Bioavtur J2.4, Seribu Langkah Kurangi Emisi Langit

Rabu, 27 Oktober 2021 - 23:01 WIB
loading...
Bioavtur J2.4, Seribu Langkah Kurangi Emisi Langit
Pesawat CN235-220 FTB (Flying Test Bed) saat uji terbang menggunakan bioavtur J2.4 dari Bandara Husein Sastranegara Bandung ke Bandara Soekarno Hatta pada Rabu, (6/10/2021).Foto/Arif Budianto
A A A
BANDUNG - Jarum jam menunjukkan pukul 07.00 WIB saat Kapten Adi Budi dan co-pilot Firmansyah Cahya mulai menyalakan mesin pesawat CN235-220 FTB (Flying Test Bed) di Bandara Husein Sastranegara Bandung, Rabu (6/10/2021).

Sementara, tujuh orang lainnya dari tim flight test engineer (FTE), program manager, dan kepala divisi uji terbang bioavtur J2.4, ikut serta memonitor pesawat di dalam kabin.

Pukul 07.15, operator lalu lintas udara bandara memberi izin pesawat lepas landas. Pilot kemudian merespons dengan membawa pesawat berwarna merah putih itu ke ujung landasan pacu. Setelah final check, pilot mulai menjalankan prosedur take off dan memacu mesin hingga maximum power. Sunyi, semua crew yang ikut dalam penerbangan, fokus mengamati kinerja pesawat pada titik krusial itu.

Baca juga: Unpad dan Pertamina Bakal Bangun RS Spesialis Jantung, Otak, dan Onkologi

Beberapa detik berlalu, pesawat berhasil mendaki langit Bandung pada sudut kemiringan 5 derajat. Tak ada perbedaan kinerja mesin saat take off, setelah sebelumnya pesawat CN235-220 milik PT Dirgantara Indonesia (Persero) ini diisi bahan bakar jet A1 di tangki sebelah kanan dan bioavtur J2.4 di tangki kiri.

CN235-220 berhasil lepas landas tanpa kendala, naik hingga ketinggian jelajah menuju Cengkareng. Selama penerbangan, kapten dan seluruh crew seolah tak berkedip mengawasi instrumen di dalam kokpit. Mereka memastikan power engine normal, temperatur mesin stabil, dan altimeter (pengukur ketinggian) sesuai.

45 menit pesawat menembus langit sejauh 135 kilometer (km). Pesawat pun berhasil landing dengan mulus di Bandar Udara (Bandara) Soekarno Hatta sekira pukul 08.00. "Take off sampai landing normal, tidak ada masalah apapun pada engine. Semua parameter mesin normal. Penerbangan berhasil ditempuh sesuai jadwal selama 45 menit," ujar Kapten Adi.

Sekilas tak ada yang berbeda dengan penerbangan CN235-220. Tapi sejarah telah mencatat keberhasilan Indonesia melakukan uji terbang pesawat menggunakan bahan bakar nabati. Campuran minyak sawit 2,4 persen menjadi bioavtur J2.4 akhirnya bisa digunakan pada mesin pesawat terbang, setelah belasan tahun lamanya melakukan riset dan pengembangan.



Sebelumnya, pesawat CN235-220 FTB juga telah dua kali melakukan uji terbang di Sukabumi, Jawa Barat. Uji terbang dilakukan pada ketinggian 10.000 dan 16.000 kaki. Selama masa uji terbang, bioavtur J2.4 menunjukkan kesamaan performa dengan avtur Jet A1. Minyak nabati kelapa sawit tidak menyebabkan anomali pada mesin. Begitupun saat dilakukan akselerasi dan deselerasi, semua instrument mesin tercatat normal.

"Power kami rush dari idle hingga maksimum take off, kemudian di-reduce lagi ke idle, tidak ada masalah. Semua normal tidak ada anomali dan abnormality. Tidak ada engine short atau flight out, tidak ada gerakan ke kiri atau ke kanan saat akselerasi atau deselerasi," jelas Kapten Adi.

Uji coba bioavtur J2.4 juga dilakukan dengan mematikan mesin pesawat di ketinggian. Mesin sayap kanan yang berbahan bakar bioavtur dimatikan selama 30 detik, kemudian dinyalakan kembali. Proses menyalakan mesin berjalan normal, tidak menunjukkan masalah saat starter.

“Sejarah telah tercipta, penerbangan menggunakan bahan bakar nabati, campuran bioavtur 2,4% akhirnya terlaksana. Pesawat CN235 berhasil terbang dari Bandung ke Jakarta menggunakan bahan bakar inti minyak sawit,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif pada seremonial penggunaan bioavtur J2.4 di Bandara Soekarno Hatta, Rabu (6/10/2021).

11 Menteri

Uji terbang Bandung-Jakarta menjadi bukti keberhasilan Indonesia menciptakan bahan bakar avtur ramah lingkungan. Minyak avtur tak lagi murni berbahan fosil, tetapi dicampur minyak sawit yang lebih ramah lingkungan. Terobosan ini sejalan dengan rencana Pemerintah untuk percepatan implementasi energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025. Komitmen Pemerintah juga sesuai target rencana penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 tahun 2015 pun, mengatur kewajiban penggunaan bahan bakar nabati di BBM jenis avtur sebesar 5% pada 2025.

Namun, keberhasilan anak bangsa membuat bioavtur J2.4 tak semudah membalikkan telapak tangan. Jalan terjal nan berliku selama belasan tahun telah dilalui. Tenaga dan pikiran para ahli lintas disiplin, lembaga, perusahaan, hingga pemangku kebijakan berjibaku selama belasan tahun. Kini, kolaborasi lintas sektoral ini telah menghasilkan bioavtur J2.4, sebagai bahan bakar yang bisa digunakan untuk mesin pesawat terbang.

"Prosesnya bisa dibilang cukup panjang. Dimulai sekitar tahun 2000-an. Kalau boleh disebut, untuk pengembangan bioavtur minyak nabati 2,4 persen ini, telah melewati dua periode kepemimpinan (presiden) dan melahirkan banyak lulusan doktor lintas disiplin ilmu dan lintas negara di ITB," kata Ketua Tim Peneliti Uji Terbang Bioavtur dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Iman K Reksowardojo.

Pengembangan bioavtur dimulai dengan terbentuknya sinergi penelitian antara Research & Technology Innovation (RTI) Pertamina dan Pusat Rekayasa Katalisis Institut Teknologi Bandung (PRK-ITB) pada 2012 silam. Riset dipimpin Profesor Subagjo dari Teknik Kimia ITB. Kala itu, tim berkomitmen membuat pengembangan katalis Merah-Putih, mengkonversi minyak inti sawit menjadi bahan bakar bioavtur.

"Waktu itu, uji coba masih skala laboratorium, tim Pak Subagjo bersama tim Pertamina mengembangkan katalis. Kami di Teknik Mesin ITB menguji dengan motor turbin gas kecil, mencampurkan bahan bakar avtur dengan bioavtur dari minyak kelapa. Satu hari hanya menghasilkan kurang dari 1 liter. Padahal uji turbin mesin pesawat membutuhkan ribuan liter,” jelas dia.

Namun, aral melintang tak membuat tim riset ITB dan Pertamina patah arang. Riset terus dilakukan dengan dukungan dan sokongan dana dari banyak pihak, seperti pemerintah, PT Pertamina (Persero), Badan Riset & Inovasi Nasional (BRIN), Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS), ASEAN University Networking Southeast Engineering Education Network (AUN/SEED-Net), JICA dan lainnya. Kendati begitu, proses riset pun tetap memakan waktu cukup panjang.

Dalam perjalanannya, pengembangan bioavtur sempat vakum. Proyek ini dinilai tidak ekonomis karena harga minyak fosil kala itu terus turun. Padahal, tim peneliti telah membuat rencana pengembangan katalis dan kilang bioavtur oleh Pertamina. “Walaupun vakum, kami sebagai peneliti tidak bisa berhenti begitu saja. Kami terus melakukan riset. Istilahnya, sampai PRK-ITB itu dikunjungi 11 menteri untuk mendapat dukungan. Akhirnya, Presiden Joko Widodo membuat tim khusus untuk mengawal riset hingga saat ini,” kata Iman.

Komitmen kuat semua pihak menghasilkan bioavtur, akhirnya menunjukkan titik terang. Proses riset dilakukan di kilang minyak milik Pertamina. Tahap awal pengembangan dilakukan oleh PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) unit Dumai melalui Distillate Hydrotreating Unit (DHDT). Pada tahap ini, dilakukan proses hydro decarboxylation. Prosesnya menargetkan produksi diesel bio hidrokarbon dan bioavtur dalam skala laboratorium.

Tahap selanjutnya, ditandai dengan proses hydrodeoxygenation. Pada tahap ini, Pertamina berhasil memproduksi diesel bio hidrokarbon yang lebih efisien. Puncaknya, PT KPI unit Dumai berhasil memproduksi diesel bio hidrokarbon D-100 yang 100% berasal dari bahan baku nabati yaitu Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) pada 2020 lalu. Minyak kelapa sawit ini sudah melalui proses penyulingan untuk menghilangkan asam lemak bebas, serta dilakukan proses penjernihan untuk menghilangkan warna dan bau.

Pengembangan bioavtur kemudian dilakukan di dalam Treated Distillate Hydrotreating (TDHT) unit Kilang Cilacap. Katalis Merah-Putih yang telah dibuat tim ITB, diproduksi di fasilitas milik Clariant Kujang Catalyst di Cikampek, dengan supervisi langsung dari team RTI Pertamina. Di Kilang Cilacap, bioavtur dihasilkan dari inti minyak sawit Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO) yang dicampur dengan minyak fosil. Keberhasilan ini menjadi titik puncak temuan energi ramah lingkungan.

Setara Avtur Jet A1

Menurut Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati, bioavtur J2.4 yang diproduksi di PT Kilang Pertamina Internasional (PT KPI) unit Cilacap menunjukkan performa yang setara dengan bahan bakar avtur fosil. Performa bioavtur J2.4 memiliki kualitas optimal. Pertamina hanya mendeteksi perbedaan kinerja 0,2 hingga 0,6% dari avtur fosil.

“Bioavtur J2.4 mengandung nabati 2,4% ini merupakan pencapaian maksimal dengan teknologi katalis dan kilang yang ada,” ujar Nicke.

Kembali menurut Iman K Reksowardojo, proses produksi bahan bakar pesawat J2.4 telah memenuhi standar internasional. Di antaranya avtur tidak boleh beku pada suhu minus 47 derajat celcius. "Bioavtur ini kan nantinya akan dipakai pesawat pada ketinggian di mana suhunya bisa minus 40 derajat celcius. Jadi tidak boleh beku. Juga tidak boleh mengeluarkan asap hitam. J2.4 sudah memenuhi spesifikasi itu," kata Iman.

Menurut dia, tim Pertamina dan ITB sempat melakukan uji coba dengan menaikkan komposisi minyak sawit sebanyak 3 persen. Namun dalam prosesnya, campuran tersebut masih menyebabkan bioavtur titik bekunya di atas minus 47 derajat celcius. "Tim kemudian menurunkan kembali dan didapat komposisi tepat campuran inti minyak sawit 2,4 persen," jelas dia.

Kendati begitu, Iman memastikan, tidak tercapainya komposisi 3 persen karena proses produksi menggunakan teknik co-processing dengan menggunakan kilang tanpa modifikasi yang signifikan. Dia berkeyakinan, dengan penelitian lebih lanjut akan menaikkan komposisi penggunaan minyak inti sawit. Apalagi didukung ketersediaan kilang dengan rancangan khusus bioavtur.

"Rencana pengembangan selanjutnya, bioavtur akan dibikin terpisah hingga kadar bioavtur tercapai 100 persen dengan kilang khusus yang dirancang dapat memproses bahan baku minyak nabati. Kemudian bioavtur yang dihasilkan dicampur dengan avtur fosil sesuai regulasi internasional hingga dapat mencapai 50 persen,” imbuh dia.

Pertamina Go Green

Sinergi banyak pihak menghasilkan bioavtur J2.4 adalah langkah konkret Indonesia merespon isu pemanasan global melalui penggunaan energi baru terbarukan (EBT). Tanpa keseriusan semua pihak terhadap penggunaan energi nabati, bumi akan menghadapi ancaman pemanasan global yang semakin parah.

Paris Agreement melangsir, sektor aviasi termasuk 10 besar penghasil karbondioksida (CO2). Ini tak lepas dari meningkatnya bisnis aviasi dalam beberapa tahun terakhir, sebelum pandemi COVID-19 melanda dunia. Diperkirakan, gas buang pesawat terbang akan menyumbang 2,1% terhadap emisi global. Sementara, International Civil Aviation Organization (ICAO) telah merilis target efisiensi bahan bakar sebesar 2% per tahun hingga 2050.

Di Indonesia, penggunaan bahan bakar avtur diperkirakan mencapai 14.000 kiloliter (kl) per hari. Tanpa upaya konkret terhadap penggunaan EBT, Indonesia akan menjadi negara penyumbang pemanasan global. Akibatnya akan terjadi perubahan iklim yang menyebabkan timbulnya bencana banjir dan kekeringan.

Keberhasilan Indonesia menciptakan bioavtur sedikit banyak dapat mengurangi emisi gas buang karbon dioksida yang akan berdampak terhadap efek rumah kaca. Bioavtur akan berkontribusi mengurangi tingginya karbon dioksida di atmosfer, karena emisi karbon dioksida hasil dari pembakaran bioavtur akan diserap kembali oleh tanaman.

Upaya mengurangi polusi akibat penggunaan bahan bakar minyak juga menjadi konsen PT Pertamina (Persero). BUMN energi ini telah mencanangkan kebijakan go green sebagai dukungan terhadap penggunaan EBT yang dicanangkan Pemerintah Indonesia.

Komitmen Pertamina, sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo yang menekankan pentingnya mengurangi penggunaan energi fosil, diganti energi ramah lingkungan seperti pemanfaatan minyak sawit. Presiden meminta dilakukan hilirisasi minyak sawit atau CPO di dalam negeri untuk kemandirian energi nasional dan mengurangi defisit neraca perdagangan.

Sementara, dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP), PT Pertamina (Persero) telah menetapkan target prestisius untuk EBT sebesar 30% pada 2035. "Saat ini, Pertamina terus melanjutkan langkah dalam pengembangan EBT dengan delapan inisiatif transisi energi," ujar Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati.

Salah satu inisiatif transisi energi Pertamina adalah memanfaatkan potensi kelapa sawit nasional untuk berinvestasi dalam proyek Green Refinery di Plaju, Dumai, dan Cilacap. Komitmen itu telah dibuktikan Pertamina dengan menghasilkan biodiesel 30 (B30) dan Green Diesel D-100, serta dukungan terhadap riset katalis Merah-Putih dan bioavtur J2.4.

Menurut Nicke Widyawati, PT KPI unit Cilacap juga mendorong sepenuhnya penggunaan energi minyak alternatif. Unit memiliki kapasitas teknis untuk mengembangkan bioavtur nasional. Saat ini, unit kilang Cilacap merupakan produsen bahan bakar minyak (BBM) jenis aviation turbine terbesar di Indonesia. Kilang unit Cilacap memiliki kemampuan produksi tertinggi sebesar 1.852.000 barel sepanjang 2020.

Tak hanya itu, Pertamina juga mendapat pengakuan dalam menerapkan standar lingkungan dan prinsip bisnis berkelanjutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia melalui penghargaan Proper Gold & Green. Program lingkungan yang dijalankan Pertamina dinilai telah mendukung pencapaian energi bersih dan terjangkau, konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, serta aksi iklim dan kehidupan berkelanjutan.

Kemandirian Energi

Pemanfaatan minyak nabati sawit memberi harapan besar bagi masyarakat Indonesia. Banyak warga menggantungkan hidupnya di perkebunan kelapa sawit. Sementara melimpahnya potensi sumber alam Indonesia ini, belum memberi kesejahteraan maksimal akibat fluktuatif harga sawit.

Padahal, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 mencatat, luas lahan kelapa sawit Indonesia mencapai 14,6 juta hektare. Dari jumlah itu, sekitar 40,6 persen atau 5,8 juta hektare dikelola rakyat. Sementara 55 persen atau 7,9 juta hektare dikelola perusahaan besar swasta, dan sisanya korporasi pemerintah. Jutaan tenaga kerja menggantungkan hidupnya di sektor perkebunan ini.

Melimpahnya produksi sawit nusantara telah mencatat kapasitas produksi hingga 40,5 juta ton per tahun (2018) dan terus meningkat hingga saat ini. Misalnya produksi sawit pada Januari 2021 tercatat mencapai 3,76 juta ton dengan jenis crude palm oil (CPO) 3,42 juta ton, crude palm kernel oil (CPKO) 334.000 ton, dan lainnya. Dari produksi sawit Indonesia pada Januari 2021, dimanfaatkan untuk konsumsi dalam negeri hanya 1,52 juta ton. 763.000 ton untuk pangan, 178.000 ton untuk oleokimia, dan biodiesel sebanyak 580.000 ton.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, keberhasilan uji terbang bioavtur telah memberi kepercayaan tinggi terhadap kemampuan Indonesia dalam memanfaatkan sumber daya domestik, khususnya minyak sawit. "Ini sebagai upaya membangun kemandirian energi nasional. Keberhasilan ini akan berdampak pada pengurangan ketergantungan terhadap impor energi, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Airlangga.

Dengan perkiraan konsumsi avtur harian sekitar 14.000 kiloliter, potensi pasar bioavtur J2.4 diperkirakan akan mencapai Rp1,1 triliun per tahun. Potensi ini akan menjadi prospek besar bagi pengembangan industri sawit nasional.

Komitmen Bersama

Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pengembangan bioavtur menggunakan bahan minyak nabati kelapa sawit relatif baru. Apalagi jika temuan ini bisa dikembangkan dalam skala komersial. Dari aspek energi, adalah upaya Indonesia menuju ketahanan energi bahan bakar minyak.

"Temuan bioavtur J2.4 ini sangat bagus. Karena kita punya bahan baku minyak sawit cukup banyak. Sehingga kedepan, kita tidak hanya bergantung kepada minyak fosil saja," kata Komaidi.

Menurut dia, dalam konsep pengembangan energi baru terbarukan (EBT) memang mesti diselaraskan dengan potensi lokal. Bioavtur dinilai langkah tepat menuju pemanfaatan potensi sawit Indonesia yang jumlahnya cukup melimpah. Potensi ini menjadi daya ungkit Indonesia dalam konteks ketahanan energi nasional di mata internasional.

Apalagi, saat ini, kata dia, porsi pemanfaatan EBT baru sekitar 14 persen dari total konsumsi BBM di Indonesia yang mencapai 1,5 juta barel per hari. "Tapi bagaimanapun upaya ini harus kita dukung dan kembangkan. Seribu langkah perjalanan, harus dimulai dari satu langkah perjalanan," katanya.

Walaupun, lanjut dia, nantinya pemerintah akan dihadapkan pada dua pilihan dilematis dalam penggunaan bioavtur ini. Dalam konteks ketahanan energi, temuan ini sangat bagus. Tetapi tidak demikian jika dilihat dari perspektif ekonomi. Sehingga pengembangan bioavtur ini, kata dia, harus lihat lebih utuh lagi.

"Apakah ini hanya dilihat dalam konteks ekonomi murni. Kalau konteksnya ekonomi, bisa jadi ini bukan pilihan untuk dikembangkan. Bisa saja kemudian akan lebih efisien mengolah avtur dari minyak mentah (fosil)," ujar dia.

Tapi jika dilihat dari aspek ketahanan energi dan upaya mengurangi neraca dagang, pengembangan bioavtur berbahan minyak sawit menjadi logis untuk bisa dikembangkan. Oleh karenanya, pemerintah harus melihat konteks ini secara utuh, tergantung pada tujuan pengembangannya.

Bagaimanapun, harga BBM yang dihasilkan dari sumber yang bisa diperbaharui (nabati) akan lebih mahal ketimbang minyak fosil. Begitupun harga bioavtur yang diprediksi bakal lebih mahal dari avtur jet A1. Ini karena energi yang diperbaharui mesti diolah atau dibuat dari nol. Berbeda dengan minyak fosil yang sudah disediakan alam dan tinggal mengolahnya.

Namun begitu, Komaidi menyebut, salah satu solusi untuk mendapatkan skala keekonomian adalah menaikkan komposisi bahan nabati minyak sawit lebih dari 2,4 persen serta memproduksi dalam skala massal. Biasanya, produk yang diproduksi massal akan diraih harga jual jauh lebih murah. "Jadi kalau memang ingin mendapat skala ekonomi, volumenya harus ditambah. Silahkan dihitung pemerintah, kira-kira titik optimalnya di mana," ujar dia.

Kendati begitu, pengembangan minyak sawit menjadi bioavtur, perlu mendapat dorongan regulator dalam rangka memberi kepastian market (pasar). Tanpa ada kepastian market, pengembangan energi ramah lingkungan ini akan sulit berkembang, apalagi jika bersaing dengan sumber energi fosil.

"Market harus ada jaminan, supaya produknya bisa terserap pasar. Misalnya pemerintah menerbitkan aturan bahwa penerbangan domestik harus menggunakan bioavtur, seperti mandatory B30 untuk kendaraan di darat," ujar Komaidi Notonegoro yang juga menjabat Direktur Eksekutif Reforminer Institute.

Pemanfaatan energi ramah lingkungan ini, juga bisa didorong pemerintah melalui pemberian insentif fiskal kepada produsen atau konsumen. Keringanan pajak, akan meringankan beban konsumen, jika harga BBM nabati lebih mahal ketimbang minyak fosil.
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1733 seconds (0.1#10.140)