Sunan Giri, Ahli Jurnalistik yang Tulisannya Mengguncang Kerajaan Majapahit

Jum'at, 12 Maret 2021 - 05:00 WIB
loading...
Sunan Giri, Ahli Jurnalistik yang Tulisannya Mengguncang Kerajaan Majapahit
Suasana di kompleks pemakaman Sunan Giri di Gresik, Jawa Timur.
A A A
GRESIK - Sunan Giri , satu dari sembilan wali (Wali Songo), penyebar Islam di Pulau Jawa ternyata ahli tulis-menulis alias jurnalistik. Sunan Giri yang punya banyak nama panggilan itu punya kemampuan komunikasi yang baik.

Sastrawan Gresik, Hendrik Umardi Luhung mengaku pernah membaca tentang keahlian Sunan Giri. Beliau punya kemampuan komunikasi yang baik. “Bisa dilihat dari santri yang mondok. Ada puluhan dan bahkan ratusan. Itu menandakan ada kemampuan untuk promosi,” ungkapnya.

Bahkan, kata Hendrik, dalam buku ‘Sunan Giri’ karya Umar Hasyim diterbitkan Menara Kudus di 1979, Sunan Giri menulis surat dakwah ke Situ atau Halmahera. “Jelas ditulis dalam buku itu, di halaman 63 bahwa surat itu isinya tentang penduduk setempat memeluk Islam,” kata dia.

Baca juga: Kisah Sunan Giri Meminang 2 Gadis Cantik dalam Sehari

Bahkan, dengan keahlian dalam tulis-menulis Sunan Giri masyhur bersenjatakan ampuh. Itu ada dalam kerisnya yang disebut 'Kolomunyeng' atau 'Kalamunyeng'. Meski bukan senapan, namun senjata itu ampuh. Senjata itu diambil dari al Qolam berarti pena dan munyeng yaitu pening atau pusing tujuh keliling.

Dengan kata lain, karena beliau melalui tulisan surat suratnya yang dikirimkan ke pejabat, petinggi besar Majapahit selalu sesuai dengan realitas keadaan sosial politik agama saat itu.

Sunan Giri, Ahli Jurnalistik yang Tulisannya Mengguncang Kerajaan Majapahit


Istilahnya beliau reformis, pro perubahan dengan birokrasi jalannya pemerintahan Majapahit, terutama terkait menyangkut kepentingan publik, rakyat tidak dibebani punguti upeti pajak tinggi atau mencekik kawulo alit rakyat jelata.

Tulisan-tulisan beliau mengguncang kerajaan Majapahit, sehingga tak pelak mereka dibuat pening kepala gusar bermuram durja kepada Sunan Giri.

Beliau selain menyebarkan Islam secara damai juga lihai berpolitik, lewat tulisan tulisan yang juga disebar ke khalayak ramai, mengenai kebijakan kebijakan Majapahit yang tidak pro rakyat dan merugikan kawulo alit.

Tulisan-tulisannya beliau membuat 'Munyeng' sang Raja Majapahit. Karena kemampuannya itu beliau dikenal bersenjata 'Qolam','Pena'. Yang mana, lidah orang Jawa menyebutnya Kalam (baca: Kolom).

Karena setiap tulisan-tulisan beliau saat itu mengkritik pemerintahan Kerajaan Majapahit, membuat geger pejabat-pejabat teras Majapahit. Sehingga Raja Majapahit (Brawijaya) murka menganggap Sunan Giri mbangkang tidak patuh kebijakan Majapahit.

Sampai-sampai memerintahkan pasukannya menyerbu kerajaan Sunan Giri, yaitu Giri Kedaton yang sekarang dikenal dengan Gresik. Meski begitu, Majapahit kalah dalam berperang. Tidak salah akhirnya banyak orang yang menywbit Sunan Giri punya senjata Kalamunyeng.

Dan disebut, bila pena Kalamuyeng itu berada di tangan yang tepat. Yaitu Sunan Giri. Bisa digunakan untuk menulis sesuatu karya pengetahuan ilmu yang bertujuan mengkritik. “Kalau saya membaca, kemampuan Sunan Giri dalam tulis menulis itu tidak dipublis,” ujar Umardi Luhung.

Dari itu, kemampuan tulis menulis harus menjadi tradisi umat Islam. Terutama ulama kiai dan santri. Semisal kebiasaan Hujjatul Islam Imam Al Ghazali yang tidak pernah kering tintanya.

Mampu membuat khazanah intelektual keilmuan Islam dengan buku buku karyanya, salah satunya paling fenomenal adalah kitab (Ihya' Ulumuddin) yang sampai sekarang banyak dijadikan referensi para ulama kelas dunia termasuk dari ulama Indonesia

Menyegarkan ingatan, Sunan Giri lahir di Blambangan 1442. Putra dari Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu dari Blambangan. Blambangan itu masuk wilayah Kerajaan Majapahit di masa-masa akhir.

Namun, kelahiran Sunan Giri yang punya nama Raden Ainul Yaqin sempat membawa kutukan. Karenanya, dipaksa untuk diasingkan. Akhirnya, Sunan Giri dibuang ke laut, saat ini Selat Bali. Akhirnya awak kapal bernama Sobir dan Sabar menemukan. Dan dibawa ke Gresik.

Sesampainya di Gresik yang saat itu masuk wilayah Surabaya, bayi laki-laki itu diadopsi seorang wanita yang saudagar. Beliau, Nyai Ageng Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, Nyi Ageng menamai Joko Samudro. Beranjak dewasa, Joko Samudro dipondokan di Sunan Ampel. Hingga, menjadi santri kesayangan.

Bersama Makdhum Ibrahim atau Sunan Bonang dikirim belajar ke Pasai. Ternyata Joko Samudro bertemu dengan orang tuanya, Maulana Ishaq. Akhirnya, Joko Samudro atau Sunan Giri mengetahui identitasnya. Alasan hingga dibuang ke laut.

Cerita punya cerita, Sunan Giri memutuskan kembali ke Gresik. Tepatnya, ke pegunungan Giri Kedaton. Beliau mendirikan pesantren yang juga pusat pemerintahan. Namanya, Giri Kedaton. Lokasinya di Desa Giri, Kecamatan Gresik, Jawa Timur. Selain sebagai pesantren, juga pusat pemerintahan. Ratusan santri belajar di pesantren tersebut.

Sebagai pusat pemerintahan atau kerajaan, pengaruh Giri Kedaton cukup luas. Tidak cukup di Jawa dan Madura, tetapi sampai Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.

Kehidupan Sunan Giri yang dinamis sejak lahir. Membuat beliau punya banyak panggilan. Diantaranya; Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden Ainul Yaqin dan Joko Samudro.
Pengaruh itu tidak didapat Sunan Giri tiba-tiba. Namun melalui tahapan tirakat yang luar biasa. Bahkan, beliau piawai di bidang jurnalistik alias tulis-menulis.
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2087 seconds (0.1#10.140)