Polesan Gizi Kedelai di Pusaran Kelompok Urban
loading...
A
A
A
SURABAYA - Kehidupan di kota besar adalah pertaruhan seni dalam bertahan hidup. Melalui jalan kedelai, kelompok urban tetap bisa bertahan dalam ruang kreatifitas dan menjaga generasi sehat melalui gizi tanpa batas.
(Baca juga: Pindang Tempoyak, Masakan Khas Palembang yang Selalu Jadi Buruan )
Yurianto (51), baru selesai mencuci kedelai dalam ember berukuran raksasa di teras rumahnya yang berada di Jalan Tenggilis Kauman Gang Buntu 27, Surabaya . Sebuah pohon belimbing menjadi atap yang teduh bagi dirinya ketika matahari yang terik di penghujung musim kemarau mencoba merayap masuk ke celah-celah rumahnya.
Ia harus bergegas, lembaran daun pisang yang sudah dibersihkan siap untuk dipotong kecil sesuai ukuran tempe . Beberapa plastik juga sudah dilipat, siap menampung kedelai yang akan dihantarkannya menjadi tempe di malam hari.
Jalan depan rumahnya tak telalu besar, hanya muat menampung dua sepeda motor yang bersisipan. Suara burung Cucak Ijo yang terus berkicau membenamkan persiapan senja yang akan menemaninya membungkus kedelai ke berbagai cetakan tempe .
(Baca juga: Kebun Binatang Surabaya Masih Jadi Jujukan Libur Panjang )
Kampung kecil yang padat penduduk selalu riuh di sore hari, gerbang masuk Kampung Kauman juga tertulis jelas sebagai Kampung Tempe . Deretan rumah kos menjadi bagian besar dari perkampungan masyarakat urban ini. Mereka memulai harapan, datang untuk meniti kesuksesan.
Sudah 20 tahun ini ia menjadi produsen tempe di Surabaya . Melancong jauh dari kampung halamannya yang ada di Cepu untuk mengadu nasib di kota besar. Modal nekat tentu tak cukup bagi dirinya untuk bisa menaklukan Surabaya . "Harus kreatif dan tahan banting," kata Yurianto, Jumat (30/10/2020).
Beruntung ia mengenal kedelai sejak kecil. Saat tiba di Kota Pahlawan, dalam benaknya hanya kepikiran untuk bisa membuka usaha kecil-kecilan sebagai jalan mengadu nasib. Keinginan kuat darinya itu yang membawanya untuk membuka usaha pembuatan tempe.
Usaha itu pun dimulai dari petak kamar kos kecil yang ada di kawasan Rungkut. Dengan tempat yang terbatas, ia harus berbagi tempat tidur dengan tumpukan tempe yang siap dikirimnya esok pagi ke berbagai pasar tradisional di Surabaya . Para pedagang di Pasar Wonokromo, Soponyono, Pabean sampai Keputran menjadi tempat distribusi tempe ke berbagai wilayah di Surabaya .
(Baca juga: Libur Panjang, Tim Swab Hunter Sisir Tempat Wisata dan Ruang Publik )
Kegigihan itu membawanya terus mendulang pundi-pundi rupiah. Tak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, celengan ayamnya yang diletakan di atas lemari juga semakin berisi. Kebiasaannya menabung sejak kecil membawa berkah tersendiri.
Warga Surabaya sendiri memiliki kebiasaan untuk menyantap hidangan tempe di meja makannya. Berbagai olahan dilakukan untuk menambah kebutuhan gizi keluarga mereka. "Kiriman tempe juga ke berbagai warung nasi, jadi tak hanya ke pasar saja," ucapnya.
Ketekunan ini pun membuahkan hasil, ia akhirnya bisa mengembangkan bisnis tempe lebih besar ketika bisa menyewa rumah yang ada di ujung gang. Produksinya bisa lebih banyak dan mengajak para tetangganya untuk membantu memproduksi tempe .
Jalan rejeki itu pun terus berimbas, kemampuan warga di Tenggilis untuk bisa membuat tempe menjadikan mereka terus bertahan di tengah gempita kelompok urban yang semakin banyak di Surabaya .
(Baca juga: Gombloh, Ada Warisan Kemanusiaan dan Nasionalisme dalam Lirik Lagumu )
Sore di Tenggilis, di Kampung Kauman yang berada di pemukiman padat penduduk, senja sudah berbaur dengan aroma kedelai yang hangat. Terbawa angin yang berhembus pelan ke berbagai rumah-rumah warga. Dari sana ekonomi pun terus bertumbuh.
Kampung Kauman di Tenggilis menjadi sentra pembuatan tempe berskala besar di Surabaya . Mereka memasok kebutuhan gizi keluarga-keluarga di Surabaya melalui berbagai olahan tempe . "Sehari setidaknya menghabiskan 100 kg kedelai," jelasnya.
Ia kadang bersyukur ketika harga kedelai bisa stabil. Harga jual tempe nya bisa terus ditekan di kisaran Rp750 untuk varian kecil dan Rp1.500 untuk ukuran besar. Di pasar, harga tempenya dijual Rp1.000 dan yang berukuran besar Rp2.000.
Bagi warga di Kampung Tempe , mereka juga menaikan level kedelai dan tempe menjadi kudapan yang bernilai tinggi. Dari tangan gurih para ibu, keripik tempe nan lezat dihasilkan.
Nur Hasan (48), produsen keripik tempe menuturkan, dirinya tak hanya memproduksi tempe saja setiap hari, tapi juga makanan yang digemari dan bisa dibawa kemana-mana oleh para warga. Makanya, sejak 2012 ia memperlebar usahanya dengan membuka produksi keripik tempe .
(Baca juga: Nih, 5 Tempat Wisata di Surabaya Aman dan Cocok Didatangi saat Libur Panjang )
Pasar kedelai yang begitu lebar benar-benar dimanfaatkannya. Setiap hari, dirinya bisa menghabiskan 250-300 kilogram kedelai yang diolah menjadi tempe dan keripik tempe . "Keripik permintaannya terus naik, banyak yang suka dari anak muda sampai orang tua," jelasnya.
Sayap usaha itu pun terus berkembang ketika kelompok milenial ikut berkolaborasi bersama. Mereka menjadi jembatan bagi para produsen tempe untuk menciptakan produk olahan lainnya yang berbahan kedelai.
Mereka pun memasuki ruang-ruang digital untuk bisa memasarkan produk keripik tempe . Dengan kapasitas produksi yang terus ditambah, pengemasan yang rapi serta pasar-pasar baru di berbagai kalangan umur. "Semua bisa merasakan enaknya tempe dengan berbagai olahan makanan, termasuk camilan yang bisa dibawa kemana saja," katanya.
Imunitas di Tengah Pandemi
COVID-19 mengubah banyak landskap kehidupan masyarakat. Semua sektor ikut terdampak, dan kesehatan menjadi harga mahal untuk terus dijaga. Di tengah pandemi ini, imunitas menjadi modal utama untuk bisa keluar sebagai pemenang dalam perang melawan COVID-19 .
(Baca juga: Hari Sumpah Pemuda, Risma Minta Pemuda Melawan Kemiskinan )
Berbagai olahan makanan maupun minuman pun diproduksi untuk bisa dikonsumsi dalam rangka meningkatkan imunitas. Dengan gizi yang cukup, seseorang memiliki modal kuat untuk mengusir virus. Kolaborasi dengan kebiasaan menjaga kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan serta terus menjaga jarak bisa menjadi kunci utama.
Berbagai lompatan pun dilakukan. Wali Kota Surabaya , Tri Rismaharini sempat kelimpungan ketika banyaknya angka penularan COVID-19 di Surabaya . Epicentrum virus yang awalnya di Jakarta pindah ke Surabaya . Balai kota pun diubah menjadi dapur umum yang tiap hari mengolah berbagai rempah asli Indonesia untuk dijadikan minuman seperti pokak dan sari kedelai.
Minuman itu tiap hari dibagikan ke berbagai warga di wilayah masing-masing. Pembagian itu juga disertai dengan telor rebus yang diharapkan bisa menjaga imunitas warga. "Kami terus bagikan sampai sekarang, selain ke orang yang melakukan isolasi mandiri, juga ke para lansia serta kelompok rentan lainnya," kata wali kota yang akrab disapa Risma ini.
(Baca juga: Sinergi Bergizi Bersama UMKM Menjaga Ekonomi )
Kini, perlahan Surabaya mampu keluar dari zona merah penularan COVID-19 . berbagai upaya yang sudah dilakukan, termasuk memberikan asupan makanan bergizi bagi warga kota menjadi pembeda untuk bisa terbebas dari penularan.
Pakar gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Rimbawan menuturkan, kandungan gizi kedelai mengandung protein sebanyak 36-56% dari berat keringnya. Apalagi kedelain merupakan sumber protein tang memiliki kualitas baik. "Beberapa penelitian menunjukan bahwa mengkonsumsi protein kedelai berhubungan dengan penurunan kadar kolesterol," katanya.
Selain itu, kedelai juga mengandung serat yang cukup. Serat yang terkandung dalam kedelai bisa difermentasi oleh bakteri kolon dan membantu pembentukan short-chain fatty acid (SCFAs). "Jadi kandungannya bisa meningkatkan kesehatan usus dan mengurangi risiko kanker kolon," sambungnya.
Tak heran, katanya, kedelai bisa meningkatkan imunitas. Bahkan, kandungan gizi kedelai juga bisa meningkatkan vitamin dan mineral. Semua itu diperoleh dalam kandungan kedelai yang memiliki sifat molibdenum atau berfungsi sebagai kofaktor beberapa jenis enzim penting.
" Kedelai juga membentuk vitamin K yang terkandung dalam legumes atau phyllaquinone yang memegang peranan penting dalam pembekuan darah," jelasnya. (Baca juga: Drama Resolusi Jihad, Penampilan Spesial di Hari Santri )
Konsumsi kedelai juga memberikan manfaat besar bagi kelompok lansia maupun sektor rentan lainnya. Semua itu tak lepas dari efek ketika mengkonsumsi kedelai yang bisa menurunkan risiko osteoporosis pada wanita yang telah mengalami menopause. Para penderita penyakit komorbit juga bisa memaksimalkan kedelai . Apalagi angka kematian COVID-19 disebabkan penyakit penyerta atau komorbid yang diderita.
" Kedelai bisa menurunkan risiko penyakit jantung, risiko kanker payudara dan prostat. Serta mengontrol berat badan dan kesehatan kulit," sambungnya.
Rimabawan juga menjelaskan, informasi tantang kedelai banyak yang salah kaprah. Derasnya arus informasi di media sosial seringkali mengacaukan fakta sesungguhnya dari kedelai dan produk turunan lainnya.
"Harus diakui tempe , salah satu olahan fermentasi dari tempe bergizi tinggi dan terus diminati dunia. Di Jepang saja sudah banyak yang mengembangkan tempe , beberapa negara yang ada di juga ikut mengembangkan," katanya.
(Baca juga: Sentra Pasar Burung dan Batu Akik, Ceruk Ekonomi Baru Eks Lokalisasi Dolly )
Tempe dan tahu bagi masyarakat Indonesia menjadi menu wajib yang harus ada di meja makan. Keduanya menjadi menu utama masyarakat dalam menjaga asupan gizi, harganya yang murah dibanding ikan ataupun daging menjadi salah satu alasan kuat.
Dari kedelai yang dibuat menjadi tempe dan tahu untuk memenuhi gizi masyarakat, muncul banyak generasi di negeri ini yang terus memberikan kontribusi. Mereka tidak pernah berhenti meneruskan estafet kepemimpnan bangsa dengan luhur dan budi pekerti.
(Baca juga: Pindang Tempoyak, Masakan Khas Palembang yang Selalu Jadi Buruan )
Yurianto (51), baru selesai mencuci kedelai dalam ember berukuran raksasa di teras rumahnya yang berada di Jalan Tenggilis Kauman Gang Buntu 27, Surabaya . Sebuah pohon belimbing menjadi atap yang teduh bagi dirinya ketika matahari yang terik di penghujung musim kemarau mencoba merayap masuk ke celah-celah rumahnya.
Ia harus bergegas, lembaran daun pisang yang sudah dibersihkan siap untuk dipotong kecil sesuai ukuran tempe . Beberapa plastik juga sudah dilipat, siap menampung kedelai yang akan dihantarkannya menjadi tempe di malam hari.
Jalan depan rumahnya tak telalu besar, hanya muat menampung dua sepeda motor yang bersisipan. Suara burung Cucak Ijo yang terus berkicau membenamkan persiapan senja yang akan menemaninya membungkus kedelai ke berbagai cetakan tempe .
(Baca juga: Kebun Binatang Surabaya Masih Jadi Jujukan Libur Panjang )
Kampung kecil yang padat penduduk selalu riuh di sore hari, gerbang masuk Kampung Kauman juga tertulis jelas sebagai Kampung Tempe . Deretan rumah kos menjadi bagian besar dari perkampungan masyarakat urban ini. Mereka memulai harapan, datang untuk meniti kesuksesan.
Sudah 20 tahun ini ia menjadi produsen tempe di Surabaya . Melancong jauh dari kampung halamannya yang ada di Cepu untuk mengadu nasib di kota besar. Modal nekat tentu tak cukup bagi dirinya untuk bisa menaklukan Surabaya . "Harus kreatif dan tahan banting," kata Yurianto, Jumat (30/10/2020).
Beruntung ia mengenal kedelai sejak kecil. Saat tiba di Kota Pahlawan, dalam benaknya hanya kepikiran untuk bisa membuka usaha kecil-kecilan sebagai jalan mengadu nasib. Keinginan kuat darinya itu yang membawanya untuk membuka usaha pembuatan tempe.
Usaha itu pun dimulai dari petak kamar kos kecil yang ada di kawasan Rungkut. Dengan tempat yang terbatas, ia harus berbagi tempat tidur dengan tumpukan tempe yang siap dikirimnya esok pagi ke berbagai pasar tradisional di Surabaya . Para pedagang di Pasar Wonokromo, Soponyono, Pabean sampai Keputran menjadi tempat distribusi tempe ke berbagai wilayah di Surabaya .
(Baca juga: Libur Panjang, Tim Swab Hunter Sisir Tempat Wisata dan Ruang Publik )
Kegigihan itu membawanya terus mendulang pundi-pundi rupiah. Tak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, celengan ayamnya yang diletakan di atas lemari juga semakin berisi. Kebiasaannya menabung sejak kecil membawa berkah tersendiri.
Warga Surabaya sendiri memiliki kebiasaan untuk menyantap hidangan tempe di meja makannya. Berbagai olahan dilakukan untuk menambah kebutuhan gizi keluarga mereka. "Kiriman tempe juga ke berbagai warung nasi, jadi tak hanya ke pasar saja," ucapnya.
Ketekunan ini pun membuahkan hasil, ia akhirnya bisa mengembangkan bisnis tempe lebih besar ketika bisa menyewa rumah yang ada di ujung gang. Produksinya bisa lebih banyak dan mengajak para tetangganya untuk membantu memproduksi tempe .
Jalan rejeki itu pun terus berimbas, kemampuan warga di Tenggilis untuk bisa membuat tempe menjadikan mereka terus bertahan di tengah gempita kelompok urban yang semakin banyak di Surabaya .
(Baca juga: Gombloh, Ada Warisan Kemanusiaan dan Nasionalisme dalam Lirik Lagumu )
Sore di Tenggilis, di Kampung Kauman yang berada di pemukiman padat penduduk, senja sudah berbaur dengan aroma kedelai yang hangat. Terbawa angin yang berhembus pelan ke berbagai rumah-rumah warga. Dari sana ekonomi pun terus bertumbuh.
Kampung Kauman di Tenggilis menjadi sentra pembuatan tempe berskala besar di Surabaya . Mereka memasok kebutuhan gizi keluarga-keluarga di Surabaya melalui berbagai olahan tempe . "Sehari setidaknya menghabiskan 100 kg kedelai," jelasnya.
Ia kadang bersyukur ketika harga kedelai bisa stabil. Harga jual tempe nya bisa terus ditekan di kisaran Rp750 untuk varian kecil dan Rp1.500 untuk ukuran besar. Di pasar, harga tempenya dijual Rp1.000 dan yang berukuran besar Rp2.000.
Bagi warga di Kampung Tempe , mereka juga menaikan level kedelai dan tempe menjadi kudapan yang bernilai tinggi. Dari tangan gurih para ibu, keripik tempe nan lezat dihasilkan.
Nur Hasan (48), produsen keripik tempe menuturkan, dirinya tak hanya memproduksi tempe saja setiap hari, tapi juga makanan yang digemari dan bisa dibawa kemana-mana oleh para warga. Makanya, sejak 2012 ia memperlebar usahanya dengan membuka produksi keripik tempe .
(Baca juga: Nih, 5 Tempat Wisata di Surabaya Aman dan Cocok Didatangi saat Libur Panjang )
Pasar kedelai yang begitu lebar benar-benar dimanfaatkannya. Setiap hari, dirinya bisa menghabiskan 250-300 kilogram kedelai yang diolah menjadi tempe dan keripik tempe . "Keripik permintaannya terus naik, banyak yang suka dari anak muda sampai orang tua," jelasnya.
Sayap usaha itu pun terus berkembang ketika kelompok milenial ikut berkolaborasi bersama. Mereka menjadi jembatan bagi para produsen tempe untuk menciptakan produk olahan lainnya yang berbahan kedelai.
Mereka pun memasuki ruang-ruang digital untuk bisa memasarkan produk keripik tempe . Dengan kapasitas produksi yang terus ditambah, pengemasan yang rapi serta pasar-pasar baru di berbagai kalangan umur. "Semua bisa merasakan enaknya tempe dengan berbagai olahan makanan, termasuk camilan yang bisa dibawa kemana saja," katanya.
Imunitas di Tengah Pandemi
COVID-19 mengubah banyak landskap kehidupan masyarakat. Semua sektor ikut terdampak, dan kesehatan menjadi harga mahal untuk terus dijaga. Di tengah pandemi ini, imunitas menjadi modal utama untuk bisa keluar sebagai pemenang dalam perang melawan COVID-19 .
(Baca juga: Hari Sumpah Pemuda, Risma Minta Pemuda Melawan Kemiskinan )
Berbagai olahan makanan maupun minuman pun diproduksi untuk bisa dikonsumsi dalam rangka meningkatkan imunitas. Dengan gizi yang cukup, seseorang memiliki modal kuat untuk mengusir virus. Kolaborasi dengan kebiasaan menjaga kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan serta terus menjaga jarak bisa menjadi kunci utama.
Berbagai lompatan pun dilakukan. Wali Kota Surabaya , Tri Rismaharini sempat kelimpungan ketika banyaknya angka penularan COVID-19 di Surabaya . Epicentrum virus yang awalnya di Jakarta pindah ke Surabaya . Balai kota pun diubah menjadi dapur umum yang tiap hari mengolah berbagai rempah asli Indonesia untuk dijadikan minuman seperti pokak dan sari kedelai.
Minuman itu tiap hari dibagikan ke berbagai warga di wilayah masing-masing. Pembagian itu juga disertai dengan telor rebus yang diharapkan bisa menjaga imunitas warga. "Kami terus bagikan sampai sekarang, selain ke orang yang melakukan isolasi mandiri, juga ke para lansia serta kelompok rentan lainnya," kata wali kota yang akrab disapa Risma ini.
(Baca juga: Sinergi Bergizi Bersama UMKM Menjaga Ekonomi )
Kini, perlahan Surabaya mampu keluar dari zona merah penularan COVID-19 . berbagai upaya yang sudah dilakukan, termasuk memberikan asupan makanan bergizi bagi warga kota menjadi pembeda untuk bisa terbebas dari penularan.
Pakar gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Rimbawan menuturkan, kandungan gizi kedelai mengandung protein sebanyak 36-56% dari berat keringnya. Apalagi kedelain merupakan sumber protein tang memiliki kualitas baik. "Beberapa penelitian menunjukan bahwa mengkonsumsi protein kedelai berhubungan dengan penurunan kadar kolesterol," katanya.
Selain itu, kedelai juga mengandung serat yang cukup. Serat yang terkandung dalam kedelai bisa difermentasi oleh bakteri kolon dan membantu pembentukan short-chain fatty acid (SCFAs). "Jadi kandungannya bisa meningkatkan kesehatan usus dan mengurangi risiko kanker kolon," sambungnya.
Tak heran, katanya, kedelai bisa meningkatkan imunitas. Bahkan, kandungan gizi kedelai juga bisa meningkatkan vitamin dan mineral. Semua itu diperoleh dalam kandungan kedelai yang memiliki sifat molibdenum atau berfungsi sebagai kofaktor beberapa jenis enzim penting.
" Kedelai juga membentuk vitamin K yang terkandung dalam legumes atau phyllaquinone yang memegang peranan penting dalam pembekuan darah," jelasnya. (Baca juga: Drama Resolusi Jihad, Penampilan Spesial di Hari Santri )
Konsumsi kedelai juga memberikan manfaat besar bagi kelompok lansia maupun sektor rentan lainnya. Semua itu tak lepas dari efek ketika mengkonsumsi kedelai yang bisa menurunkan risiko osteoporosis pada wanita yang telah mengalami menopause. Para penderita penyakit komorbit juga bisa memaksimalkan kedelai . Apalagi angka kematian COVID-19 disebabkan penyakit penyerta atau komorbid yang diderita.
" Kedelai bisa menurunkan risiko penyakit jantung, risiko kanker payudara dan prostat. Serta mengontrol berat badan dan kesehatan kulit," sambungnya.
Rimabawan juga menjelaskan, informasi tantang kedelai banyak yang salah kaprah. Derasnya arus informasi di media sosial seringkali mengacaukan fakta sesungguhnya dari kedelai dan produk turunan lainnya.
"Harus diakui tempe , salah satu olahan fermentasi dari tempe bergizi tinggi dan terus diminati dunia. Di Jepang saja sudah banyak yang mengembangkan tempe , beberapa negara yang ada di juga ikut mengembangkan," katanya.
(Baca juga: Sentra Pasar Burung dan Batu Akik, Ceruk Ekonomi Baru Eks Lokalisasi Dolly )
Tempe dan tahu bagi masyarakat Indonesia menjadi menu wajib yang harus ada di meja makan. Keduanya menjadi menu utama masyarakat dalam menjaga asupan gizi, harganya yang murah dibanding ikan ataupun daging menjadi salah satu alasan kuat.
Dari kedelai yang dibuat menjadi tempe dan tahu untuk memenuhi gizi masyarakat, muncul banyak generasi di negeri ini yang terus memberikan kontribusi. Mereka tidak pernah berhenti meneruskan estafet kepemimpnan bangsa dengan luhur dan budi pekerti.
(eyt)