Salat Idul Fitri di Surabaya Digelar Sesuai Zonasi Skala Mikro, Ini Penjelasannya
loading...
A
A
A
SURABAYA - Kabar gembira bagi warga muslim di Kota Surabaya, Salat Idul Fitri 1 Syawal 1442 Hijriah dapat dilaksanakan di masjid dan tempat terbuka seperti lapangan. Dalam pelaksanaannya, akan menyesuaikan zonasi skala mikro yang ada disetiap kelurahan.
Untuk pelaksanaannya, mengacu pada zonasi PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) skala mikro atau per kelurahan. Artinya, apabila wilayah kelurahan itu berkategori zona kuning dan hijau, maka kebijakan ini dapat dilakukan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan .
Keputusan terbaru ini diambil setelah rapat koordinasi (Rakor) bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Jawa Timur, Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Jawa Timur, serta seluruh Kepala Daerah di Jawa Timur.
Keputusan ini berdasarkan pula beberapa masukan dari para ulama perwakilan organisasi Islam saat rapat koordinasi berlangsung. Yakni, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWMU) Jatim serta Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) LDII Jatim.
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi menuturkan, pelaksanaan Salat Idul Fitri di Kota Pahlawan dapat dilakukan secara jamaah di masjid atau lapangan terbuka. Meski kebijakan ini dapat diterapkan khusus bagi wilayah kelurahan yang masuk dalam kategori zona kuning dan hijau.
"Alhamdulillah hari ini ada kesepakatan bersama dengan Gubernur Jatim dan para ulama. Malam hari ini disepakati arti dalam zonasi itu adalah zonasi PPKM skala mikro atau setingkat kelurahan," kata Eri, Senin (10/5/2021).
Sebelumnya, katanya, ia sempat mempertanyakan terkait Surat Edaran (SE) yang diterbitkan Kementerian Agama (Kemenag) No. 7/2021 yang mengharuskan Salat Idul Fitri di rumah bagi warga di daerah berstatus zona oranye. Sementara Kota Surabaya sendiri, dalam situs Satgas COVID-19 Nasional masuk dalam kategori zona oranye.
"Kemarin ada Surat Edaran Menteri Agama terkait Surabaya zona oranye yang tidak boleh melakukan Salat Idul Fitri di masjid. Waktu itu saya langsung hubungi Ibu Gubernur untuk mohon arahan, karena bagaimanapun di Surabaya banyak umat muslim yang ingin Salat Idul Fitri (di masjid)," jelasnya.
Alhasil, berdasarkan masukan berbagai pihak, dalam rapat itu kemudian diputuskan bahwa zonasi yang dimaksudkan dalam SE Kemenag itu dalam arti zonasi skala mikro dan bukan skala kota.
Di Surabaya dapat dilakukan Salat Idul Fitri bagi wilayah kelurahan yang masuk kategori zona hijau dan kuning. Sedangkan di Kota Surabaya sendiri, hanya ada dua kelurahan yang masih berstatus zona oranye. "Alhamdulilah kalau se-tingkat kelurahan, maka di Surabaya ini (mayoritas) zonanya adalah zona hijau dan zona kuning. Hanya ada dua (kelurahan) yang zona oranye," kata Eri.
Saat ini, pihaknya bakal kembali mengeluarkan surat edaran terbaru terkait kebijakan zonasi skala mikro sebagai acuan pelaksanaan Salat Idul Fitri . Nantinya surat edaran yang dikeluarkan itu bakal disesuaikan dengan surat edaran dari Gubernur Jawa Timur.
Dalam surat edaran yang dikeluarkan itu, nantinya juga diatur mengenai ketentuan bagi warga yang akan mengikuti Salat Idul Fitri . Misalnya warga di kelurahan A dengan status zona kuning tidak diperkenankan mengikuti Salat Idul Fitri di masjid atau lapangan yang ada di kelurahan B zona hijau. Warga di kelurahan A diimbau agar tetap melaksanakan Salat Idul Fitri di wilayahnya masing-masing.
"Tadi disampaikan dalam forum rapat, tidak boleh dari kelurahan A (Salat Ied) ke kelurahan B. Atau (warga) Surabaya Utara salat-nya di Surabaya Selatan. Karena tadi kita melihatnya per zona kelurahan PPKM mikro. Jadi saya berharap warga Surabaya ketika nanti sudah ada skala mikro, Insya Allah diperbolehkan salat, tapi jangan melompati antar zona," jelasnya.
Sementara menurut Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa, Pemprov Jatim tetap mengizinkan masyarakat untuk menggelar Salat Idul Fitri di musala atau masjid dengan persyaratan yang ketat. Pelaksanaan Salat Idul Fitri tersebut, berbasis pada zonasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro. Nantinya, kepala desa, lurah, babinsa, bhabinkamtibmas akan melakukan pemetaan di daerah masing-masing.
"Jadi supaya tidak berkerumun di satu tempat dan bisa dipecah di masing-masing desa atau kelurahan. Dan tadi direkomendasikan oleh ketua PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama), diharapkan salatnya menggunakan surat-surat pendek. Secara khusus seperti surat Al Ikhlas dan surat Al Kafirun," kata Khofifah, Senin (10/5/2021).
Menurutnya, dengan pembacaan surat-surat pendek, akan mengurangi potensi masyarakat berkumpul di satu tempat dalam waktu yang lama. Pembacaan khutbah dibatasi maksimal 7 menit. Diharapkan, total pelaksanaan Salat Id tak lebih dari 30 menit. "Tapi kita harus melihat satu paket dari liburan pasca Idul Fitri juga diantisipasi. Misalnya di titik-titik pariwisata. Hasil diskusi saya dengan Pangdam dan Kapolda, maksimum 25% dari total kapasitas tempat wisata," ujar Khofifah.
Orang nomor satu di Jatim ini menambahkan, pihaknya juga melarang kegiatan takbir keliling karena berpotensi menimbulkan kerumunan. Sementara takbir di dalam musala atau masjid tetap diperbolehkan dengan kapasitas maksimum 10% dari total kapasitas. "Unjung-unjung (silaturahmi) tetap diperbolehkan tapi hanya dengan keluarga inti," tandas Khofifah.
Untuk pelaksanaannya, mengacu pada zonasi PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) skala mikro atau per kelurahan. Artinya, apabila wilayah kelurahan itu berkategori zona kuning dan hijau, maka kebijakan ini dapat dilakukan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan .
Keputusan terbaru ini diambil setelah rapat koordinasi (Rakor) bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Jawa Timur, Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Jawa Timur, serta seluruh Kepala Daerah di Jawa Timur.
Keputusan ini berdasarkan pula beberapa masukan dari para ulama perwakilan organisasi Islam saat rapat koordinasi berlangsung. Yakni, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWMU) Jatim serta Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) LDII Jatim.
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi menuturkan, pelaksanaan Salat Idul Fitri di Kota Pahlawan dapat dilakukan secara jamaah di masjid atau lapangan terbuka. Meski kebijakan ini dapat diterapkan khusus bagi wilayah kelurahan yang masuk dalam kategori zona kuning dan hijau.
"Alhamdulillah hari ini ada kesepakatan bersama dengan Gubernur Jatim dan para ulama. Malam hari ini disepakati arti dalam zonasi itu adalah zonasi PPKM skala mikro atau setingkat kelurahan," kata Eri, Senin (10/5/2021).
Baca Juga
Sebelumnya, katanya, ia sempat mempertanyakan terkait Surat Edaran (SE) yang diterbitkan Kementerian Agama (Kemenag) No. 7/2021 yang mengharuskan Salat Idul Fitri di rumah bagi warga di daerah berstatus zona oranye. Sementara Kota Surabaya sendiri, dalam situs Satgas COVID-19 Nasional masuk dalam kategori zona oranye.
"Kemarin ada Surat Edaran Menteri Agama terkait Surabaya zona oranye yang tidak boleh melakukan Salat Idul Fitri di masjid. Waktu itu saya langsung hubungi Ibu Gubernur untuk mohon arahan, karena bagaimanapun di Surabaya banyak umat muslim yang ingin Salat Idul Fitri (di masjid)," jelasnya.
Alhasil, berdasarkan masukan berbagai pihak, dalam rapat itu kemudian diputuskan bahwa zonasi yang dimaksudkan dalam SE Kemenag itu dalam arti zonasi skala mikro dan bukan skala kota.
Di Surabaya dapat dilakukan Salat Idul Fitri bagi wilayah kelurahan yang masuk kategori zona hijau dan kuning. Sedangkan di Kota Surabaya sendiri, hanya ada dua kelurahan yang masih berstatus zona oranye. "Alhamdulilah kalau se-tingkat kelurahan, maka di Surabaya ini (mayoritas) zonanya adalah zona hijau dan zona kuning. Hanya ada dua (kelurahan) yang zona oranye," kata Eri.
Saat ini, pihaknya bakal kembali mengeluarkan surat edaran terbaru terkait kebijakan zonasi skala mikro sebagai acuan pelaksanaan Salat Idul Fitri . Nantinya surat edaran yang dikeluarkan itu bakal disesuaikan dengan surat edaran dari Gubernur Jawa Timur.
Dalam surat edaran yang dikeluarkan itu, nantinya juga diatur mengenai ketentuan bagi warga yang akan mengikuti Salat Idul Fitri . Misalnya warga di kelurahan A dengan status zona kuning tidak diperkenankan mengikuti Salat Idul Fitri di masjid atau lapangan yang ada di kelurahan B zona hijau. Warga di kelurahan A diimbau agar tetap melaksanakan Salat Idul Fitri di wilayahnya masing-masing.
"Tadi disampaikan dalam forum rapat, tidak boleh dari kelurahan A (Salat Ied) ke kelurahan B. Atau (warga) Surabaya Utara salat-nya di Surabaya Selatan. Karena tadi kita melihatnya per zona kelurahan PPKM mikro. Jadi saya berharap warga Surabaya ketika nanti sudah ada skala mikro, Insya Allah diperbolehkan salat, tapi jangan melompati antar zona," jelasnya.
Sementara menurut Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa, Pemprov Jatim tetap mengizinkan masyarakat untuk menggelar Salat Idul Fitri di musala atau masjid dengan persyaratan yang ketat. Pelaksanaan Salat Idul Fitri tersebut, berbasis pada zonasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro. Nantinya, kepala desa, lurah, babinsa, bhabinkamtibmas akan melakukan pemetaan di daerah masing-masing.
"Jadi supaya tidak berkerumun di satu tempat dan bisa dipecah di masing-masing desa atau kelurahan. Dan tadi direkomendasikan oleh ketua PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama), diharapkan salatnya menggunakan surat-surat pendek. Secara khusus seperti surat Al Ikhlas dan surat Al Kafirun," kata Khofifah, Senin (10/5/2021).
Menurutnya, dengan pembacaan surat-surat pendek, akan mengurangi potensi masyarakat berkumpul di satu tempat dalam waktu yang lama. Pembacaan khutbah dibatasi maksimal 7 menit. Diharapkan, total pelaksanaan Salat Id tak lebih dari 30 menit. "Tapi kita harus melihat satu paket dari liburan pasca Idul Fitri juga diantisipasi. Misalnya di titik-titik pariwisata. Hasil diskusi saya dengan Pangdam dan Kapolda, maksimum 25% dari total kapasitas tempat wisata," ujar Khofifah.
Orang nomor satu di Jatim ini menambahkan, pihaknya juga melarang kegiatan takbir keliling karena berpotensi menimbulkan kerumunan. Sementara takbir di dalam musala atau masjid tetap diperbolehkan dengan kapasitas maksimum 10% dari total kapasitas. "Unjung-unjung (silaturahmi) tetap diperbolehkan tapi hanya dengan keluarga inti," tandas Khofifah.
(eyt)