Ribuan Pekerja Migran Asal Sulsel ke Luar Negeri Secara Ilegal
loading...

Ribuan pekerja Migran asal Sulsel berangkat ke luar negeri secara ilegal. Foto: Ilustrasi
A
A
A
MAKASSAR - Sulawesi Selatan menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang mengirimkan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke luar negeri. Sayangnya, masih ada ribuan warga lainnya yang dilaporkan berangkat secara ilegal.
Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) melaporkan, dalam 5 tahun terakhir sejak tahun 2016-2020, Sulsel termasuk ke dalam 15 besar provinsi dengan penempatan tertinggi setiap tahunnya. Rata-rata penempatan per tahun adalah 907 orang atau secara total terdapat 4.535 warga Sulsel yang menjadi PMI.
Kepala BP2MI, Benny Rhamdani mengatakan, setidaknya ada lima kabupaten/kota di Sulsel yang menjadi kantong PMI, yakni Gowa, Bantaeng, Jeneponto, Pinrang, Bulukumba. Dengan negara tujuan penempatan yang paling banyak diminati, di antaranya di antaranya Malaysia, Arab Saudi, Papua Nugini, Hong Kong, dan Taiwan.
Adapun beberapa posisi/jabatan yang paling banyak diminati, yakni Plantation Worker, Agricultural Labour, Housemaid, Worker, dan Operator.
“Total setiap tahun kurang lebih 907 orang yang berangkat dari Sulsel untuk bekeja di negara-negara penempatan yang saya sebutkan tadi,” ucap Benny usai kegiatan Sosialisasi Undang-Undang (UU) Nomor 18/2017 tentang Perlindungan PMI yang digelar di Ruang Rapat Pimpinan Kantor Gubernur Sulsel, Senin, (14/06/2021).
Kegiatan tersebut turut dihadiri anggota Komisi IX DPR RI, Ashabul Kahfi, Sekretaris Daerah Provinsi (Sekprov) Sulsel, Abdul hayat Gani, beserta pejabat dinas yang membidangi ketenagakerjaan kabupaten/kota di wilayah Provinsi Sulsel.
Dari data BP2MI, dari total 4.535 PMI asal Sulsel dalam lima tahun terakhir itu dirincikan, pada tahun 2016 ada 982 PMI, tahun 2017 sebanyak 1.113 orang, tahun 2018 sebanyak 1.083 orang, 2019 sebanyak 1.074 orang dan tahun 2020 turun menjadi 283 PMI asal Sulsel.
Benny mengemukakan, total PMI asal Sulsel dalam lima tahun terakhir tersebut adalah mereka yang mendaftar secara resmi. Dia mengungkapkan, ada ribuan lainnya yang justru berangkat dan bekerja ke luar negeri secara illegal. Jumlahnya, bisa mencapai dua kali lipat dari rerata PMI yang berangkat tiap tahun.
“Rata-rata mereka yang tidak terdaftar berangkat secara ilegal adalah dua kali lipat dari jumlah resmi. Jadi kalau kita punya data per tahun 907 orang, maka diperkirakan sesungguhnya orang Sulsel yang bekerja di negara-negara penempatan 1800-an, atau bahkan tiga kali lipat dari itu,” ungkap Benny.
Dia mengungkapkan, adanya pekerja migran ilegal ini dikarenakan tidak memiliki kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan, misalnya dari segi kesehatan. Di samping itu, masih adanya calo yang menawarkan kemudahan pemberangkatan.
Padahal ada resiko yang bisa saja menimpa mereka. Semisal tidak ada jaminan perlindungan, ancaman deportasi. Bahkan, pengiriman pekerja imigran illegal bisa menjadi modus tindak pidana perdagangan orang atau human trafficking.
Dia melanjutkan, di tengah polemik pekerja migran yang berangkat illegal tersebut, pihaknya tak ayal banyak menerima aduan dan kasus yang melibatkan pekerja. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir saja, ada sebanyak 258 kasus PMI asal Sulsel.
Dengan rincian, tahun 2016 sebanyak 35 kasus, 34 kasus (2017), 82 kasus (2018), 73 kasus (2019) dan 34 kasus (2020). Adapun lima jenis kasus terbanyak, di antaranya penyelundupan orang, meninggal, gaji tidak dibayar, ingin dipulangkan, dan tidak punya ongkos pulang.
Dia berharap, penanganan hingga perlindungan pekerja imigran butuh sinergi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Menurutnya, UU Nomor 18/2017 sudah jelas mengatur tugas pokok dan fungsi masing-masing. Perlu program strategis yang dilakukan semua stakeholder.
“Dalam konteks itu tentu kita harapkan, tidak ada lagi penempatan ilegal. Semua kendali dan kontrol pemerintah. Yang kedua, bagaimana negara dan pemerintah daerah mempersiapkan pekerja-pekerja terampil dan profesional. Mereka terdidik, terlatih, mereka memiliki sertifikasi kompetensi,” papar Benny.
Menurutnya, semua itu akan menjadi nilai tawar untuk para pekerja migran di luar negeri untuk dhormati dan dihargai. “Jadi tidak akan ada lagi kalau kita mampu mencegah penempatan ilegal, eksploitasi kekerasan fisik, seksual, gaji yang tidak dibayar, kemudian jam kerja yang melebihi batas, tidak ada lagi termasuk PHK secara sepihak,” imbuhnya.
Dia berharap, pemerintah provinsi bersama pemerintah kabupaten/kota di Sulsel bisa ikut mendorong peningkatan kualitas para pekerja agar sesuai kompetensi yang dibutuhkan. Pasalnya, pekerja migran asal Sulsel bisa menguntungkan bagi pemerintah sendiri.
“Jika kita mampu menempatkan pekerja terampil, profesional, terdidik, dan sesuai komptensi, semakin banyak yang dutempatkan, semakin besar pendapatan yang mereka dapatkan. Daerah akan mendapat keuntungan bisa dalam bentuk remiten. Selain itu Pemerintah Provinsi Sulsel akan bangga ketika para pekerja ke negara penempatan kembali ke Sulsel menjadi masyarakat yang sejahtera,” imbuh Benny.
BPMI mencatat, estimasi remitansi pekerja migran per orang/bulan, yakni 2,4 juta per bulan. Dengan skenario hitungan, gaji Rp6 juta dikalikan 40% dikirimkan. Khusus di Sulsel, estimasi remitansi setahun bisa mencapai Rp26,1 miliar atau setara dengan 0,24% Sulsel tahun 2020.
Lihat Juga: Menteri Karding Minta Jajaran Bantu Kembalikan Ijazah hingga Akte Milik Mila meski Nonprosedural
Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) melaporkan, dalam 5 tahun terakhir sejak tahun 2016-2020, Sulsel termasuk ke dalam 15 besar provinsi dengan penempatan tertinggi setiap tahunnya. Rata-rata penempatan per tahun adalah 907 orang atau secara total terdapat 4.535 warga Sulsel yang menjadi PMI.
Kepala BP2MI, Benny Rhamdani mengatakan, setidaknya ada lima kabupaten/kota di Sulsel yang menjadi kantong PMI, yakni Gowa, Bantaeng, Jeneponto, Pinrang, Bulukumba. Dengan negara tujuan penempatan yang paling banyak diminati, di antaranya di antaranya Malaysia, Arab Saudi, Papua Nugini, Hong Kong, dan Taiwan.
Adapun beberapa posisi/jabatan yang paling banyak diminati, yakni Plantation Worker, Agricultural Labour, Housemaid, Worker, dan Operator.
“Total setiap tahun kurang lebih 907 orang yang berangkat dari Sulsel untuk bekeja di negara-negara penempatan yang saya sebutkan tadi,” ucap Benny usai kegiatan Sosialisasi Undang-Undang (UU) Nomor 18/2017 tentang Perlindungan PMI yang digelar di Ruang Rapat Pimpinan Kantor Gubernur Sulsel, Senin, (14/06/2021).
Kegiatan tersebut turut dihadiri anggota Komisi IX DPR RI, Ashabul Kahfi, Sekretaris Daerah Provinsi (Sekprov) Sulsel, Abdul hayat Gani, beserta pejabat dinas yang membidangi ketenagakerjaan kabupaten/kota di wilayah Provinsi Sulsel.
Dari data BP2MI, dari total 4.535 PMI asal Sulsel dalam lima tahun terakhir itu dirincikan, pada tahun 2016 ada 982 PMI, tahun 2017 sebanyak 1.113 orang, tahun 2018 sebanyak 1.083 orang, 2019 sebanyak 1.074 orang dan tahun 2020 turun menjadi 283 PMI asal Sulsel.
Benny mengemukakan, total PMI asal Sulsel dalam lima tahun terakhir tersebut adalah mereka yang mendaftar secara resmi. Dia mengungkapkan, ada ribuan lainnya yang justru berangkat dan bekerja ke luar negeri secara illegal. Jumlahnya, bisa mencapai dua kali lipat dari rerata PMI yang berangkat tiap tahun.
“Rata-rata mereka yang tidak terdaftar berangkat secara ilegal adalah dua kali lipat dari jumlah resmi. Jadi kalau kita punya data per tahun 907 orang, maka diperkirakan sesungguhnya orang Sulsel yang bekerja di negara-negara penempatan 1800-an, atau bahkan tiga kali lipat dari itu,” ungkap Benny.
Dia mengungkapkan, adanya pekerja migran ilegal ini dikarenakan tidak memiliki kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan, misalnya dari segi kesehatan. Di samping itu, masih adanya calo yang menawarkan kemudahan pemberangkatan.
Padahal ada resiko yang bisa saja menimpa mereka. Semisal tidak ada jaminan perlindungan, ancaman deportasi. Bahkan, pengiriman pekerja imigran illegal bisa menjadi modus tindak pidana perdagangan orang atau human trafficking.
Dia melanjutkan, di tengah polemik pekerja migran yang berangkat illegal tersebut, pihaknya tak ayal banyak menerima aduan dan kasus yang melibatkan pekerja. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir saja, ada sebanyak 258 kasus PMI asal Sulsel.
Dengan rincian, tahun 2016 sebanyak 35 kasus, 34 kasus (2017), 82 kasus (2018), 73 kasus (2019) dan 34 kasus (2020). Adapun lima jenis kasus terbanyak, di antaranya penyelundupan orang, meninggal, gaji tidak dibayar, ingin dipulangkan, dan tidak punya ongkos pulang.
Dia berharap, penanganan hingga perlindungan pekerja imigran butuh sinergi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Menurutnya, UU Nomor 18/2017 sudah jelas mengatur tugas pokok dan fungsi masing-masing. Perlu program strategis yang dilakukan semua stakeholder.
“Dalam konteks itu tentu kita harapkan, tidak ada lagi penempatan ilegal. Semua kendali dan kontrol pemerintah. Yang kedua, bagaimana negara dan pemerintah daerah mempersiapkan pekerja-pekerja terampil dan profesional. Mereka terdidik, terlatih, mereka memiliki sertifikasi kompetensi,” papar Benny.
Menurutnya, semua itu akan menjadi nilai tawar untuk para pekerja migran di luar negeri untuk dhormati dan dihargai. “Jadi tidak akan ada lagi kalau kita mampu mencegah penempatan ilegal, eksploitasi kekerasan fisik, seksual, gaji yang tidak dibayar, kemudian jam kerja yang melebihi batas, tidak ada lagi termasuk PHK secara sepihak,” imbuhnya.
Dia berharap, pemerintah provinsi bersama pemerintah kabupaten/kota di Sulsel bisa ikut mendorong peningkatan kualitas para pekerja agar sesuai kompetensi yang dibutuhkan. Pasalnya, pekerja migran asal Sulsel bisa menguntungkan bagi pemerintah sendiri.
“Jika kita mampu menempatkan pekerja terampil, profesional, terdidik, dan sesuai komptensi, semakin banyak yang dutempatkan, semakin besar pendapatan yang mereka dapatkan. Daerah akan mendapat keuntungan bisa dalam bentuk remiten. Selain itu Pemerintah Provinsi Sulsel akan bangga ketika para pekerja ke negara penempatan kembali ke Sulsel menjadi masyarakat yang sejahtera,” imbuh Benny.
BPMI mencatat, estimasi remitansi pekerja migran per orang/bulan, yakni 2,4 juta per bulan. Dengan skenario hitungan, gaji Rp6 juta dikalikan 40% dikirimkan. Khusus di Sulsel, estimasi remitansi setahun bisa mencapai Rp26,1 miliar atau setara dengan 0,24% Sulsel tahun 2020.
Lihat Juga: Menteri Karding Minta Jajaran Bantu Kembalikan Ijazah hingga Akte Milik Mila meski Nonprosedural
(agn)