Jadi Tersangka Korupsi Dana Hibah Penerbangan, Bos Helikopter di Papua Ajukan Praperadilan
loading...
A
A
A
JAYAPURA - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua telah menetapkan DS sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana hibah subsidi penerbangan dari APBD Kabupaten Waropen tahun anggaran 2017-2018. Tersangka yang merupakan pemilik perusahaan PT PGP, operator helikopter kini mengajukan gugatan praperadilan.
Gugatan tersebut telah diajukan pada 23 Agustus 2021. Sidang perdana digelar pada Senin 30 Agustus 2021. Tim Kuasa Hukum DS yang diketuai M Yasin Jamaluddin menyampaikan bahwa alasan kliennya mengajukan gugatan praperadilan lantaran Surat Perintah Dimulainya Penyidikan atau SPDP telah kedaluwarsa dan tidak mempunyai dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP.
“Pasal 109 KUHAP, telah diajukan judicial review terhadap pasal tersebut dan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya Nomor 130 Tahun 2015 telah memperluas pasal tersebut. Kalau dalam Pasal 109 hanya menyebutkan Penyidik Memberitahukan kepada Penuntut Umum, maka diputusan MK yang telah diperluas bukan hanya pada penutut umum, tapi juga diberitahukan kepada pelapor dan terlapor,” jelas Yasin saat memberikan keterangan pers di Kota Jayapura, dikutip Selasa (31/8/2021).
Baca juga: Penyelidikan Dugaan Korupsi RSUD Wonosari Jalan di Tempat, Tersangka Jadi Pejabat
Yasin menjelaskan bahwa Pasal 109 KUHAP sebelum diperluas, tidak memberitahukan pembatasan waktu pemberitahuannya. Sedangkan setelah diperluas, tertulis bahwa MK membatasi waktu paling lambat tujuh hari.
“Ini yang kita kaitkan dengan surat perintah penyidikan yang dikeluarkan Kejati. SPDP diberitahukan kepada klien kami tanggal 9 agustus 2021, dalam surat tersebut jelas tertulis bahwa pemberitahuan ini diberitakan kepada tersangka berdasarkan SPDP tanggal 7 Januari 2021,” kata Yasin.
“Kalau kita melihat waktu penerbitan SPDP, semestinya pemberitahuan sesuai dengan keputusan MK yakni disampaikan pada tanggal 14 Januari 2021, tetapi faktanya diberitahukan pada 9 Agustus 2021, ini salah satu alasan kita ajukan praperadilan,” tambah Yasin.
Baca juga: Pasmar 3 Gelar Serbuan Vaksinasi di Pulau Arar Distrik Mayamuk, Papua Barat
Alasan kedua, kata Yasin, penetapan tersangka kepada kliennya tidak sesuai Pasal 184 KUHAP. MK dalam putusannya Nomor 21 Tahun 2015 menyebutkan bahwa penyidik dapat menetapkan tersangka apabila telah memiliki dua alat bukti.
“Dalam pasal tersebut, ada saksi, keterangan ahli, keterangan tersangka, surat dan petunjuk. Keterangan tersangka dan petunjjuk menjadi kewenangan hakim kalau sudah terjadi persidangan. Jadi dia hanya punya tiga kesempatan untuk membuktikan dua alat bukti yaitu saksi, ahli dan surat,” jelas Yasin.
“Sepanjang yang kita tahu dari ekspos perkara, penyidik Kejati baru memperoleh satu alat bukti yaitu 9 orang saksi. Jika mereka menyatakan punya bukti lain yaitu surat, maka itu kita bantah karena tidak pernah ada penyitaan bukti yang diajukan untuk penetapan tersangka terhadap klien kami,” sambungnya.
Gugatan tersebut telah diajukan pada 23 Agustus 2021. Sidang perdana digelar pada Senin 30 Agustus 2021. Tim Kuasa Hukum DS yang diketuai M Yasin Jamaluddin menyampaikan bahwa alasan kliennya mengajukan gugatan praperadilan lantaran Surat Perintah Dimulainya Penyidikan atau SPDP telah kedaluwarsa dan tidak mempunyai dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP.
“Pasal 109 KUHAP, telah diajukan judicial review terhadap pasal tersebut dan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya Nomor 130 Tahun 2015 telah memperluas pasal tersebut. Kalau dalam Pasal 109 hanya menyebutkan Penyidik Memberitahukan kepada Penuntut Umum, maka diputusan MK yang telah diperluas bukan hanya pada penutut umum, tapi juga diberitahukan kepada pelapor dan terlapor,” jelas Yasin saat memberikan keterangan pers di Kota Jayapura, dikutip Selasa (31/8/2021).
Baca juga: Penyelidikan Dugaan Korupsi RSUD Wonosari Jalan di Tempat, Tersangka Jadi Pejabat
Yasin menjelaskan bahwa Pasal 109 KUHAP sebelum diperluas, tidak memberitahukan pembatasan waktu pemberitahuannya. Sedangkan setelah diperluas, tertulis bahwa MK membatasi waktu paling lambat tujuh hari.
“Ini yang kita kaitkan dengan surat perintah penyidikan yang dikeluarkan Kejati. SPDP diberitahukan kepada klien kami tanggal 9 agustus 2021, dalam surat tersebut jelas tertulis bahwa pemberitahuan ini diberitakan kepada tersangka berdasarkan SPDP tanggal 7 Januari 2021,” kata Yasin.
“Kalau kita melihat waktu penerbitan SPDP, semestinya pemberitahuan sesuai dengan keputusan MK yakni disampaikan pada tanggal 14 Januari 2021, tetapi faktanya diberitahukan pada 9 Agustus 2021, ini salah satu alasan kita ajukan praperadilan,” tambah Yasin.
Baca juga: Pasmar 3 Gelar Serbuan Vaksinasi di Pulau Arar Distrik Mayamuk, Papua Barat
Alasan kedua, kata Yasin, penetapan tersangka kepada kliennya tidak sesuai Pasal 184 KUHAP. MK dalam putusannya Nomor 21 Tahun 2015 menyebutkan bahwa penyidik dapat menetapkan tersangka apabila telah memiliki dua alat bukti.
“Dalam pasal tersebut, ada saksi, keterangan ahli, keterangan tersangka, surat dan petunjuk. Keterangan tersangka dan petunjjuk menjadi kewenangan hakim kalau sudah terjadi persidangan. Jadi dia hanya punya tiga kesempatan untuk membuktikan dua alat bukti yaitu saksi, ahli dan surat,” jelas Yasin.
“Sepanjang yang kita tahu dari ekspos perkara, penyidik Kejati baru memperoleh satu alat bukti yaitu 9 orang saksi. Jika mereka menyatakan punya bukti lain yaitu surat, maka itu kita bantah karena tidak pernah ada penyitaan bukti yang diajukan untuk penetapan tersangka terhadap klien kami,” sambungnya.