Ngabuburit, FEB Unisma Kupas SDGs dan Perekonomian Islam
loading...
A
A
A
MALANG - Puasa Ramadhan di tengah pembatasan sosial akibat pandemi COVID-19, tidak membuat Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Islam Malang (Unisma) mati gaya. Berbagai upaya untuk membangun budaya intelektual, terus dibangkitkan.
(Baca juga: Bandel Saat PSBB, Wali Kota Malang Tutup Paksa Pertokoan )
Salah satu buktinya, sambil menunggu buka bersama FEB Unisma, bekerjasama dengan NU Chanel, menggelar Program Kampus Ramadhan. Kali ini, mereka mengupas tuntas agenda Sustainability Development Goals (SDGs) dan Pembagunan Perekonomian Islam.
Acara yang ditayangkan setia hari pukul 16.00 WIB tersebut, mengangkat tema "Pembangunan Perekonomian dalam Konsep Islam" dengan menghadirkan dua narasumber, yakni Dekan FEB Unisma, Nur Diana, dan Ketua Program Studi Perbankan Syariah FEB UNISMA. Harus Al Rasyid.
Dalam acara yan dipandu oleh Rektor Unisma, Masykuri tersebut. Nur Diana memaparkan bahwa dalam perekonomian Islam mengajarkan pentingnya keadilan, pemerataan, kesejahteraan, dan ada standar etika yang luhur (karena berbasis syariah) jauh sebelum munculnya era SDGS.
Apalagi dalam tatanan pembangunan perekonomian Islam, menurut Diana menekankan pada konsep sistem Khalifah, dimana dalam suatu negara, diperlukan komitmen yang berkelanjutan untuk kemakmuran dunia demi kelangsungan hidup manusia.
Dia menyebutkan, ada 17 agenda SDGs dalam pembagunan ekonomi global, di antaranya tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, kehidupan sehat dan sejahtera, pendidikan berkualitas, kesetaraan gender, pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, air bersih dan sanitasi layak, energi bersih dan terjangkau, industri, inovasi dan infrastruktur, berkurangnya kesenjangan, kota dan komunitas berkelanjutan, konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, penanganan perubahan iklim, ekosistem laut, ekosistem daratan, perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh, serta kemitraan untuk mencapai tujuan.
"Dari yang saya paparkan terlihat ada benang merah dan kesinambungan antara konsep pembangunan ekonomi Islam dengan SDGs. Bahkan pembangunan perekonomian Islam sudah terimplementasikan terlebih dahulu dibanding konsep SDGs yang baru dicanangkan tahun 2015," ujarnya.
Sistem perekonomian Islam yang berpijak pada konsep Khalifah ini, menurutnya berpijak sejak Rasulullah, dilanjutkan oleh para sahabat nabi. "Sebagaimana Rasulullah yang telah mengajarkan dan memberikan pijakan pedoman nilai perekonomian Islam, yang kemudian tetap berlanjut kendati Rasulullah telah wafat," ungkapnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, di era Khalifah Abu Bakar Asshidiq, melanjutkan sistem perekonomian yang dibangun Rasulullah dan menggiatkan Baitul Maal. Kondisi itu terus berkembang di era Khalifah Umar Bin Khattab, yang berijtihad untuk membentuk lembaga pengontrol harga serta melembagakan Baitul Maal.
Sementara, Khalifah Utsman Bin Affan lebih mengedepankan perbaikan infrastruktur dalam perekonomian, serta Khalifah Ali Bin Abi Tholib yang fokus pada pemungutan pajak dan zakat, serta pelaksanaan pendistribusian berdasarkan azas pemerataan serta memungut pajak jizyah kepada non-mulim. "Indonesia sebagai negera dengan penduduk muslim terbesar di dunia, harus menjadi pijakan utama dalam implementasi perekonomian islam," tegasnya.
Diana menyampaikan, bahwa nilai-nilai dalam Islam sejalan dengan tujuan mencapai SDGs. Dalam Islam terdapat dua instrumen keuangan yang dapat dimanfaatkan, fungsinya untuk mendukung tercapainya SDG, yaitu zakat dan wakaf.
"Saat ini yang lebih banyak dikenal oleh masyarakat adalah zakat fitrah. Ada zakat maal atau zakat harta belum terlalu banyak yang membayar dan ada lagi wakaf, sedekah, dan infaq. Ada potensi Rp280 trilun wajib zakat dari umat Islam yang ada di Indonesia," tegasnya.
Dia berpesan, peran badan pengelola zakat seperti Badan Zakat Nasional, LAZISNU, LAZISMUH, maupun lembaga pengelola zakat lainnya, dapat lebih meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pengelolaan zakat yang transparan, sehingga bisa bermanfaat bagi ekonomi masyarakat, serta dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya.
Sementara Harun Al Rasyid menjelaskan tentang konsep ekonomi Islam secara menyeluruh. "Perekonomian dalam konsep Islam, sejatinya telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, bahkan sebelum beliau diangkat menjadi nabi dan rasul," tuturnya.
"Kondisi Rasulullah yang lahir sebagai yatim, kemudian ibunya meninggal ketika Rasulullah baru berusia enam tahun, yang akhirnya Rasulullah harus diasuh oleh kakeknya pada usia delapan tahun, hingga mengikuti pamannya berdagang di Syam, dan dikenal sebagai pedagang yang amanah. Seolah mengajarkan pada kita bagaimana untuk tidak mudah putus asa dan selalu berikhtiar dalam hidup. Rasulullah mengajarkan pada kita untuk memiliki kemandirian diri, sifat amanah dan kejujuran, bahkan sebelum beliau diberikan wahyu kenabian," ungkap Harus.
"Dari apa yang sejatinya telah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, menunjukkan dan mengajarkan kita sejak muda untuk memiliki jiwa entrepreneur," pungkas dosen FEB UNISMA lulusan Jordania ini.
(Baca juga: Bandel Saat PSBB, Wali Kota Malang Tutup Paksa Pertokoan )
Salah satu buktinya, sambil menunggu buka bersama FEB Unisma, bekerjasama dengan NU Chanel, menggelar Program Kampus Ramadhan. Kali ini, mereka mengupas tuntas agenda Sustainability Development Goals (SDGs) dan Pembagunan Perekonomian Islam.
Acara yang ditayangkan setia hari pukul 16.00 WIB tersebut, mengangkat tema "Pembangunan Perekonomian dalam Konsep Islam" dengan menghadirkan dua narasumber, yakni Dekan FEB Unisma, Nur Diana, dan Ketua Program Studi Perbankan Syariah FEB UNISMA. Harus Al Rasyid.
Dalam acara yan dipandu oleh Rektor Unisma, Masykuri tersebut. Nur Diana memaparkan bahwa dalam perekonomian Islam mengajarkan pentingnya keadilan, pemerataan, kesejahteraan, dan ada standar etika yang luhur (karena berbasis syariah) jauh sebelum munculnya era SDGS.
Apalagi dalam tatanan pembangunan perekonomian Islam, menurut Diana menekankan pada konsep sistem Khalifah, dimana dalam suatu negara, diperlukan komitmen yang berkelanjutan untuk kemakmuran dunia demi kelangsungan hidup manusia.
Dia menyebutkan, ada 17 agenda SDGs dalam pembagunan ekonomi global, di antaranya tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, kehidupan sehat dan sejahtera, pendidikan berkualitas, kesetaraan gender, pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, air bersih dan sanitasi layak, energi bersih dan terjangkau, industri, inovasi dan infrastruktur, berkurangnya kesenjangan, kota dan komunitas berkelanjutan, konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, penanganan perubahan iklim, ekosistem laut, ekosistem daratan, perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh, serta kemitraan untuk mencapai tujuan.
"Dari yang saya paparkan terlihat ada benang merah dan kesinambungan antara konsep pembangunan ekonomi Islam dengan SDGs. Bahkan pembangunan perekonomian Islam sudah terimplementasikan terlebih dahulu dibanding konsep SDGs yang baru dicanangkan tahun 2015," ujarnya.
Sistem perekonomian Islam yang berpijak pada konsep Khalifah ini, menurutnya berpijak sejak Rasulullah, dilanjutkan oleh para sahabat nabi. "Sebagaimana Rasulullah yang telah mengajarkan dan memberikan pijakan pedoman nilai perekonomian Islam, yang kemudian tetap berlanjut kendati Rasulullah telah wafat," ungkapnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, di era Khalifah Abu Bakar Asshidiq, melanjutkan sistem perekonomian yang dibangun Rasulullah dan menggiatkan Baitul Maal. Kondisi itu terus berkembang di era Khalifah Umar Bin Khattab, yang berijtihad untuk membentuk lembaga pengontrol harga serta melembagakan Baitul Maal.
Sementara, Khalifah Utsman Bin Affan lebih mengedepankan perbaikan infrastruktur dalam perekonomian, serta Khalifah Ali Bin Abi Tholib yang fokus pada pemungutan pajak dan zakat, serta pelaksanaan pendistribusian berdasarkan azas pemerataan serta memungut pajak jizyah kepada non-mulim. "Indonesia sebagai negera dengan penduduk muslim terbesar di dunia, harus menjadi pijakan utama dalam implementasi perekonomian islam," tegasnya.
Diana menyampaikan, bahwa nilai-nilai dalam Islam sejalan dengan tujuan mencapai SDGs. Dalam Islam terdapat dua instrumen keuangan yang dapat dimanfaatkan, fungsinya untuk mendukung tercapainya SDG, yaitu zakat dan wakaf.
"Saat ini yang lebih banyak dikenal oleh masyarakat adalah zakat fitrah. Ada zakat maal atau zakat harta belum terlalu banyak yang membayar dan ada lagi wakaf, sedekah, dan infaq. Ada potensi Rp280 trilun wajib zakat dari umat Islam yang ada di Indonesia," tegasnya.
Dia berpesan, peran badan pengelola zakat seperti Badan Zakat Nasional, LAZISNU, LAZISMUH, maupun lembaga pengelola zakat lainnya, dapat lebih meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pengelolaan zakat yang transparan, sehingga bisa bermanfaat bagi ekonomi masyarakat, serta dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya.
Sementara Harun Al Rasyid menjelaskan tentang konsep ekonomi Islam secara menyeluruh. "Perekonomian dalam konsep Islam, sejatinya telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, bahkan sebelum beliau diangkat menjadi nabi dan rasul," tuturnya.
"Kondisi Rasulullah yang lahir sebagai yatim, kemudian ibunya meninggal ketika Rasulullah baru berusia enam tahun, yang akhirnya Rasulullah harus diasuh oleh kakeknya pada usia delapan tahun, hingga mengikuti pamannya berdagang di Syam, dan dikenal sebagai pedagang yang amanah. Seolah mengajarkan pada kita bagaimana untuk tidak mudah putus asa dan selalu berikhtiar dalam hidup. Rasulullah mengajarkan pada kita untuk memiliki kemandirian diri, sifat amanah dan kejujuran, bahkan sebelum beliau diberikan wahyu kenabian," ungkap Harus.
"Dari apa yang sejatinya telah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, menunjukkan dan mengajarkan kita sejak muda untuk memiliki jiwa entrepreneur," pungkas dosen FEB UNISMA lulusan Jordania ini.
(eyt)