Tuah Topeng Gajah Mada dan Hasrat Soeharto Melanggengkan Kekuasaan
loading...
A
A
A
Setelah selesai diupacarai oleh Pemangku atau pemimpin upacara umat Hindu, kata Kakarsana barulah para pemedek atau pemohon menghaturkan persembahyangan. "Banyak yang saya tahu masalah itu bisa diselesaikan," katanya.
Baca juga: Ratu Sakti, Raja Pajajaran yang Umbar Nafsu Birahi dengan Menikahi Istri Selir Ayahnya
Kesakralan lainnya, kata dia, sewaktu-waktu topeng yang merupakan warisan Maha Patih sakti Gajah Mada itu "tedun" atau dimohon untuk ditarikan dalam sebuah pura pada saat upacara. "Topeng itu ditarikan juga sebagai simbolis kalau upacara itu telah selesai dilakukan," katanya.
Selain topeng Gajah Mada, pihak Puri juga "menyungsung" atau memuja 20 jenis topeng lainnya. "Topeng itu sama-sama ditempatkan di gedong Raja Dani, dan dikeluarkan bila ada upacara agama, " jelasnya.
Ditulis www.historia.id, suatu hari di tahun 1980-an, Ayatroheadi, arkeolog dan guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI), menerima misi khusus dari orang terpenting di negeri ini, Soeharto.
Pesannya datang dari Maulana Ibrahim, kepala Bidang Pemugaran Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala.
Misinya adalah mencari lokasi Mahapatih Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa. Misi ini tergolong sulit. Tersebab satu-satunya referensi adalah karya Mpu Prapanca, Negarakertagama, yang ditulis pada tahun 1365.
Apa yang bisa dilakukan oleh Ayatroheadi saat itu adalah menuju ke Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Berdasarkan penemuan beberapa situs bersejarah di sana, diduga kuat bahwa Trowulan adalah bekas ibukota Kerajaan Majapahit.
Namun, Ayatroheadi sendiri masih meragukan keabsahan informasi tersebut. Ditambah lagi, temuan-temuan berbagai macam benda purbakala yang terpendam di sana mencakup luasan yang cukup besar. Sekitar 99 kilometer persegi, masuk sampai ke wilayah timur Jombang.
Setelah menjalankan lima hari ekspedisinya, Ayatroheadi pulang dan melaporkan temuannya kepada pembawa pesan rahasia. Hasilnya, nihil.
Baca juga: Ratu Sakti, Raja Pajajaran yang Umbar Nafsu Birahi dengan Menikahi Istri Selir Ayahnya
Kesakralan lainnya, kata dia, sewaktu-waktu topeng yang merupakan warisan Maha Patih sakti Gajah Mada itu "tedun" atau dimohon untuk ditarikan dalam sebuah pura pada saat upacara. "Topeng itu ditarikan juga sebagai simbolis kalau upacara itu telah selesai dilakukan," katanya.
Selain topeng Gajah Mada, pihak Puri juga "menyungsung" atau memuja 20 jenis topeng lainnya. "Topeng itu sama-sama ditempatkan di gedong Raja Dani, dan dikeluarkan bila ada upacara agama, " jelasnya.
Ditulis www.historia.id, suatu hari di tahun 1980-an, Ayatroheadi, arkeolog dan guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI), menerima misi khusus dari orang terpenting di negeri ini, Soeharto.
Pesannya datang dari Maulana Ibrahim, kepala Bidang Pemugaran Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala.
Misinya adalah mencari lokasi Mahapatih Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa. Misi ini tergolong sulit. Tersebab satu-satunya referensi adalah karya Mpu Prapanca, Negarakertagama, yang ditulis pada tahun 1365.
Apa yang bisa dilakukan oleh Ayatroheadi saat itu adalah menuju ke Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Berdasarkan penemuan beberapa situs bersejarah di sana, diduga kuat bahwa Trowulan adalah bekas ibukota Kerajaan Majapahit.
Namun, Ayatroheadi sendiri masih meragukan keabsahan informasi tersebut. Ditambah lagi, temuan-temuan berbagai macam benda purbakala yang terpendam di sana mencakup luasan yang cukup besar. Sekitar 99 kilometer persegi, masuk sampai ke wilayah timur Jombang.
Setelah menjalankan lima hari ekspedisinya, Ayatroheadi pulang dan melaporkan temuannya kepada pembawa pesan rahasia. Hasilnya, nihil.