Sindir PPKM Level 4, Masyarakat Tulungagung Gelar Razia Perut Lapar

Kamis, 05 Agustus 2021 - 21:18 WIB
loading...
Sindir PPKM Level 4,...
Gerakan Razia Perut Lapar dilakukan gabungan komunitas di Kabupaten Tulungagung, yang bertujuan membantu masyarakat di masa PPKM level4. Foto/Ist
A A A
TULUNGAGUNG - Sejumlah komunitas di Kabupaten Tulungagung, menggelar gerakan Razia Perut Lapar saat pelaksanaan PPKM Level 4. Selain membantu rakyat kecil, gerakan ini juga bertujuan menyindir pemerintah . Mereka mengumpulkan uang receh secara patungan, dengan angka minimal Rp3.500-5.000.



Di setiap warung kecil. Uang hasil patungan tersebut kemudian dibelanjakan nasi bungkus atau beras. Lalu dibagi-bagikan kepada siapa saja yang mengais rejeki di jalanan. Tukang parkir, tukang becak, penjaga palang pintu kereta, pedagang makanan keliling, tuna wisma, termasuk keluarga pasien rumah sakit.



Menurut Koko Thole salah satu inisiator, gerakan Razia Perut Lapar sengaja mengambil alih tugas dari pasal 34 UUD 1945. Yakni orang miskin dipelihara oleh negara. "Kita ambil alih tugas pasal 34 dan sila kedua Pancasila. Selain membantu masyarakat, ini sekaligus sindiran kepada negara," ujar Koko Thole kepada SINDOnews, Kamis (5/8/2021).



Di dalam gerakan Razia Perut Lapar terdapat banyak komunitas dengan latar belakang yang berbeda-beda. Ada pekerja kreatif dan seniman. Komunitas sepeda motor, komunitas pemilik kedai kopi, termasuk para pelanggannya. Sejak pemberlakuan PPKM Darurat, mereka merasa senasib sepenanggungan. Sama-sama terpukul secara ekonomi.

Para seniman kehilangan job-job manggung. Kesempatan pentas di kafe, dua kali dalam seminggu, tidak ada lagi. Aturan PPKM Darurat tegas melarang adanya pentas yang bisa memicu kerumunan. Begitu juga dengan pekerja kreatif beserta vendor-vendor yang selama ini mengikuti.

Tidak ada lagi garapan. Sejak pandemi banyak seniman dan pekerja kreatif di Tulungagung yang terpaksa banting stir ke sektor ekonomi lain. Menjadi pengojek online, berdagang online, pulang ke desa untuk menjadi petani atau buruh tani.



Termasuk tidak sedikit yang menganggur karena tertutupnya peluang. "Kalau saya lebih menekuni kedai kopi atau kafe," kata Koko yang sebelum pandemi dikenal sebagai EO acara-acara yang mendatangkan massa besar. Di sektor warung kopi kondisinya juga tidak jauh beda. Usaha warung kopi, kedai atau kafe juga tidak bisa diandalkan.

Di malam hari, seluruh pedagang malam di Tulungagung maksimal hanya boleh buka hingga pukul 20.00 WIB. Bila kedapatan melanggar , akan ditutup paksa. Mulai pukul 20.00 WIB, lampu penerangan jalan umum, juga dimatikan. Sehari ada yang beli sepuluh cangkir kopi saja, kata Koko sudah untung.

Mereka merasa telah dimiskinkan secara sistematis. Kendati demikian, orang-orang yang tergabung dalam komunitas ini melihat, masih banyak kelompok sosial yang kondisinya lebih parah. Kelompok miskin kota yang harusnya menjadi tugas negara untuk membantu.



Dari situ, kata Koko kemudian terbit gagasan menggalang dana bantuan yang berkonsep "Rakyat Bantu Rakyat". Selain bertujuan membantu, gerakan Razia Perut Lapar juga terang-terangan menyindir absennya negara dalam melaksanakan pasal 34 UUD 1945. "Dari situ kami kemudian melakukan patungan dana seadanya. Dan ini bentuk perlawanan rakyat," kata Koko.

Diawali tiga orang. Yakni Koko, Pendik Herlambang dan satu teman dekat lainnya. Masing-masing merogoh uang receh Rp5000-an, sesuai harga satu nasi bungkus. Menurut Pendik, melalui platform digital, gagasan Razia Perut Lapar kemudian disosialisasikan. Tidak hanya di komunitas seniman, pekerja kreatif, dan klub sepeda motor.

Tapi juga kepada para pemilik kedai kopi , warung kopi dan kafe. Pendik sendiri berlatar sebagai pemilik kedai kopi kecil di Kepatihan, Kota Tulungagung. "Dalam waktu dua minggu terkumpul uang kurang lebih Rp9 juta dan beras sebanyak empat kuintal," kata Pendik. "Razia" langsung dilakukan.



Warung-warung penjual makanan dan minuman didatangi. Di setiap warung, mereka maksimal berbelanja 20 bungkus nasi yang kemudian bersama-sama dengan motor, mobil pikap dibagi-bagikan kepada warga. Komunitas gerakan mengalokasikan anggaran Rp750 ribu-800 ribu untuk sekali aksi, yang dilakukan seminggu dua kali.

Komunitas juga mendirikan dapur umum untuk memasak bahan-bahan makanan mentah yang berasal dari donasi. Menurut Pendik, sebagian besar warga merasa berterima kasih saat mendapat uluran nasi bungkus atau paket beras. Kendati demikian ada juga yang menolak karena khawatir terpapar COVID-19.

"Dalam setiap aksi kami tetap mengedepankan prokes," kata Pendik. Komunitas gerakan Razia Perut Lapar tidak hanya berhenti di wilayah Tulungagung. Selama berlangsungnya pandemi COVID-19 ini, mereka berjejaring dengan komunitas lain di luar kota. Sebut saja seluruh wilayah eks Karsidenan Kediri (Blitar, Kediri, Trenggalek dan Nganjuk), termasuk Madiun, Mojokerto dan Surabaya.



Setiap menggelar aksi di wilayah masing-masing, mereka saling suport dana. Pendik berharap, di tengah pandemi COVID-19, gerakan semacam ini akan terus tumbuh. Ia membayangkan jika insitusi negara yang melakukan. Misalnya aparat kepolisian, atau PNS guru dan ASN pemerintah daerah.

Tidak perlu banyak-banyak. Cukup menyisihkan uang Rp10 ribu-20 ribu secara rutin per bulan. "Tentu akan banyak rakyat di daerah masing-masing yang tertolong. Apalagi di masa pandemi ini mereka termasuk golongan yang aman secara ekonomi," pungkas Pendik.
(eyt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2548 seconds (0.1#10.140)