Misteri Gunung Kelud dan Dendam Cinta Lembu Suro yang Bertepuk Sebelah Tangan

Senin, 25 Januari 2021 - 05:00 WIB
loading...
Misteri Gunung Kelud dan Dendam Cinta Lembu Suro yang Bertepuk Sebelah Tangan
Anak Gunung sebelim meletus. Foto diambil tahun 2013.
A A A
CUACA di wilayah Tempel Kabupaten Sleman, Yogyakarta, mendadak redup saat abu vulkanik Gunung Kelud mendarat pukul tujuh pagi. Warga sontak mengurungkan niat berangkat ke ladang. Di atas genting rumah mereka, pasir lembut berwarna putih mengguyur tak putus putus. Hujan debu.

"Mbah Kelud lagi menyapa Merapi," tutur Ny Rosmiati (67) yang saat itu langsung menghubungi sanak kerabatnya di Blitar, Jawa Timur. Pasir lembut bertebaran di mana-mana. Di rumah-rumah. Di pepohonan. Di jalan-jalan. Menempel pada kaca dan bodi kendaraan yang berlalu-lalang.

Karena tidak kuat menahan beban, talang-talang air berbahan paralon, pada ambrol. Begitu juga plafon rumah. Tidak sedikit yang jebol. Daun dan buah salak yang menjadi tanaman andalan di Tempel, Sleman, juga tidak luput dari sasaran. Tidak sedikit yang rebah sekaligus memutih. Baca Juga: Perhutanan Sosial Dihambat, Petani Kelud Kediri Geruduk Perhutani

Dengan menyodorkan berbagai bukti catatan historis, Pemkab Blitar menggugat. Polemik gunung setinggi 1.731 meter di atas permukaan laut (Mdpl) tersebut, dibawa ke pusat dan Kemendagri memutuskan status quo hingga hari ini.

"Ya biar diambil Kediri beserta abu abunya," kata Khamim yang mengaku masih jengkel ketika mengingat polemik itu. Pada erupsi 13 Februari 2014, wilayah Kediri terdampak parah. Sepanjang jalan Kabupaten Kediri, yakni mulai perbatasan Kabupaten Blitar hingga wilayah Kediri, penuh dengan pasir Kelud.

Di sepanjang jalan banyak dijumpai rumah serta bangunan fasilitas umum yang lantak. Kelud betul-betul mengamuk. Jalan Doho, yang merupakan jalur utama sekaligus pusat keramaian Kota Kediri, berubah menjadi lautan pasir. Seluruh pemilik toko seketika berhenti jualan. Aktifitas ekonomi lumpuh total.

Sementara di wilayah Blitar Raya, pemandangan justru sebaliknya. Abu vulkanik Kelud hanya menyaput tipis. Seolah sedang tidak terjadi apa apa. "Padahal pada saat erupsi tahun 1990, kondisi di Blitar lebih parah. Tebal pasir di jalan raya di atas mata kaki orang dewasa," tutur Khamim.

Spekulasi yang berkembang, karena lontaran yang kelewat dahsyat, wilayah Blitar yang berlokasi lebih dekat, justru terlewat. Yang terdampak parah justru wilayah lebih jauh. Kasak kusuk yang bergulir di sebagian masyarakat Blitar, itu semua akibat ingin merebut Kelud dari Blitar.

Proses pengambilalihan tersebut kabarnya berlangsung di Yogyakarta. "Karenanya yang terdampak parah Kediri dan Yogya," kata Khamim. Merunut sejarahnya, Gunung Kelud sudah puluhan kali mengalami erupsi. Di periode awal letusan, tidak sedikit korban berjatuhan. Baca Juga: Jarak pandang terbatas, transportasi di Kota Solo terganggu

Dalam Ensiklopedi Indonesia terbitan Ichtiar Baru- Van Hoeve tahun 1982, erupsi Kelud pada tahun 1919 disebut menelan korban jiwa 5.110. Letusan tahun 1966 mengakibatkan 25 desa hancur, dan 282 orang warga meninggal dunia. Lahar panas meluncur sejauh 31 km.

"Berdasarkan penelitian Direktorat Geologi Bandung, periode letusan Gunung Kelud terjadi 15 tahun sekali". Mantan Kepala Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana (PVMBG) Surono atau Mbah Rono mengatakan, Gunung Kelud dan Gunung Merapi merupakan tolok ukur para ahli vulkanologi di dunia.

Terutama Kelud. Pembangunan Kantor Vulkanologi pertama tahun 1920 oleh Belanda di Bandung terkait erat dengan Gunung Kelud. "Pembangunanya disebabkan karena letusan Gunung Kelud pada 1919," kata Mbah Rono dalam "Belajar Membumi Bersama Mbah Rono, Memahami Gunung Api, Gempa, Energi Bumi, dan Fenomena Alam di Indonesia" (2015).

Mbah Rono menganalogikan hubungan manusia dengan gunung, yakni khususnya Gunung Kelud, ibarat manusia pinjam uang kepada gunung untuk hidup dan bertani. Saat gunung meminta dikembalikan, yakni dengan cara erupsi, manusia seyogyanya mengembalikannya. Baca Juga: Dampak erupsi, Bandara Adi Soemarmo tutup hingga Minggu

Artinya manusia dan gunung hendaknya senantiasa berdampingan dengan harmonis. "Saya ingin manusia untuk mencoba mengerti apa maunya alam," kata Mbah Rono menambahkan. Begitu dahsyatnya Gunung Kelud saat meletus, sampai sampai Raja Hayam Wuruk (Kerajaan Majapahit) melakukan pemujaan secara khusus di Candi Penataran, Blitar.

Dalam Negarakertagama, Hayam Wuruk sendiri tercatat lahir pada saat Gunung Kelud erupsi. Pemujaan secara khusus kepada Dewa Gunung yang dilakukan Hayam Wuruk, bertujuan untuk meredam amarah sang Kampud atau Gunung Kelud.

Sementara bagi sebagian warga Kabupaten Blitar dan Kediri, erupsi Kelud yang berlangsung periodik dan terus menerus itu, tidak lepas dari cerita kutukan sumpah kuno Raja Lembu Suro. "Kalau orang orang dulu bilang, letusan Kelud terkait sumpah Lembu Suro yang menuntut balas," kata Mistur (70) warga Kecamatan Wonodadi, Kabupaten Blitar.

Syahdan, pada masa awal abad 11, Dewi Kilisuci dari Kerajaan Jenggala, dilamar dua orang raja yang sama sama sakti. Kilisuci merupakan putri sulung Prabu Airlangga, penguasa Kerajaan Kahuripan yang pusatnya di wilayah Kediri sekarang.

Kilisuci yang berparas jelita sebenarnya tidak menginginkan pinangan itu. Sebab kedua raja yang berkompetisi menjadikannya istri adalah manusia yang tidak lazim. Raja yang pertama bernama Lembu Suro. Seorang manusia berkepala sapi atau lembu.

Sedangkan raja yang kedua bernama Mahesa Suro, yakni manusia berkepala kerbau. Karena terkenal digdaya sekaligus kejam, Kilisuci tidak berani terang terangan menolak. Namun ia tidak berhenti memutar otak. Sampai terbit ide meminta syarat yang mustahil dikerjakan.

Di depan Lembu Suro dan Mahesa Suro, Kilisuci menyatakan bersedia diperistri, asalkan keduanya sanggup membuatkan sumur di atas Gunung Kelud dalam waktu semalam. Syarat diperberat lagi dengan mengharuskan masing masing sumur beraroma wangi dan amis.

Betapa kagetnya Kilisuci, begitu menyaksikan Lembu Suro dan Mahesa Suro ternyata sanggup memenuhi permintaannya. Dalam waktu semalam, kedua sumur tercipta. Di tengah rasa panik akal liciknya muncul.

Kilisuci menyatakan tidak percaya air dalam sumur beraroma wangi dan amis. Ia meminta Lembu Suro dan Mahesa Suro membuktikan dengan mencebur ke dalamnya. Karena sudah dibakar nafsu, kedua manusia sakti tersebut tidak sadar tengah diperangkap.

Begitu masuk ke dalam sumur, Kilisuci cepat cepat memerintahkan prajurit Jenggala untuk menimbun sumur dengan bebatuan. Dalam kisah yang menyebar getok tular itu, Lembu Suro sempat berteriak meminta tolong. Namun para prajurit Jenggala tidak berhenti menimbunkan batu.

Di tengah putus asa karena merasa telah dicurangi, Lembu Suro melontarkan sumpah serapahnya (kutukan). Dari dalam sumur yang berada di puncak Gunung Kelud, sumpah kutukan tersebut terdengar menggema. Didengar Dewi Kilisuci serta seluruh prajurit Jenggala.

"Yoh, Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping, yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi kedung" (Wahai orang orang Kediri, suatu saat akan mendapatkan balasanku berkali kali. Kediri bakal jadi sungai, Blitar rata dengan tanah, dan Tulungagung jadi lubuk).
(don)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1343 seconds (0.1#10.140)