Inovasi Robot ITS Bisa Ambil Pasar Impor Alkes
loading...
A
A
A
JAKARTA - Langkah ITS berkaitan dengan penanganan wabah COVID-19 sudah berada di jalur yang benar. Inovasi-inovasi yang dihasilkan bukan berbasis keinginan, melainkan kebutuhan. Tantangannya tinggal bagaimana menjadikan karya inovasi tersebut sustainable dan lebih menjangkau masyarakat lebih luas.
”Untuk urusan administrasi seperti sertifikat uji teknis, izin produksi, izin edar untuk kesehatan dan lain sebagainya, ITS harus memiliki unit usaha sendiri untuk mengusurusnya,” ujar Taufik Bawazier, pelaksana tugas Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian dalam Zoominar yang diselenggarakan Dewan Pakar PP IKA ITS, Sabtu (9/5/2020).
Menurut Taufik, dari kacamata pemerintah, hilirisasi produk hasil inovasi harus dilihat dalam spektrum lebih luas. Kemampuan atau kompetensi teknis bukan satu-satunya pertimbangan. Bila secara teknis mampu Indonesia memproduksi massal, harus dilihat pula secara ekonomi dibandingkan dengan negara lain, misalnya China atau Korea Selatan. Sebab hal ini akan berpengaruh pada komersialisasi produk kelak.
”Jadi setelah barang dibuat, harus dipikirkan bagaimana membuatnya masuk economy of scale,” tutur Taufik.
Robot Raisa yang bertugas mengontrol kebutuhan pasien. Foto/dok.humas ITS
Di fase awal, lanjut Taufik, pemerintah memang harus hadir. Itu bisa dilakukan melalui kebijakan nonfiskal untuk melindungi produk yang dihasilkan anak bangsa. Dia mengakui saat ini 90 persen kebutuhan alkes nasional berteknologi tinggi masih impor. Sementara ekspor Indonesia adalah sarung tangan karet, lensa, bed, perban dan lain-lain, merupakan alkes tergolong yang bukan produk berteknologi tinggi.
”Diprediksi impor alat kesehatan pada 2030 sekitar Rp13 triliun. Saya yakin teknologi robotik sensor controlling hasil inovasi ITS bisa mengambil market impor alkes nasional,” ujar Taufik.
Anggota Dewan Pakar IKA ITS Satya Widya Yudha berharap bahwa inovasi yang dihasilkan ITS tidak hanya berguna pada masa pandemi seperti saat ini. Lebih dari itu, dengan dukungan pemerintah karya inovasi tersebut mesti punya keberlanjutan. ”Tidak bisa berhenti hanya pada inovasi, tapi harus ada hilirisasi. Nah, ini mesti harus ada insentif dari pemerintah,” ujar mantan anggota DPR ini.
Sementara Ketua Umum PP IKA ITS Sutopo sudah sangat banyak hasil inovasi ITS. Sebagian bahkan telah telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. ”IKA ITS concern pada hasil inovasi ITS dan menyatakan berada di belakang ITS untuk pengembangan hasil inovasi tersebut,” ujar Sutopo.
Dalam seminar online yang dihadiri 100 peserta tersebut hadir pula pembicara lain yaitu Wakil Rektor ITS Bambang Pramujati, Dr. Aulia Nasution (inventor Emergensi Ventilator ITS); Jefri Sirait (Astra Venture Capital); dan Putty Kartika (GE HealthCare Indonesia).
”Untuk urusan administrasi seperti sertifikat uji teknis, izin produksi, izin edar untuk kesehatan dan lain sebagainya, ITS harus memiliki unit usaha sendiri untuk mengusurusnya,” ujar Taufik Bawazier, pelaksana tugas Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian dalam Zoominar yang diselenggarakan Dewan Pakar PP IKA ITS, Sabtu (9/5/2020).
Menurut Taufik, dari kacamata pemerintah, hilirisasi produk hasil inovasi harus dilihat dalam spektrum lebih luas. Kemampuan atau kompetensi teknis bukan satu-satunya pertimbangan. Bila secara teknis mampu Indonesia memproduksi massal, harus dilihat pula secara ekonomi dibandingkan dengan negara lain, misalnya China atau Korea Selatan. Sebab hal ini akan berpengaruh pada komersialisasi produk kelak.
”Jadi setelah barang dibuat, harus dipikirkan bagaimana membuatnya masuk economy of scale,” tutur Taufik.
Robot Raisa yang bertugas mengontrol kebutuhan pasien. Foto/dok.humas ITS
Di fase awal, lanjut Taufik, pemerintah memang harus hadir. Itu bisa dilakukan melalui kebijakan nonfiskal untuk melindungi produk yang dihasilkan anak bangsa. Dia mengakui saat ini 90 persen kebutuhan alkes nasional berteknologi tinggi masih impor. Sementara ekspor Indonesia adalah sarung tangan karet, lensa, bed, perban dan lain-lain, merupakan alkes tergolong yang bukan produk berteknologi tinggi.
”Diprediksi impor alat kesehatan pada 2030 sekitar Rp13 triliun. Saya yakin teknologi robotik sensor controlling hasil inovasi ITS bisa mengambil market impor alkes nasional,” ujar Taufik.
Anggota Dewan Pakar IKA ITS Satya Widya Yudha berharap bahwa inovasi yang dihasilkan ITS tidak hanya berguna pada masa pandemi seperti saat ini. Lebih dari itu, dengan dukungan pemerintah karya inovasi tersebut mesti punya keberlanjutan. ”Tidak bisa berhenti hanya pada inovasi, tapi harus ada hilirisasi. Nah, ini mesti harus ada insentif dari pemerintah,” ujar mantan anggota DPR ini.
Sementara Ketua Umum PP IKA ITS Sutopo sudah sangat banyak hasil inovasi ITS. Sebagian bahkan telah telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. ”IKA ITS concern pada hasil inovasi ITS dan menyatakan berada di belakang ITS untuk pengembangan hasil inovasi tersebut,” ujar Sutopo.
Dalam seminar online yang dihadiri 100 peserta tersebut hadir pula pembicara lain yaitu Wakil Rektor ITS Bambang Pramujati, Dr. Aulia Nasution (inventor Emergensi Ventilator ITS); Jefri Sirait (Astra Venture Capital); dan Putty Kartika (GE HealthCare Indonesia).
(muh)