Polesan Gizi Kedelai di Pusaran Kelompok Urban
loading...
A
A
A
(Baca juga: Libur Panjang, Tim Swab Hunter Sisir Tempat Wisata dan Ruang Publik )
Kegigihan itu membawanya terus mendulang pundi-pundi rupiah. Tak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, celengan ayamnya yang diletakan di atas lemari juga semakin berisi. Kebiasaannya menabung sejak kecil membawa berkah tersendiri.
Warga Surabaya sendiri memiliki kebiasaan untuk menyantap hidangan tempe di meja makannya. Berbagai olahan dilakukan untuk menambah kebutuhan gizi keluarga mereka. "Kiriman tempe juga ke berbagai warung nasi, jadi tak hanya ke pasar saja," ucapnya.
Ketekunan ini pun membuahkan hasil, ia akhirnya bisa mengembangkan bisnis tempe lebih besar ketika bisa menyewa rumah yang ada di ujung gang. Produksinya bisa lebih banyak dan mengajak para tetangganya untuk membantu memproduksi tempe .
Jalan rejeki itu pun terus berimbas, kemampuan warga di Tenggilis untuk bisa membuat tempe menjadikan mereka terus bertahan di tengah gempita kelompok urban yang semakin banyak di Surabaya .
(Baca juga: Gombloh, Ada Warisan Kemanusiaan dan Nasionalisme dalam Lirik Lagumu )
Sore di Tenggilis, di Kampung Kauman yang berada di pemukiman padat penduduk, senja sudah berbaur dengan aroma kedelai yang hangat. Terbawa angin yang berhembus pelan ke berbagai rumah-rumah warga. Dari sana ekonomi pun terus bertumbuh.
Kampung Kauman di Tenggilis menjadi sentra pembuatan tempe berskala besar di Surabaya . Mereka memasok kebutuhan gizi keluarga-keluarga di Surabaya melalui berbagai olahan tempe . "Sehari setidaknya menghabiskan 100 kg kedelai," jelasnya.
Ia kadang bersyukur ketika harga kedelai bisa stabil. Harga jual tempe nya bisa terus ditekan di kisaran Rp750 untuk varian kecil dan Rp1.500 untuk ukuran besar. Di pasar, harga tempenya dijual Rp1.000 dan yang berukuran besar Rp2.000.
Bagi warga di Kampung Tempe , mereka juga menaikan level kedelai dan tempe menjadi kudapan yang bernilai tinggi. Dari tangan gurih para ibu, keripik tempe nan lezat dihasilkan.
Kegigihan itu membawanya terus mendulang pundi-pundi rupiah. Tak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, celengan ayamnya yang diletakan di atas lemari juga semakin berisi. Kebiasaannya menabung sejak kecil membawa berkah tersendiri.
Warga Surabaya sendiri memiliki kebiasaan untuk menyantap hidangan tempe di meja makannya. Berbagai olahan dilakukan untuk menambah kebutuhan gizi keluarga mereka. "Kiriman tempe juga ke berbagai warung nasi, jadi tak hanya ke pasar saja," ucapnya.
Ketekunan ini pun membuahkan hasil, ia akhirnya bisa mengembangkan bisnis tempe lebih besar ketika bisa menyewa rumah yang ada di ujung gang. Produksinya bisa lebih banyak dan mengajak para tetangganya untuk membantu memproduksi tempe .
Jalan rejeki itu pun terus berimbas, kemampuan warga di Tenggilis untuk bisa membuat tempe menjadikan mereka terus bertahan di tengah gempita kelompok urban yang semakin banyak di Surabaya .
(Baca juga: Gombloh, Ada Warisan Kemanusiaan dan Nasionalisme dalam Lirik Lagumu )
Sore di Tenggilis, di Kampung Kauman yang berada di pemukiman padat penduduk, senja sudah berbaur dengan aroma kedelai yang hangat. Terbawa angin yang berhembus pelan ke berbagai rumah-rumah warga. Dari sana ekonomi pun terus bertumbuh.
Kampung Kauman di Tenggilis menjadi sentra pembuatan tempe berskala besar di Surabaya . Mereka memasok kebutuhan gizi keluarga-keluarga di Surabaya melalui berbagai olahan tempe . "Sehari setidaknya menghabiskan 100 kg kedelai," jelasnya.
Ia kadang bersyukur ketika harga kedelai bisa stabil. Harga jual tempe nya bisa terus ditekan di kisaran Rp750 untuk varian kecil dan Rp1.500 untuk ukuran besar. Di pasar, harga tempenya dijual Rp1.000 dan yang berukuran besar Rp2.000.
Bagi warga di Kampung Tempe , mereka juga menaikan level kedelai dan tempe menjadi kudapan yang bernilai tinggi. Dari tangan gurih para ibu, keripik tempe nan lezat dihasilkan.