dijual dengan harga variatif, seperti lukisan potret ukuran 60x50 cm dipatok Rp1 juta-1,5 juta. "Saya dapat uang tunjangan veteran sebesar Rp2,6 juta per bulan," tuturnya.
Sudah ada 100 lebih lukisan realis yang ia hasilkan. Corak lukisannya punya ciri khas, karena menyimpan rekam jejak sejarah Bangsa Indonesia. Lukisannya telah merambah ke sejumlah negara seperti Rusia, Jerman, Australia, dan Jepang.
(eyt)