Tes Corona Pakai Anggaran Dinkes, DPRD Bandung Barat Dikritik Habis
loading...
A
A
A
BANDUNG BARAT - Anggota DPRD Kabupaten Bandung Barat kompak menjalani rapid test corona alias COVID-19 di Kantor DPRD KBB di Jalan Raya Tagog Padalarang, Kamis (16/4/2020). Namun, bukan apresiasi positif diperoleh melainkan sorotan negatif masyarakat lantaran kegiatan para wakil rakyat itu menggunakan anggaran Dinas Kesehatan.
Masyarakat menganggap anggota DPRD tidak peka. Semestinya rapid test yang ditanggung negara diprioritaskan bagi masyarakat di lingkungan suspect corona, orang dalam pemantauan (ODP) atau pasien dalam pengawasan (PDP), serta mereka yang pulang dari zona merah corona.
"Anggota DPR RI di Jakarta saja tidak berani rapid test pakai uang negara, kok berani-beraninya DPRD Bandung Barat melakukannya? Apa nggak bisa pakai uang sendiri? Biarlah alat rapid test yang ada digunakan untuk masyarakat,” kata Iwan (35), salah satu warga.
Ketua Pusat Kajian Politik Ekonomi dan Pembangunan (Puskapolekbang) KBB, Holid Nurjamil menilai, anggota dewan semestinya lebih peka dengan tidak membebankan biaya rapid test kepada negara.
Apalagi kondisi saat ini semua anggaran SKPD dipotong untuk penganan COVID-19, sesuai dengan arahan dari Kemendagri bahwa APBD harus dianggarkan minimal 50% bagi penanganan bencana non alam ini.
"Ya mestinya malu. Wakil rakyat di pusat (DPR RI) saja dikritik habis-habisan saat mereka mau pakai uang negara untuk rapid test, tapi di KBB malah dilakukan. Apa tidak bisa anggota dewan melakukan rapid test mandiri, toh biayanya juga tidak lebih dari Rp1 juta?" sindirnya.
Menurutnya, keberadaan alat rapid test itu semestinya diperuntukan bagi masyarakat yang belum tentu semua mampu jika harus melakukan test mandiri. Apalagi saat ini ada beberapa kecamatan yang sudah mulai kedatangan para pemudik dari zona merah yang menjadi status ODP. Bahkan di wilayah selatan saja, untuk satu kecamatan sudah ada sekitar 1.700 pemudik dari Jakarta dan sekitarnya yang pulang ke rumah mereka.
"Jumlah 50 alat rapid test sangat berharga, apalagi Dinkes juga mengaku kekurangan alat rapid test karena permintaan warga yang ingin ditest melebihi kuota. Makanya saya sangat menyayangkan sikap para anggota dewan tersebut," tegasnya.
Ketua DPRD KBB Rismanto menyebutkan, kegiatan rapid test anggota DPRD dilakukan sesuai prosedur normatif. Sekretariat Dewan sebelumnya mengajukan permohonan ke dinas terkait. Anggota DPRD sebagai pejabat publik menjadi elemen yang harus melakukan rapid test.
”Kami hanya mengikuti jadwal, dan baru kali ini dilakukan rapid test. Semua anggota dewan diundang untuk ikut, untuk alat dan anggaran semua ditanggung oleh pihak penyelenggara (dinas)," ucapnya.
Masyarakat menganggap anggota DPRD tidak peka. Semestinya rapid test yang ditanggung negara diprioritaskan bagi masyarakat di lingkungan suspect corona, orang dalam pemantauan (ODP) atau pasien dalam pengawasan (PDP), serta mereka yang pulang dari zona merah corona.
"Anggota DPR RI di Jakarta saja tidak berani rapid test pakai uang negara, kok berani-beraninya DPRD Bandung Barat melakukannya? Apa nggak bisa pakai uang sendiri? Biarlah alat rapid test yang ada digunakan untuk masyarakat,” kata Iwan (35), salah satu warga.
Ketua Pusat Kajian Politik Ekonomi dan Pembangunan (Puskapolekbang) KBB, Holid Nurjamil menilai, anggota dewan semestinya lebih peka dengan tidak membebankan biaya rapid test kepada negara.
Apalagi kondisi saat ini semua anggaran SKPD dipotong untuk penganan COVID-19, sesuai dengan arahan dari Kemendagri bahwa APBD harus dianggarkan minimal 50% bagi penanganan bencana non alam ini.
"Ya mestinya malu. Wakil rakyat di pusat (DPR RI) saja dikritik habis-habisan saat mereka mau pakai uang negara untuk rapid test, tapi di KBB malah dilakukan. Apa tidak bisa anggota dewan melakukan rapid test mandiri, toh biayanya juga tidak lebih dari Rp1 juta?" sindirnya.
Menurutnya, keberadaan alat rapid test itu semestinya diperuntukan bagi masyarakat yang belum tentu semua mampu jika harus melakukan test mandiri. Apalagi saat ini ada beberapa kecamatan yang sudah mulai kedatangan para pemudik dari zona merah yang menjadi status ODP. Bahkan di wilayah selatan saja, untuk satu kecamatan sudah ada sekitar 1.700 pemudik dari Jakarta dan sekitarnya yang pulang ke rumah mereka.
"Jumlah 50 alat rapid test sangat berharga, apalagi Dinkes juga mengaku kekurangan alat rapid test karena permintaan warga yang ingin ditest melebihi kuota. Makanya saya sangat menyayangkan sikap para anggota dewan tersebut," tegasnya.
Ketua DPRD KBB Rismanto menyebutkan, kegiatan rapid test anggota DPRD dilakukan sesuai prosedur normatif. Sekretariat Dewan sebelumnya mengajukan permohonan ke dinas terkait. Anggota DPRD sebagai pejabat publik menjadi elemen yang harus melakukan rapid test.
”Kami hanya mengikuti jadwal, dan baru kali ini dilakukan rapid test. Semua anggota dewan diundang untuk ikut, untuk alat dan anggaran semua ditanggung oleh pihak penyelenggara (dinas)," ucapnya.
(muh)