Tiong Hwa Ie Sia, Kisah Perjuangan Warga Tionghoa Melawan Pagebluk dan Kolonialisme

Minggu, 18 Juli 2021 - 05:39 WIB
loading...
Tiong Hwa Ie Sia, Kisah...
Rumah Sakit Panti Nirmala (RSPN) yang dahulu bernama Tiong Hwa Ie Sia (THIS) Malang. Foto/SINDOnews/Yuswantoro
A A A
Pandemi COVID-19 belum juga jelas kapan akan berakhir. Korban masih terus berjatuhan, dan para tenaga medis terus memeras keringat untuk mengatasi serangan penyakit mematikan akibat virus tersebut.



Tingginya jumlah pasien yang harus dirujuk ke rumah sakit , serta terus bermutasinya virus menjadi berbagai varian, tidak jarang membuat rumah sakit-rumah sakit kewalahan. Bahkan, para tenaga medis mulai dari dokter hingga perawat bertumbangan.

Perjuangan keras melawan wabah , atau akrab di telinga masyarakat Nusantara, sebagai pagebluk. Bukan hanya terjadi di era modern ini saja. Sejak lama, masyarakat di tanah Nusantara, telah beberapa kali menghadapi gelombang pagebluk yang mematikan.

Paling menggemparkan adalah serangan wabah pes yang terjadi di Jawa, sepanjang 1910-1926. Tak kurang dari 120 ribu orang tewas akibat serangan penyakit mematikan tersebut. Wabah ini muncul dari kebijakan Pemerintah Hindia Belanda, yang mengimpor beras dari Yangon, Myanmar.



Malang, sebagai tempat menyimpan beras-beras impor dari Myanmar tersebut, menjadi salah satu pusat penyebaran wabah pes. Di tengah serangan wabah yang masih menggila, dan keterbatasan sarana dan prasarana kesehatan yang serba terbatas. Warga Tionghoa yang tinggal di Malang, memprakarsai berdirinya klinik Tong Hwa Ie Sia (THIS) .

Berdasarkan catatan dalam buku "Puji Widhi Bhakti Pertiwi, 90 Tahun Rumah Sakit Panti Nirmala (Tiong Hwa Ie Sia)" yang ditulis Ravaldo, sejarawan lulusan University Of Melbourne Australia. Klinik THIS lahir di tengah situasi yang serba berat, di mana wabah masih mengganas, serta masa kolonial yang tak banyak tersedianya fasilitas kesehatan untuk masyarakat biasa.

"Sedari awal tahun 1920-1n, Koo Liong Ing, seorang jurnalis, aktivis , dan figur sentral di balik berdirinya Chung Hwa Hui (CHH) Malang, sudah angkat suara mengenai pentingnya perbaikan kesehatan di Malang," tulis Ravaldo, yang pernah mengenyam pendidikan di Universiteit Leiden Belanda tersebut.



Koo Liong Ing juga kerap bersuara keras. Ia berpendapat, bila dibandingkan dengan bangsa kulit putih yang tinggal di Malang, kondisi pelayanan kesehatan bagi penduduk Tionghoa, dan Bumiputera masih jauh tertinggal ditinjau dari segi apapun.

Dalam buku tersebut, Ravaldo yang mengambil jurusan Colonial And Global History di Universiteit Leiden Belanda, menyebutkan, pada masa itu pengetahuan medis masyarakat masih sangat terbelakang, angka kematian sangat tinggi, dan diskriminasi terhadap penduduk non Eropa dalam mendapatkan pelayanan kesehatan juga sangat tinggi.

Kondisi serba sulit ini, membuat Koo Liong Ing yang sempat mengenyam pendidikan dasar di Yiong Hwa Hak Toong (THHT) Wlingi, menyerukan kepada penduduk Tionghoa di Malang , agar tidak menggantungkan nasib dan nyawa mereka terhadap kebijakan kesehatan yang dibuat pemerintah Hindia Belanda.



Tokoh aktivis ini menyerukan agar penduduk Tionghoa yang bermukim di Malang, untuk mulai berani mengambil inisiatif dalam mengatasi permasalahan kesehatan yang menyengsarakan penduduk Tionghoa, dan Bumiputera.

Tak hanya bersuara lantang melalui tulisan-tulisannya saja. Koo Liong Ing, juga berinisiatif melakukan diskusi-diskusi dengan sejumlah pihak dalam mewujudkan tempat layanan kesehatan bagi masyarakat Tionghoa, dan Bumiputera di Malang.

Berbagai kegelisahan dan pemikirannya itu, didiskusikan dengan salah satu sahabat karibnya Liem Ghik Djiang, atau dikenal dengan sapaan Dr. Liem. Dia merupakan seorang dokter Tionghoa lulusan Belanda, yang dikenal memiliki jiwa sosial tinggi dalam memberikan pelayanan kesehatan untuk masyarakat kurang mampu di wilayah Jawa Timur.



Gayung bersambut, Dr. Liem ternyata juga sudah sejak lama memikirkan hal yang sama dengan Koo Liong Ing. Bahkan, pelayanan kesehatan itu sudah ada di angan-angan Dr. Liem saat masih menempuh pendidikan di Universiteit Leiden Belanda.

Kala menempuh pendidikan dokter di Belanda, Dr. Leim telah membayangkan, kelak dapat menolong sebanyak-banyaknya penduduk Hindia Belanda, yang selama ini kesulitan mengakses pelayanan kesehatan . Impian itu terwujud, setelah gelar dokter berhasil diraihnya pada tahun 1928.

Ravaldo dalam tulisannya menyebutkan, pada 1 Februari 1929, Dr. Liem membuka praktik pertamanya di Pregollan 17 Surabaya. Saat bersamaan, Dr. Liem juga membantu Poliklinik Soe Swie Tiong Hwa Ie Wan Surabaya, yang dirintis oleh Dr. Oei Kiau Pik. Poliklinik itu hingga kini masih memberi layanan kesehatan untuk masyarakat, dengan menjadi Rumah Sakit Adi Husada.



Dalam buku "Puji Widhi Bhakti Pertiwi, 90 Tahun Rumah Sakit Panti Nirmala (Tiong Hwa Ie Sia)" disebutkan, kala itu Dr. Liem juga menegaskan, orang Tionghoa di Hindia Belanda, sejatinya sudah mampu mendirikan dan mengelola institusi kesehatan sendiri, karena jumlah dokter Tionghoa di Hindia Belanda terus bertambah, meskipun masih terkonsentrasi di kota-kota besar.

Antara Koo Liong Ing dengan Dr. Liem memiliki kesadaran penuh, tentang pentingnya perbaikan kesehatan bagi warga Tionghoa, dan Bumiputera di Nusantara, utamanya yang tinggal di wilayah Malang. Dari sinilah, akhirnya mereka sepakat untuk mendidikan institusi kesehatan di Malang, demi melayani kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat yang kurang mampu tanpa memandang latang belakang dan kondisi keuangan pasien.

Rencana keduanya dengan cepat menyebar, masyarakat Tionghoa dan Bumiputera menyambut antusias kehadiran tempat pelayanan kesehatan itu. Bahkan, gagasan pendirian layanan kesehatan di Malang tersebut, sempat dimuat dalam Tjahaja Timoer yang merupakan koran Melayu-Tionghoa terbesar di Malang.



Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, masyarakat Tionghoa di Malang, utamanya yang tergabung dalam perkumpulan Tiong Hwa Hwee Malang, mengadakan pertemuan pada 25 Agustus 1929. Pertemuan ini menyepakati untuk didirikannya poloklinik kesehatan yang profesional, dan bisa melayani semua pasien dengan biaya terjangkau.

Usai terbentuknya pengurus, mereka akhirnya menggalang dana untuk mewujudkan poliklinik kesehatan tersebut. Mengingat, dana yang dibutuhkan untuk mendirikan poliklinik sangatlah besar. Setelah donasi terkumpul, akhirnya klinik yang diberi nama Tiong Ha Ie Sia (THIS) pada 1 Oktober 1929.

Pelayanan kesehatan di Poliklinik THIS tersebut, dilakukan di halaman Tiong Hwa Hwee yang ada di Petjinanstraat atau sekarang dikenal dengan Jalan Pasar Besar Malang. Seluruh pemeriksaan di Poliklinik THIS dilakukan oleh Dr. Liem dengan menempati ruangan berukuran 4 x 4 meter.



Seperti dikutib dalam buku "Puji Widhi Bhakti Pertiwi, 90 Tahun Rumah Sakit Panti Nirmala (Tiong Hwa Ie Sia)", kala itu Tjahaja Timoer sempat menuliskan berita yang sangat memuji keberhasilan pendirian Poliklinik THIS , yakni "...lantaran terdorong oleh perasaan cinta pada sesamanya, sudah rela mengorbankan waktunya yang berharga, dan tanpa memungut pembayaran apa-apa".

Melalui Poliklinik THIS , impian penduduk di Malang, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang dapat menjangkau masyarakat miskin akhirnya terwujud. Semangat itu hingga kini terus mengalir, dan Poliklinik THIS terus berkembang untuk melayani masyarakat dari semua kalangan dengan menjadi Rumah Sakit Panti Nirmala.
(eyt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1801 seconds (0.1#10.140)