Caplok Wewenang Pemda, RUU Cipta Kerja Berpotensi Hapus Otonomi Daerah
loading...
A
A
A
BANDUNG - Anggota Komisi II DPR RI, Teddy Setiadi menilai, omnibuslaw RUU Cipta Kerja berpotensi menghapus peran pemerintah daerah yang sudah diatur sesuai konsep otonomi daerah. Hal itu berpotensi melanggar Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945 yang menekankan penyelenggaraan otonomi daerah seluas-luasnya, kecuali dalam yang bersifat absolut yang diatur oleh undang-undang.
Legislator dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat 1 yang meliputi Kota Bandung dan Kota Cimahi itu menjelaskan bahwa dalam ketentuan Pasal 162, 163, 164 dan 166 RUU Cipta Lapangan Kerja menempatkan seluruh kepala daerah di Indonesia akan berada di bawah komando dari pemerintah pusat.
Salah satu konsekuensinya, kata Teddy, pemerintah pusat dapat menetapkan peraturan presiden (perpres) untuk mencabut atau membatalkan peraturan daerah (perda). Apabila setelah dibatalkan, pemerintah daerah tetap menjalankan perda tersebut, maka kepala daerah dan anggota DPRD tidak akan mendapatkan gaji dan tunjangan selama tiga bulan serta daerahnya akan dikenakan pemotongan atau penundaan dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) dari pemerintah pusat.
"RUU Cipta Kerja ini seharusnya lebih fokus pada penyederhanaan perizinan berusaha dan menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat, bukan mengambilalih kewenangan pemerintah daerah dan menempatkan mereka sebagai anak buah pemerintah pusat," tegas Teddy, Senin (11/5/2020).
Lebih lanjut, anggota DPR RI dari Fraksi PKS ini pun menyatakan, RUU Cipta Kerja juga berpotensi mengurangi pendapatan asli daerah (PAD) karena banyaknya pemangkasan kewenangan pemerintah daerah dari berbagai sektor.
Contohnya, pemerintah daerah tidak lagi mengatur persyaratan administrasi bangunan dan menetapkan izin mendirikan bangunan (IMB) dimana kewenangan tersebut akan dialihkan kepada pemerintah pusat yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP).
"Hal tersebut juga diberlakukan sama dalam RUU ini, terhadap sector lainnya seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, ESDM, pekerjaan umum, penataan ruang, dan seterusnya," imbuh Teddy.
Selain itu, RUU Cipta Kerja juga mengatur penyelarasan pajak antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga besaran pajak daerah tiap sektornya akan sama di seluruh Indonesia. Menurutnya, hal itu tentu saja akan berpotensi mengurangi PAD dan membuat daerah akan sangat bergantung pada DBH dari pemerintah pusat.
"Selama ini PAD masih di bawah 10 persen, seharusnya pemerintah pusat memikirkan kebijakan untuk menggali potensi pajak dan inovasi daerah agar PAD meningkat dan mewujudkan kemandirian ekonomi daerah. Namun, Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang ditawarkan pemerintah bersifat kontradiktif dan berpotensi mengurangi PAD karena pemangkasan kewenangan pemerintah daerah dan adanya wacana penyelarasan pajak antara pemerintah pusat dan daerah," pungkasnya.
Legislator dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat 1 yang meliputi Kota Bandung dan Kota Cimahi itu menjelaskan bahwa dalam ketentuan Pasal 162, 163, 164 dan 166 RUU Cipta Lapangan Kerja menempatkan seluruh kepala daerah di Indonesia akan berada di bawah komando dari pemerintah pusat.
Salah satu konsekuensinya, kata Teddy, pemerintah pusat dapat menetapkan peraturan presiden (perpres) untuk mencabut atau membatalkan peraturan daerah (perda). Apabila setelah dibatalkan, pemerintah daerah tetap menjalankan perda tersebut, maka kepala daerah dan anggota DPRD tidak akan mendapatkan gaji dan tunjangan selama tiga bulan serta daerahnya akan dikenakan pemotongan atau penundaan dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) dari pemerintah pusat.
"RUU Cipta Kerja ini seharusnya lebih fokus pada penyederhanaan perizinan berusaha dan menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat, bukan mengambilalih kewenangan pemerintah daerah dan menempatkan mereka sebagai anak buah pemerintah pusat," tegas Teddy, Senin (11/5/2020).
Lebih lanjut, anggota DPR RI dari Fraksi PKS ini pun menyatakan, RUU Cipta Kerja juga berpotensi mengurangi pendapatan asli daerah (PAD) karena banyaknya pemangkasan kewenangan pemerintah daerah dari berbagai sektor.
Contohnya, pemerintah daerah tidak lagi mengatur persyaratan administrasi bangunan dan menetapkan izin mendirikan bangunan (IMB) dimana kewenangan tersebut akan dialihkan kepada pemerintah pusat yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP).
"Hal tersebut juga diberlakukan sama dalam RUU ini, terhadap sector lainnya seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, ESDM, pekerjaan umum, penataan ruang, dan seterusnya," imbuh Teddy.
Selain itu, RUU Cipta Kerja juga mengatur penyelarasan pajak antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga besaran pajak daerah tiap sektornya akan sama di seluruh Indonesia. Menurutnya, hal itu tentu saja akan berpotensi mengurangi PAD dan membuat daerah akan sangat bergantung pada DBH dari pemerintah pusat.
"Selama ini PAD masih di bawah 10 persen, seharusnya pemerintah pusat memikirkan kebijakan untuk menggali potensi pajak dan inovasi daerah agar PAD meningkat dan mewujudkan kemandirian ekonomi daerah. Namun, Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang ditawarkan pemerintah bersifat kontradiktif dan berpotensi mengurangi PAD karena pemangkasan kewenangan pemerintah daerah dan adanya wacana penyelarasan pajak antara pemerintah pusat dan daerah," pungkasnya.
(muh)