Kiai Bukhori Tolak Pakai Piring Keramik, Simbol Perlawanan saat Dibuang Belanda ke Banda Neira

Minggu, 24 Oktober 2021 - 17:13 WIB
loading...
A A A
Sejak tahun 1928, Kiai Bukhori dan Kiai Abdullah Fakih menjalani hukuman pengasingan ke Pulau Banda Neira. Saat itu, kata Gus Bobby usia kakek buyutnya sudah 75 tahun. Karena alasan umur, atas ijin Belanda tiga tahun kemudian (tahun 1931) Kiai Shofwan, putra Kiai Bukhori menyusul ke Banda Neira. "Kiai Shofwan saat itu masih berusia 24 tahun dan bujangan. Kiai Shofwan adalah ayah ibu saya," kata Gus Bobby menjelaskan.

Dengan diangkut kapal laut, Kiai Bukhori tiba di Banda Neira sebelum Kongres Sumpah Pemuda. Kehadiran Kiai Bukhori sebagai orang buangan di Banda Neira lebih awal dibanding Bung Hatta dan Sutan Sjahrir. Kolonial Belanda memindahkan Hatta dan Sjahrir ke Banda Neira pada tahun 1836. Sebelumnya keduanya menjalani pengasingan di Digul.

Bersama 12 orang dari Blitar, Gus Bobby belum lama ini melakukan ekspedisi sejarah ke Pulau Banda Neira. Dia mendatangi monumen yang mengabadikan 16 nama tahanan politik di Banda Neira. Pada dinding monumen yang menulis nama Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Iwa Kusumasumantri dan Cipto Mangunkusumo. Tertulis juga nama Kiai Bukhori dan Kiai Abdullah Fakih.

Selama di Banda Neira, Gus Bobby juga banyak mendapat cerita tutur tentang kisah buyutnya. Orang-orang tua di Banda Neira mengenangnya dengan sebutan ulama dari Jawa.

Ada cerita bagaimana Kiai Bukhori tetap aktif melakukan syiar Islam. Sebagai ulama, rajin mengunjungi masjid-masjid, dan tidak sedikit warga setempat yang menjadi santrinya. Di tempat tinggalnya, Kiai Bukhori juga tetap mengamalkan Tarekat Akmaliyah, meski dilakukan sembunyi-sembunyi.

Ada yang menyebut Tarekat Akmaliyah sebagai Tarekat Syatariah. Tarekat yang diikuti para bekas laskar Pangeran Diponegoro. "Karena tetap diawasi Belanda, ngaji tarekat ini dilakukan secara tertutup, sembunyi -sembunyi," terang Gus Bobby. Persinggungan Kiai Bukhori dengan Bung Hatta di Banda Neira tidak lama. Karena begitu Bung Hatta dan Sjahrir menjejakkan kaki di Banda Neira (1936), dua tahun berikutnya Kiai Bukhori bertolak kembali ke Jawa. Terkait persinggungan itu Gus Bobby juga mendapat cerita.

Saat itu para tahanan politik, termasuk Kiai Bukhori tengah berkumpul di tempat Cipto Mangunkusumo. Ada Hatta, Sutan Sjahrir, Iwa Kusumasumantri dan Cipto sendiri. Melihat kayu bekas serta buku-buku yang berserak, Kiai Bukhori yang memiliki tradisi literasi yang kuat, berinisiatif membuat rak buku. "Yang cerita sejarawan setempat. Mungkin karena Kiai Bukhori sudah sepuh, rak buku buatannya kurang presisi," kata Gus Bobby.

Sepeninggal Kiai Bukhori (Pulang ke Jawa), Jauharuddin Johar atau John Johar, murid Kiai Bukhori dipercaya melanjutkan syiar agama di Banda Neira. Bung Hatta yang meninggalkan Banda Neira tahun 1942, disebut banyak menggali pengetahuan Islam dari John Johar. Soal Islam Bung Hatta banyak berdiskusi dengan John Johar. "Karenanya kalau mengacu konsep sanad, Bung Hatta banyak belajar agama Islam dari Kiai Bukhori," terang Gus Bobby.

Dari Banda Neira, Kiai Bukhori membawa oleh-oleh tiga pasang pohon Pala dan dua kerang laut berukuran besar. Sepasang pala ditanam di Istana Gebang Kota Blitar, rumah masa kecil Bung Karno. Sepasang lagi ia tanam di Ponpes Jatinom yang kemudian bernama Maftahul Uluum dan sepasang lainnya diminta kerabat untuk ditanam di tempatnya. Menurut Gus Bobby, pohon pala peninggalan buyutnya itu hingga kini masih ada.

Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1037 seconds (0.1#10.140)