Kiai Bukhori Tolak Pakai Piring Keramik, Simbol Perlawanan saat Dibuang Belanda ke Banda Neira

Minggu, 24 Oktober 2021 - 17:13 WIB
loading...
Kiai Bukhori Tolak Pakai Piring Keramik, Simbol Perlawanan saat Dibuang Belanda ke Banda Neira
Kiai Bukhori bersama jajaran pengurus SI Blitar (insert). Foto: Istimewa
A A A
BLITAR - Kiai Mohammad Imam Bukhori , pendiri Ponpes Jatinom, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar , sampai akhir hayatnya tetap istiqomah (konsisten) melawan Kolonial Belanda .

Bahkan sepulang menjalani hukuman pengasingan selama 10 tahun di Pulau Banda Neira, tahun 1938. Kiai Bukhori tetap kukuh menolak memakai piring keramik dan tetap memakai batok kelapa sebagai simbol perlawanan terhadap Belanda.

"Sampai akhir hayatnya, setiap makan Kiai Bukhori selalu memakai piring batok kelapa. Hal itu sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme Belanda," ujar Ahmad Khubby atau akrab disapa Gus Bobby, cicit Kiai Bukhori sekaligus pengasuh Ponpes Maftahul Uluum, Jatinom, Kanigoro, Kabupaten Blitar kepada SINDONews.com.



Pemerintah Kolonial Belanda menangkap Kiai Bukhori pada tahun 1928. Penangkapan Kiai Bukhori terkait dengan pemberontakan SI (Sarikat Islam) Merah atau Sarekat Rakyat pada November 1926. "Sampai sekarang kita masih menelusuri, seberapa besar peran Kiai Bukhori dalam pemberontakan 1926," kata Gus Bobby.

Sebelum SI terbelah dua menjadi SI Putih pimpinan HOS Cokroaminoto, dan SI Merah pimpinan Semaun. Kiai Bukhori merupakan Ketua SI Blitar.

Pada tahun 1914. Saat SI menggelar pertemuan besar semacam Silatnas (Silaturahmi Nasional) di alon-alon Kota Blitar yang dihadiri HOS Cokroaminoto. Kiai Bukhori memakai Ponpes Jatinom sebagai tempat makan siang para peserta silatnas. Dari alon-alon Kota Blitar, para peserta berjalan kaki menuju Ponpes Jatinom yang jaraknya lumayan jauh.

"Mungkin karena saat itu udara masih bersih dari polusi, sehingga tidak merasakan jauh," terang Gus Bobby.

Pemerintah Kolonial Belanda sudah lama mengawasi Kiai Bukhori sebelum aktif di SI. Dari dokumen resmi KITLV (Koninklijk Instituut Voor Taal en Volkenkunde) yang berhasil diperoleh keluarga. Pada tahun 1910, penasehat Kolonial Belanda Urusan Pribumi Godard Arend Johannes Hazeu, membuat catatan sebanyak 15 lembar tentang Kiai Bukhori.



Hazeu seorang Belanda ahli kebudayaan Jawa. Ia murid Snouck Hurgonje yang pada akhir tahun 1907 rutin mengunjungi masjid-masjid di Pulau Jawa. Catatan Hazeu menyebut Kiai Bukhori adalah seorang guru ngaji di pesantren Jatinom Blitar yang pandangannya membahayakan Belanda.

Terutama dalam menafsirkan bab Jihad dari Kitab fikih Fathul Qorib. Dalam pidato-pidatonya, Kiai Bukhori menyebut kedudukan Belanda di Indonesia adalah ilegal. Karenannya umat Islam wajib melawan, memeranginya. "Catatan Hazeu, Pemerintah Belanda harus hati-hati dengan orang ini (Kiai Bukhori)," terang Gus Bobby.

Saat SI pecah, Kiai Bukhori memilih bergabung dengan SI Merah yang sikap perlawanannya terhadap kolonial Belanda lebih radikal. Sejumlah tokoh radikal yang kemudian dicap sebagai komunis berada di Sarekat Rakyat. Semaun, Alimin, Darsono, Tan Malaka dan Haji Misbach.

SI Merah berkantor pusat di Semarang. Sedangkan SI Putih yang kepemimpinannya dipegang Agus Salim, Abdul Moeis, Suryopranoto dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, berpusat di Yogyakarta.

Bagi Gus Bobby, komunis tahun 1926 berbeda dengan komunis tahun 1965. "Pandangan komunis 1926 berbeda dengan komunis 1965," papar Gus Bobby. Pemerintah Kolonial Belanda menangkap Kiai Bukhori pada tahun 1928.

Selain Kiai Bukhori, Belanda juga meringkus Kiai Abdullah Fakih dari Plosokerep, Blitar. Penangkapan Kiai Bukhori muncul dalam pemberitaan surat kabar saat itu. Ada sebanyak 7 koran yang menurunkan laporan, yakni salah satunya koran Belanda De Locomotife. Semua menyebut, penangkapan Kiai Bukhori, seorang adviser de sarekat rakyat kelahiran Kaligintung, Kulonprogo, Yogyakarta.

"Adviser de sarekat rakyat ini mungkin jabatan penasehat atau semacam Dewan Syuro Sarekat Rakyat," kata Gus Bobby. Kiai Bukhori memang berasal dari Kaligintung, Kulonprogo, Yogyakarta.



Sebagaimana laskar Diponegoro yang lain. Paska kalah dalam Perang Jawa (1825-1830), Kiai Bukhori menyelamatkan diri ke Timur. Ia sempat singgah di Ponorogo, Nganjuk dan Pare Kediri, sebelum akhirnya memutuskan bermukim di Blitar.

Pada tahun 1886. Setelah menikahi Khadijah, putri KH Hasan Mustar atau KH Qomarudin yang juga veteran laskar Diponegoro, Kiai Bukhori mendirikan Pondok Pesantren di Jatinom, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar.

Sejak tahun 1928, Kiai Bukhori dan Kiai Abdullah Fakih menjalani hukuman pengasingan ke Pulau Banda Neira. Saat itu, kata Gus Bobby usia kakek buyutnya sudah 75 tahun. Karena alasan umur, atas ijin Belanda tiga tahun kemudian (tahun 1931) Kiai Shofwan, putra Kiai Bukhori menyusul ke Banda Neira. "Kiai Shofwan saat itu masih berusia 24 tahun dan bujangan. Kiai Shofwan adalah ayah ibu saya," kata Gus Bobby menjelaskan.

Dengan diangkut kapal laut, Kiai Bukhori tiba di Banda Neira sebelum Kongres Sumpah Pemuda. Kehadiran Kiai Bukhori sebagai orang buangan di Banda Neira lebih awal dibanding Bung Hatta dan Sutan Sjahrir. Kolonial Belanda memindahkan Hatta dan Sjahrir ke Banda Neira pada tahun 1836. Sebelumnya keduanya menjalani pengasingan di Digul.

Bersama 12 orang dari Blitar, Gus Bobby belum lama ini melakukan ekspedisi sejarah ke Pulau Banda Neira. Dia mendatangi monumen yang mengabadikan 16 nama tahanan politik di Banda Neira. Pada dinding monumen yang menulis nama Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Iwa Kusumasumantri dan Cipto Mangunkusumo. Tertulis juga nama Kiai Bukhori dan Kiai Abdullah Fakih.

Selama di Banda Neira, Gus Bobby juga banyak mendapat cerita tutur tentang kisah buyutnya. Orang-orang tua di Banda Neira mengenangnya dengan sebutan ulama dari Jawa.

Ada cerita bagaimana Kiai Bukhori tetap aktif melakukan syiar Islam. Sebagai ulama, rajin mengunjungi masjid-masjid, dan tidak sedikit warga setempat yang menjadi santrinya. Di tempat tinggalnya, Kiai Bukhori juga tetap mengamalkan Tarekat Akmaliyah, meski dilakukan sembunyi-sembunyi.

Ada yang menyebut Tarekat Akmaliyah sebagai Tarekat Syatariah. Tarekat yang diikuti para bekas laskar Pangeran Diponegoro. "Karena tetap diawasi Belanda, ngaji tarekat ini dilakukan secara tertutup, sembunyi -sembunyi," terang Gus Bobby. Persinggungan Kiai Bukhori dengan Bung Hatta di Banda Neira tidak lama. Karena begitu Bung Hatta dan Sjahrir menjejakkan kaki di Banda Neira (1936), dua tahun berikutnya Kiai Bukhori bertolak kembali ke Jawa. Terkait persinggungan itu Gus Bobby juga mendapat cerita.

Saat itu para tahanan politik, termasuk Kiai Bukhori tengah berkumpul di tempat Cipto Mangunkusumo. Ada Hatta, Sutan Sjahrir, Iwa Kusumasumantri dan Cipto sendiri. Melihat kayu bekas serta buku-buku yang berserak, Kiai Bukhori yang memiliki tradisi literasi yang kuat, berinisiatif membuat rak buku. "Yang cerita sejarawan setempat. Mungkin karena Kiai Bukhori sudah sepuh, rak buku buatannya kurang presisi," kata Gus Bobby.

Sepeninggal Kiai Bukhori (Pulang ke Jawa), Jauharuddin Johar atau John Johar, murid Kiai Bukhori dipercaya melanjutkan syiar agama di Banda Neira. Bung Hatta yang meninggalkan Banda Neira tahun 1942, disebut banyak menggali pengetahuan Islam dari John Johar. Soal Islam Bung Hatta banyak berdiskusi dengan John Johar. "Karenanya kalau mengacu konsep sanad, Bung Hatta banyak belajar agama Islam dari Kiai Bukhori," terang Gus Bobby.

Dari Banda Neira, Kiai Bukhori membawa oleh-oleh tiga pasang pohon Pala dan dua kerang laut berukuran besar. Sepasang pala ditanam di Istana Gebang Kota Blitar, rumah masa kecil Bung Karno. Sepasang lagi ia tanam di Ponpes Jatinom yang kemudian bernama Maftahul Uluum dan sepasang lainnya diminta kerabat untuk ditanam di tempatnya. Menurut Gus Bobby, pohon pala peninggalan buyutnya itu hingga kini masih ada.



"Sampai sekarang pohon Pala itu masih ada. Dan sepulang dari ekspedisi Banda Neira saya juga membawa bibit pala juga," kata Gus Bobby.

Kembali dari pengasingan (tahun 1938), Kiai Bukhori kembali aktif ngaji di Ponpes Jatinom Blitar. Terutama kitab kuning. Pesantren Jatinom sejak awal berdiri tidak mengajarkan santri ilmu kanuragan. Kiai Bukhori lebih mengedepankan tradisi literasi.

Menurut Gus Bobby, tradisi mengaji Alquran beserta tafsir, hadist, Nahwu Sharaf, Ilmu Fiqih dan sejumlah kitab klasik terus berjalan hingga kini. "Di pesantren Jatinom tidak mengajarkan kanuragan. Tetapi lebih ke literasi," terang Gus Bobby.

Dari pernikahannya dengan Khadijah, Kiai Bukhori dikaruniai 9 anak, yang dua di antaranya putra. Saat pemilu pertama di Indonesia tahun 1955. Kiai Shofwan, salah satu putra Kiai Bukhori merupakan pendiri sekaligus Ketua Partai NU Blitar. Kiai Bukhori tutup usia pada tahun 1945 dan dimakamkan di lingkungan Ponpes Jatinom, Kanigoro, Kabupaten Blitar.

Sampai akhir hayat, sikapnya terhadap kolonialisme tidak berubah, tetap menolak menggunakan piring keramik dan menganggap keberadaan Belanda di Indonesia adalah ilegal.
(nic)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2695 seconds (0.1#10.140)