Sirnanya Kekebalan Raja Jayanegara dan Akhir Kisah Perselingkuhan
loading...
A
A
A
RAJA-raja pada umumnya dan raja-raja di Jawa khususnya memiliki kesaktian dan ilmu keba l. Hal yang sama juga dimiliki Raja Jayanegara, raja Kerajaan Majapahit. Ironisnya, kesaktian Jayanegara sirna di tangan Ra Tanca, seorang tabib istana merangkap pengawal. Raja Kerajaan Majapahit itu tewas bersimbah darah di tangan seorang tabib.
Kok bisa? Bagaimana bisa seorang tabib membunuh orang nomor satu kerajaan yang memiliki ilmu kebal itu? Pertanyaan ini mebuat semua orang ingin tahu profil Raja Jayanegara.
Jayanegara adalah putra sulung Raden Wijaya dari Dara Petak atau Indreswari, putri Kerajaan Dharmasraya dari Melayu, Sumatera. Menurut Kitab Pararaton, Jayanegara dikenal dengan nama Kalagemet, sebuah nama yang ditafsirkan “lemah” atau “jahat”.
Selain menikahi Dara Petak, Raden Wijaya sesungguhnya sudah punya empat istri yang semuanya adalah putri Kertanagara. Dua saudara Jayanegara yakni, Tribhuwanatunggadewi dan Dyah Wiyat Uri Rajadewi adalah anak Raden Wijaya dari perkawinannya dengan Gayatri Rajapatni.
Sebagaimana ditulis Pitono Hardjowardojo, dkk., Pararaton (1965:46), Dara Petak membujuk Raden Wijaya untuk menjadikan Jayanegara sebagai putra mahkota. Rayuan maut Dara Petak berhasil. Raden Wijaya menjadikan putranya, Jayanegara, sebagai putra mahkota. Padahal kalau merujuk kebiasaan raja-raja di Jawa, yang berhak menggantikan takhta kerajaan adalah anak yang lahir dari permaisuri, entah itu anak laki-laki maupun anak perempuan.
Sejak Jayanegara dinobatkan sebagai putra mahkota, kerajaan mengalami guncangan internal. Orang-orang yang sebelumnya sangat loyal terhadap Raden Wijaya mulai memberontak. Mereka memikirkan masa depan Majapahit karena jatuh ke tangan Kalagemet alias Jayanegara.
Dari sekian banyak pemberontakan yang muncul pada era Jayanegara, ada beberapa yang paling membahayakan, antara lain pemberontakan yang dimotori oleh Ranggalawe pada 1309, Lembu Sora pada 1311, Nambi pada 1316, hingga Kuti pada 1319. Pemberontakan RA Kuti itu yang sulit dipadamkan.
Karena keselamatan raja terancam, pimpinan pasukan Bhayangkara patih Gajah Mada bersama 15 pengawal berinisiatif membawa Raja Jayanegara secara diam-diam pada malam hari ke Desa Badander. Seluruh kerajaan tidak tahu kecuali 15 pasukan Bhayangkara yang mengikuti raja.
Protokol pengawalan dan pengamanan raja begitu ketat. Ketika seorang pelayan raja minta pulang ke Majapahit, Gajah Mada tidak mengizinkan. Dikhawatirkan mereka akan membocorkan lokasi persembunyian raja hingga pasukan RA Kuti bisa menyerangnya.Pengalasan yang nekad pulang langsung dibunuh Gajah Mada. Setelah lima hari mengungsi, Gajah Mada minta izin raja untuk mengecek situasi Kerajaan.
Saat bertemu pejabat tinggi kerajaan, mereka bertanya soal keberadaan raja. Oleh Gajah Mada dijawab bahwa raja sudah tewas diserang pasukan RA Kuti. Maka, pecah lah tangis mereka. "Diam lah, tidakkah tuan-tuan menghendaki RA Kuti sebagai raja? " tanya Gajah Mada seperti dikutip dalam buku 'Biografi Politik Gajah Mada’ karangan Agus Aris Munandar.
Tapi, mereka menjawab Kuti bukan lah raja yang mereka sembah. Mendapat jawaban itu, Gajah Mada mengaku bahwa raja masih hidup di Desa Badander dan dia meminta bantuan pejabat tinggi kerajaan untuk mengalahkan RA Kuti.
Singkat cerita, dari berbagai pemberontakan, Jayanegara selalu lolos dari maut. Ironisnya, nyawanya melayang justru ketika situasi kerajaan sudah aman. Pada tahun 1328, dia tewas ditikam oleh Ra Tanca, tabib sekaligus pengawal kepercayaannya sendiri.
Banyak spekulasi di balik aksi Ra Tanca. Diduga ada peran Gajah Mada di balik penikaman itu. Dari banyak sumber dikatakan bahwa Gajah Mada menyimpan dendam terhadap Jayanegara lantaran sang raja telah menggoda istrinya.
Dalam buku Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya (1979) karya Slamet Muljana dikatakan bahwa Gajah Mada pada dasarnya tidak suka terhadap Jayanegara. Selain karena tabiat buruk, Gajah Mada tidak menyukai Jayanegara karena kurang piawai dalam mengelola pemerintahan.
Tindakan amoral yang sama juga dilakukan terhadap istri Ra Tanca. Sehingga seperti sudah menjadi rahasia umum bahwa raja suka menganggu dan berhubungan dengan perempuan-perempuan yang telah bersuami. Perbuatan itu merupakan nista. Dalam kitab Kutaramanawadharmasastra Majapahit menyatakan, bahwa hukuman bagi orang yang mengganggu perempuan yang bersuami sangat berat.
Maka tiba saatnya, raja mendapat balasan. Kebetulan Raja Jayanegara menderita sakit bengkak, tak dapat pergi keluar. Dikatakan bahwa Gajah Mada yang juga tidak cocok dengan Ra Tanca karena menjadi salah satu pesaing dalam kariernya sesama pengawal raja, memanfaatkan kesempatan.
Gajah Mada memanfaatkan sang tabib Ra Tanca sebagai alat untuk mengakhiri nyawa raja yang bertabiat buruk itu. Ra Tanca mendapatkan perintah untuk melakukan pembedahan dengan taji. Dia pun menghadap raja di tempat tidur. Raja ditusuk dengan taji Tanca. Satu, dua kali tapi tidak mempan. Raja lalu diminta jimatnya, dan meletakkan di tempat tidur.
Baru setelah itu tusukan taji mempan. Tanca menusukan berulang kali hingga raja tewas di tempat tidur. Dalam Pararaton diungkapkan bahwa Gajah Mada sudah bersiap di kamar raja tanpa diketahui Ra Tanca. Begitu raja selesai dibunuh, Gajah Mada masuk dan membunuh Tanca. (Padmopuspita, 1966,: 82-3).
Seluruh kerajaan gempar, raja dibunuh tukang tabib yang tak lain juga pengawal pribadinya. Lebih gempar lagi karena pembunuh raja Jayanegara langsung dihabisi oleh Gajah Mada.
Kok bisa? Bagaimana bisa seorang tabib membunuh orang nomor satu kerajaan yang memiliki ilmu kebal itu? Pertanyaan ini mebuat semua orang ingin tahu profil Raja Jayanegara.
Jayanegara adalah putra sulung Raden Wijaya dari Dara Petak atau Indreswari, putri Kerajaan Dharmasraya dari Melayu, Sumatera. Menurut Kitab Pararaton, Jayanegara dikenal dengan nama Kalagemet, sebuah nama yang ditafsirkan “lemah” atau “jahat”.
Selain menikahi Dara Petak, Raden Wijaya sesungguhnya sudah punya empat istri yang semuanya adalah putri Kertanagara. Dua saudara Jayanegara yakni, Tribhuwanatunggadewi dan Dyah Wiyat Uri Rajadewi adalah anak Raden Wijaya dari perkawinannya dengan Gayatri Rajapatni.
Sebagaimana ditulis Pitono Hardjowardojo, dkk., Pararaton (1965:46), Dara Petak membujuk Raden Wijaya untuk menjadikan Jayanegara sebagai putra mahkota. Rayuan maut Dara Petak berhasil. Raden Wijaya menjadikan putranya, Jayanegara, sebagai putra mahkota. Padahal kalau merujuk kebiasaan raja-raja di Jawa, yang berhak menggantikan takhta kerajaan adalah anak yang lahir dari permaisuri, entah itu anak laki-laki maupun anak perempuan.
Sejak Jayanegara dinobatkan sebagai putra mahkota, kerajaan mengalami guncangan internal. Orang-orang yang sebelumnya sangat loyal terhadap Raden Wijaya mulai memberontak. Mereka memikirkan masa depan Majapahit karena jatuh ke tangan Kalagemet alias Jayanegara.
Dari sekian banyak pemberontakan yang muncul pada era Jayanegara, ada beberapa yang paling membahayakan, antara lain pemberontakan yang dimotori oleh Ranggalawe pada 1309, Lembu Sora pada 1311, Nambi pada 1316, hingga Kuti pada 1319. Pemberontakan RA Kuti itu yang sulit dipadamkan.
Karena keselamatan raja terancam, pimpinan pasukan Bhayangkara patih Gajah Mada bersama 15 pengawal berinisiatif membawa Raja Jayanegara secara diam-diam pada malam hari ke Desa Badander. Seluruh kerajaan tidak tahu kecuali 15 pasukan Bhayangkara yang mengikuti raja.
Protokol pengawalan dan pengamanan raja begitu ketat. Ketika seorang pelayan raja minta pulang ke Majapahit, Gajah Mada tidak mengizinkan. Dikhawatirkan mereka akan membocorkan lokasi persembunyian raja hingga pasukan RA Kuti bisa menyerangnya.Pengalasan yang nekad pulang langsung dibunuh Gajah Mada. Setelah lima hari mengungsi, Gajah Mada minta izin raja untuk mengecek situasi Kerajaan.
Saat bertemu pejabat tinggi kerajaan, mereka bertanya soal keberadaan raja. Oleh Gajah Mada dijawab bahwa raja sudah tewas diserang pasukan RA Kuti. Maka, pecah lah tangis mereka. "Diam lah, tidakkah tuan-tuan menghendaki RA Kuti sebagai raja? " tanya Gajah Mada seperti dikutip dalam buku 'Biografi Politik Gajah Mada’ karangan Agus Aris Munandar.
Tapi, mereka menjawab Kuti bukan lah raja yang mereka sembah. Mendapat jawaban itu, Gajah Mada mengaku bahwa raja masih hidup di Desa Badander dan dia meminta bantuan pejabat tinggi kerajaan untuk mengalahkan RA Kuti.
Singkat cerita, dari berbagai pemberontakan, Jayanegara selalu lolos dari maut. Ironisnya, nyawanya melayang justru ketika situasi kerajaan sudah aman. Pada tahun 1328, dia tewas ditikam oleh Ra Tanca, tabib sekaligus pengawal kepercayaannya sendiri.
Banyak spekulasi di balik aksi Ra Tanca. Diduga ada peran Gajah Mada di balik penikaman itu. Dari banyak sumber dikatakan bahwa Gajah Mada menyimpan dendam terhadap Jayanegara lantaran sang raja telah menggoda istrinya.
Dalam buku Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya (1979) karya Slamet Muljana dikatakan bahwa Gajah Mada pada dasarnya tidak suka terhadap Jayanegara. Selain karena tabiat buruk, Gajah Mada tidak menyukai Jayanegara karena kurang piawai dalam mengelola pemerintahan.
Tindakan amoral yang sama juga dilakukan terhadap istri Ra Tanca. Sehingga seperti sudah menjadi rahasia umum bahwa raja suka menganggu dan berhubungan dengan perempuan-perempuan yang telah bersuami. Perbuatan itu merupakan nista. Dalam kitab Kutaramanawadharmasastra Majapahit menyatakan, bahwa hukuman bagi orang yang mengganggu perempuan yang bersuami sangat berat.
Maka tiba saatnya, raja mendapat balasan. Kebetulan Raja Jayanegara menderita sakit bengkak, tak dapat pergi keluar. Dikatakan bahwa Gajah Mada yang juga tidak cocok dengan Ra Tanca karena menjadi salah satu pesaing dalam kariernya sesama pengawal raja, memanfaatkan kesempatan.
Gajah Mada memanfaatkan sang tabib Ra Tanca sebagai alat untuk mengakhiri nyawa raja yang bertabiat buruk itu. Ra Tanca mendapatkan perintah untuk melakukan pembedahan dengan taji. Dia pun menghadap raja di tempat tidur. Raja ditusuk dengan taji Tanca. Satu, dua kali tapi tidak mempan. Raja lalu diminta jimatnya, dan meletakkan di tempat tidur.
Baru setelah itu tusukan taji mempan. Tanca menusukan berulang kali hingga raja tewas di tempat tidur. Dalam Pararaton diungkapkan bahwa Gajah Mada sudah bersiap di kamar raja tanpa diketahui Ra Tanca. Begitu raja selesai dibunuh, Gajah Mada masuk dan membunuh Tanca. (Padmopuspita, 1966,: 82-3).
Seluruh kerajaan gempar, raja dibunuh tukang tabib yang tak lain juga pengawal pribadinya. Lebih gempar lagi karena pembunuh raja Jayanegara langsung dihabisi oleh Gajah Mada.
(don)