Nurdin Abdullah Disebut Figur yang Layak Diperhitungkan di Pilpres 2024
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) tahun 2024 memang masih beberapa tahun lagi. Namun, sejumlah nama sudah mencuat bakal jadi kandidat di pilpres mendatang. Salah satunya, HM Nurdin Abdullah .
Dalam beberapa survei, Nurdin yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Sulsel acap kali masuk dalam radar survei sejumlah lembaga sebagai kandidat saat pilpres mendatang, bersama sejumlah nama besar lain.
Nah, setelah Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Puan Maharani dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), kali ini SINDOnews mengulas tentang sejauh mana peluang Nurdin Abdullah pada pilpres 2024.
)
Pria kelahiran Kota Parepare, Sulawesi Selatan 7 November 1963 ini merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Dia menikah dengan Liestiaty F Nurdin dan dikaruniai tiga orang anak, yakni Putri Fatima Nurdin, M Syamsul Reza Nurdin dan M Fathul Fauzi Nurdin.
Ayah Nurdin Abdullah berasal dari Kabupaten Bantaeng dan merupakan keturunan Raja Bantaeng ke-27. Sementara sang ibu berasal dari Soppeng yang kesehariannya sebagai ibu rumah tangga.
Nurdin Abdullah pernah dua periode menjabat Bupati Bantaeng, yakni 2008-2013 dan 2013-2018. Dia menjadi bupati pertama di Indonesia bergelar profesor.
Sejak tahun 2018 hingga 2023 nanti, Nurdin Abdullah menjabat sebagai gubernur Sulawesi Selatan. Nurdin menyelesaikan kuliah S1 Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin (Unhas) Tahun 1986.
Kemudian, menyelesaikan S2 Master of Agriculture Kyushu University Jepang Tahun 1991 dan S3 Doktor of Agriculture Kyushu University Jepang Tahun 1994. Maka itu, Nurdin Abdullah dikenal sebagai seorang akademisi sebelum terjun ke dunia politik.
Dia pernah menjadi Guru Besar Fakultas Kehutanan di Universitas Hasanuddin dan menjadi Dewan Penyantun Politeknik Negeri Makassar. Sejumlah terobosan dan inovasi yang dilakukannya selama menjadi kepala daerah membuat dirinya cukup dikenal masyarakat.
Contohnya, berdasarkan Survei Indobarometer Januari 2020, Nurdin Abdullah menempati urutan terakhir dari enam kepala daerah yang berpotensi ikut pilpres 2024, dengan 0,8%. Sedangkan tingkat pengenalan Nurdin Abdullah di survei Indobarometer itu sebesar 10,7%.
Sementara itu, berdasarkan survei yang dilakukan Polmatrix Indonesia pada 1-7 Mei 2020, Nurdin Abdullah berada di urutan ke delapan dengan elektabilitas 1,0%. Kemudian, berdasarkan survei New Indonesia Research and Consulting yang dilakukan pada 8-18 Juni 2020, Nurdin Abdullah di urutan keenam kategori opini publik dengan 4,5%.
Selain itu, survei yang dilakukan Script Survei Indonesia (SSI) pada 2-15 Agustus 2020 mencatat 63,13% masyarakat daerah itu puas terhadap kinerja Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan di bawah kendali Nurdin Abdullah-Andi Sudirman Sulaiman.
Kemudian, nama Nurdin Abdullah masuk dalam lima besar jajaran gubernur terbaik sesuai hasil survei Indikator Politik Indonesia melalui hasil survei opinion leader bertajuk Efek Kepemimpinan dan Kelembagaan dalam penanganan Covid-19. Secara rinci, untuk skor koordinasi kerja, Nurdin Abdullah berada di urutan ke lima dengan 64 persen.
Selanjutnya, kategori sense of crisis dengan persentase 64,4% serta kategori komunikasi kepada warga dengan persentase 64,1%. Lalu, berdasarkan survei Median yang diambil pekan pertama dan kedua April 2020, Nurdin Abdullah berada di urutan 15 atau 8 terbawah dari 22 kepala daerah yang disurvei dengan 0,5%.
Pengamat politik dari Universitas Jayabaya, Igor Dirgantara menilai Nurdin Abdullah (NA) adalah satu contoh kepala daerah di luar pulau Jawa yang punya prestasi dan kinerja mumpuni, tidak kalah dengan kepala daerah lainnya yang sering muncul di berbagai survei.
"Sebagai Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel), NA punya sederet penghargaan sebagai tokoh perubahan dan pembagunan daerah, akademisi, sampai sosok penumbang dinasti politik di Sulsel," ujar Igor Dirgantara kepada SINDOnews, Sabtu (31/10/2020).
Namun, kata Igor, ketokohan Nurdin Abdullah seakan tenggelam dibanding kepala daerah dari pulau Jawa, seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, dan Khofifah Indar Parawansa.
"Padahal NA punya modal untuk tampil sebagai figur yang pantas diperhitungkan. NA digadang sebagai the next Jusuf Kalla di pentas politik nasional," ujar Igor yang juga Director Survey and Polling Indonesia (SPIN) ini.
Igor mengatakan, mungkin karena Nurdin Abdullah bukan kepala daerah dari Pulau Jawa yang berpenduduk besar, seperti contohnya Ganjar Pranowo di Jawa Tengah yang lebih mudah dipoles untuk dimunculkan sebagai kandidat potensial 2024.
"Sejatinya, NA dan Ganjar sama-sama diusung oleh PDIP dan sukses memenangkan Pemilihan Gubernur," kata Igor.
Namun, diakui Igor, nama Ganjar lebih mentereng di survei dan pemberitaan media ketimbang Nurdin Abdullah. Igor mengatakan, Ganjar juga lebih piawai memasarkan diri di media sosial. "Marketing politik NA terlihat lemah dan tidak equivalen dengan segudang prestasinya sebagai Gubernur pertama di Indonesia yang bergelar Profesor pertanian," tutur Igor.
Igor berpendapat, seandainya Nurdin Abdullah adalah ketua umum sebuah partai politik seperti Jusuf Kalla memimpin Partai Golkar, maka bisa diprediksi namanya otomatis akan masuk sebagai capres atau cawapres di 2024. "Namun, hal itu sebenarnya bukanlah alasan yang signifikan," katanya.
Igor melanjutkan, ada pergeseran demografi pemilih nanti di 2024. Hal tersebut, menurut dia, peluang yang bisa dimanfaatkan Nurdin Abdullah dengan melahirkan visi (program) terkait generasi milenial ke depan.
Dia membeberkan, salah satu karakteristik pemilih milenial adalah mereka tidak hirau lagi atau mudah percaya kepada sesuatu yang berbau pencitraan.
Dia menambahkan, apatisme milenial terhadap politik juga lumayan tinggi. Untuk itu, Nurdin Abdullah perlu tim komunikasi yang bisa menjangkau pemilih pemula via internet dalam skala nasional.
"Bagaimanapun juga, NA tetap opsi terbaik dari skenario pasangan kandidat non-Jawa yang layak dipertimbangkan pada perhelatan pemilu 2024 yang akan datang," ucap Igor.
Sementara itu, pengamat politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting Arif Nurul Imam menilai peluang Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah di Pilpres 2024 tentu masih fluktuatif.
Menurut Arif, secara prestasi sejatinya Nurdin Abdullah memiliki rekam jejak cemerlang, pernah jadi bupati dua periode dan gubernur dengan beragam terobosannya.
Namun, lanjut Arif, secara elektabilitas memang masih jauh meski masuk radar survei Capres dalam Pilpres 2024.
"Jika bisa menjaga dan menaikkan elektabilitas tentu peluang itu ada, namun saya prediksi maksimal Cawapres. Hal ini karena, dari sisi demografi faktor Jawa dengan populasi terbesar, bahkan lebih dari separuh pemilih adalah orang Jawa," ujar Arif dihubungi SINDOnews secara terpisah.
Maka, kata Arif, jika elektabilitas tinggi dan ada dukungan parpol, Nurdin Abdullah paling banter menjadi cawapres. "Meski dalam politik sangat dinamis, variabel itu masih penting untuk menaikkan tingkat propabilitas pasangan capres-cawapres," ungkap Arif.
Arif membeberkan jika ingin masuk di kontestasi Pilpres 2024, tentu harus melakukan kerja dua sisi. Pertama, kata dia, menaikkan elektabilitas sehingga menjadi bargaining politik dan dilirik oleh parpol.
Arif berpendapat, menaikkan elektabilitas ini bisa dilakukan dengan membuktikan sejumlah terobosan yang bisa memberi manfaat kepada masyarakat, dan tentu saja mesti dikelola sebagai materi marketing politik yang pada gilirannya akan menambah popularitas dan elektabilitas.
"Kedua, mulai membangun komunikasi ke elite Parpol agar jika saatnya tiba dan memiliki elektabilitas tinggi akan mudah memeroleh dukungan parpol," katanya.
Dalam beberapa survei, Nurdin yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Sulsel acap kali masuk dalam radar survei sejumlah lembaga sebagai kandidat saat pilpres mendatang, bersama sejumlah nama besar lain.
Nah, setelah Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Puan Maharani dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), kali ini SINDOnews mengulas tentang sejauh mana peluang Nurdin Abdullah pada pilpres 2024.
)
Pria kelahiran Kota Parepare, Sulawesi Selatan 7 November 1963 ini merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Dia menikah dengan Liestiaty F Nurdin dan dikaruniai tiga orang anak, yakni Putri Fatima Nurdin, M Syamsul Reza Nurdin dan M Fathul Fauzi Nurdin.
Ayah Nurdin Abdullah berasal dari Kabupaten Bantaeng dan merupakan keturunan Raja Bantaeng ke-27. Sementara sang ibu berasal dari Soppeng yang kesehariannya sebagai ibu rumah tangga.
Nurdin Abdullah pernah dua periode menjabat Bupati Bantaeng, yakni 2008-2013 dan 2013-2018. Dia menjadi bupati pertama di Indonesia bergelar profesor.
Sejak tahun 2018 hingga 2023 nanti, Nurdin Abdullah menjabat sebagai gubernur Sulawesi Selatan. Nurdin menyelesaikan kuliah S1 Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin (Unhas) Tahun 1986.
Kemudian, menyelesaikan S2 Master of Agriculture Kyushu University Jepang Tahun 1991 dan S3 Doktor of Agriculture Kyushu University Jepang Tahun 1994. Maka itu, Nurdin Abdullah dikenal sebagai seorang akademisi sebelum terjun ke dunia politik.
Dia pernah menjadi Guru Besar Fakultas Kehutanan di Universitas Hasanuddin dan menjadi Dewan Penyantun Politeknik Negeri Makassar. Sejumlah terobosan dan inovasi yang dilakukannya selama menjadi kepala daerah membuat dirinya cukup dikenal masyarakat.
Contohnya, berdasarkan Survei Indobarometer Januari 2020, Nurdin Abdullah menempati urutan terakhir dari enam kepala daerah yang berpotensi ikut pilpres 2024, dengan 0,8%. Sedangkan tingkat pengenalan Nurdin Abdullah di survei Indobarometer itu sebesar 10,7%.
Sementara itu, berdasarkan survei yang dilakukan Polmatrix Indonesia pada 1-7 Mei 2020, Nurdin Abdullah berada di urutan ke delapan dengan elektabilitas 1,0%. Kemudian, berdasarkan survei New Indonesia Research and Consulting yang dilakukan pada 8-18 Juni 2020, Nurdin Abdullah di urutan keenam kategori opini publik dengan 4,5%.
Selain itu, survei yang dilakukan Script Survei Indonesia (SSI) pada 2-15 Agustus 2020 mencatat 63,13% masyarakat daerah itu puas terhadap kinerja Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan di bawah kendali Nurdin Abdullah-Andi Sudirman Sulaiman.
Kemudian, nama Nurdin Abdullah masuk dalam lima besar jajaran gubernur terbaik sesuai hasil survei Indikator Politik Indonesia melalui hasil survei opinion leader bertajuk Efek Kepemimpinan dan Kelembagaan dalam penanganan Covid-19. Secara rinci, untuk skor koordinasi kerja, Nurdin Abdullah berada di urutan ke lima dengan 64 persen.
Selanjutnya, kategori sense of crisis dengan persentase 64,4% serta kategori komunikasi kepada warga dengan persentase 64,1%. Lalu, berdasarkan survei Median yang diambil pekan pertama dan kedua April 2020, Nurdin Abdullah berada di urutan 15 atau 8 terbawah dari 22 kepala daerah yang disurvei dengan 0,5%.
Pengamat politik dari Universitas Jayabaya, Igor Dirgantara menilai Nurdin Abdullah (NA) adalah satu contoh kepala daerah di luar pulau Jawa yang punya prestasi dan kinerja mumpuni, tidak kalah dengan kepala daerah lainnya yang sering muncul di berbagai survei.
"Sebagai Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel), NA punya sederet penghargaan sebagai tokoh perubahan dan pembagunan daerah, akademisi, sampai sosok penumbang dinasti politik di Sulsel," ujar Igor Dirgantara kepada SINDOnews, Sabtu (31/10/2020).
Namun, kata Igor, ketokohan Nurdin Abdullah seakan tenggelam dibanding kepala daerah dari pulau Jawa, seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, dan Khofifah Indar Parawansa.
"Padahal NA punya modal untuk tampil sebagai figur yang pantas diperhitungkan. NA digadang sebagai the next Jusuf Kalla di pentas politik nasional," ujar Igor yang juga Director Survey and Polling Indonesia (SPIN) ini.
Igor mengatakan, mungkin karena Nurdin Abdullah bukan kepala daerah dari Pulau Jawa yang berpenduduk besar, seperti contohnya Ganjar Pranowo di Jawa Tengah yang lebih mudah dipoles untuk dimunculkan sebagai kandidat potensial 2024.
"Sejatinya, NA dan Ganjar sama-sama diusung oleh PDIP dan sukses memenangkan Pemilihan Gubernur," kata Igor.
Namun, diakui Igor, nama Ganjar lebih mentereng di survei dan pemberitaan media ketimbang Nurdin Abdullah. Igor mengatakan, Ganjar juga lebih piawai memasarkan diri di media sosial. "Marketing politik NA terlihat lemah dan tidak equivalen dengan segudang prestasinya sebagai Gubernur pertama di Indonesia yang bergelar Profesor pertanian," tutur Igor.
Igor berpendapat, seandainya Nurdin Abdullah adalah ketua umum sebuah partai politik seperti Jusuf Kalla memimpin Partai Golkar, maka bisa diprediksi namanya otomatis akan masuk sebagai capres atau cawapres di 2024. "Namun, hal itu sebenarnya bukanlah alasan yang signifikan," katanya.
Igor melanjutkan, ada pergeseran demografi pemilih nanti di 2024. Hal tersebut, menurut dia, peluang yang bisa dimanfaatkan Nurdin Abdullah dengan melahirkan visi (program) terkait generasi milenial ke depan.
Dia membeberkan, salah satu karakteristik pemilih milenial adalah mereka tidak hirau lagi atau mudah percaya kepada sesuatu yang berbau pencitraan.
Dia menambahkan, apatisme milenial terhadap politik juga lumayan tinggi. Untuk itu, Nurdin Abdullah perlu tim komunikasi yang bisa menjangkau pemilih pemula via internet dalam skala nasional.
"Bagaimanapun juga, NA tetap opsi terbaik dari skenario pasangan kandidat non-Jawa yang layak dipertimbangkan pada perhelatan pemilu 2024 yang akan datang," ucap Igor.
Sementara itu, pengamat politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting Arif Nurul Imam menilai peluang Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah di Pilpres 2024 tentu masih fluktuatif.
Menurut Arif, secara prestasi sejatinya Nurdin Abdullah memiliki rekam jejak cemerlang, pernah jadi bupati dua periode dan gubernur dengan beragam terobosannya.
Namun, lanjut Arif, secara elektabilitas memang masih jauh meski masuk radar survei Capres dalam Pilpres 2024.
"Jika bisa menjaga dan menaikkan elektabilitas tentu peluang itu ada, namun saya prediksi maksimal Cawapres. Hal ini karena, dari sisi demografi faktor Jawa dengan populasi terbesar, bahkan lebih dari separuh pemilih adalah orang Jawa," ujar Arif dihubungi SINDOnews secara terpisah.
Maka, kata Arif, jika elektabilitas tinggi dan ada dukungan parpol, Nurdin Abdullah paling banter menjadi cawapres. "Meski dalam politik sangat dinamis, variabel itu masih penting untuk menaikkan tingkat propabilitas pasangan capres-cawapres," ungkap Arif.
Arif membeberkan jika ingin masuk di kontestasi Pilpres 2024, tentu harus melakukan kerja dua sisi. Pertama, kata dia, menaikkan elektabilitas sehingga menjadi bargaining politik dan dilirik oleh parpol.
Arif berpendapat, menaikkan elektabilitas ini bisa dilakukan dengan membuktikan sejumlah terobosan yang bisa memberi manfaat kepada masyarakat, dan tentu saja mesti dikelola sebagai materi marketing politik yang pada gilirannya akan menambah popularitas dan elektabilitas.
"Kedua, mulai membangun komunikasi ke elite Parpol agar jika saatnya tiba dan memiliki elektabilitas tinggi akan mudah memeroleh dukungan parpol," katanya.
(luq)