Dana BOS Diduga Dipotong, Kepala Sekolah Wadul LPBHNU Kabupaten Kediri
loading...
A
A
A
KEDIRI - Puluhan kepala madrasah di bawah Kementerian Agama ( Kemenag) Kabupaten Kediri, Jawa Timur, mendatangi Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) Nahdlatul Ulama (NU) setempat.
Para kepala sekolah ini mengadukan kebijakan penghematan dan penerapan kuota siswa penerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) madrasah di era pandemi COVID-19 ini.
Mereka diterima ketua dan sekretaris LPBHNU. Guru dan kepala sekolah ini mengaku dirugikan atas kebijakan tersebut. Alasannya, dengan kebijakan itu berdampak pada jumlah penerima BOS di lingkup sekolahnya menjadi berkurang hingga 50 persen.
Kepala MTS Al Falah Kecamatan Badas, Mohammad Toha Hamid mengatakan, kebijakan baru tersebut berlaku pada pencairan BOS tahap pertama 2020. Dengan alasan penghematan, dana BOS untuk siswa di tingkat Raudlatul Athfal (RA) atau MI, Tranawiyah, dan Aliyah dipotong sebesar Rp100 - 200 ribu per siswa.
Sehingga dengan kebijakan ini menjadi keluh kesah para lembaga sekolah. Untuk BOS siswa MI semula Rp600 ribu menjadi Rp400 ribu per anak per tahun. BOS siawa MI dari Rp900 ribu menjadi Rp800 ribu. Sedangkan siswa MTS dari Rp1,1 juta menjadi Rp1 juta dn Madrasah Aliyah dari Rp5 juta menjadi Rp 4 juta.
(Baca juga: DPR Cecar Menag Soal Pemotongan BOS Madrasah Rp100.000 per Siswa )
Toha menambahkan, jumlah siswa RA sampai MA di Kabupaten Keediri sebanyak 77.686 orang. Maka total dana BOS yang dipangkas mencapai Rp7 miliar.
Sementara itu, pemotongan dana BOS ini berdasarkan SK Dirjen Pendis Kemenag RI. Tetapi karena aturan itu telah dianulir, kemenag diharapkan segera mengembalikan BOS berbasis sisw. "Artinya semua siswa harus mendapat kuota sesuai alokasi," ungkapnya.
Belum selesai persoalan pemotongan dana BOS, muncul kebijakan baru penerapan siswa penerima BOS. Menggunakan rumus tertentu menyebabkan jumlah penerima bantuan setiap lembaga berkurang hingga 50 persen. Alasan pemotongan sama, yaitu menyesuaikan DIPA dari pusat.
Tahun ini, di periode Juli-Desember sangat berbeda dari sebelumnya. Pada periode Januari-Juni masih utuh, semua siswa dapat dana BOS.
(Baca juga: Tiga Pejabat Pemkot Probolinggo Dicopot, Nasdem Angkat Bicara )
Seperti di MTS Al Falah Badas, Toha mencontohkan, dari jumlah peserta didik 172 orang, kini hanya dapat kuota 78 siswa atau berkurang 94 siswa. Kemudian di MTS Al Hikmah Purwoasri, dari 1.100 siswa hanya dapat 450 siswa.
Akibat dari berkurangnya kuota dana BOS ini, lembaga sekolah mengalami kesulitan operasional. Pasalnya, dana BOS memang berbasis siswa, tetapi pengelolaannya dilaksanakan sekolah. Digunakan untuk gaji guru swasta. Karena banyak yang belum sertifikasi. Kemudian pengadaan lain-lain, seperti sarana prasarana, bayar tagihan listrik dan internet.
Ketua LPBHNU Kabupaten Kediri, Imam Moklas mengatakan, simulasi pembagian kuota per lembaga BOP/BOS tahap II 2020 tersebut menggunakan rumusan tertentu. Data yang dihimpun dari lembaga sekolah terdampak adalah jumlah siswa sesuai ketersediaan anggaran dibagi jumlah siswa riil se-Kabupaten Kediri dikalikan siswa riil lembaga.
Ironisnya, kebijakan pembagian kuota BOS ini diduga belum memiliki payung hukum yang jelas. Pihaknya telah menanyakan payung hukumnya ke kemenag Kabupaten Kediri. "Apakah ada regulasinya? Ternyata tidak ada regulasi," ujar Imam Moklas. Anehnya, ini hanya berlaku untuk sekolah swasta di bawah naungan Kemenag Kabupaten Kediri. Untuk madrasah negeri utuh, sesuai jumlah siswa.
(Baca juga: Malam Senyap Tanpa Kunang-kunang di Blitar Sepanjang 1965 )
"Kami menyayangkan kebijakan tersebut," tuturnya. Menurutnya, pemotongan dana BOS dan pembagian kuota BOS bersifat diskriminatif. Kebijakan itu hanya berlaku untuk siswa dan lembaga madrasah swasta. Pihaknya memberi ultimatum agar kemenag segera mengembalikannya karena tidak ada payung hukumnya.
Pihaknya juga mempelajari, ternyata ada 39.803 siswa yang akhirnya tidak dapat dana BOS. Di aturan Dirjen Kementerian Pendidikan, penyaluran dan pencairan BOS tahap II Juni 2020 sesuai jumlah peserta didik 2020-2021.
Imam Moklas juga akan mengonfirmasi semua itu ke kemenag. Jika tidak dipenuhi, akan menempuh jalur hukum.
Para kepala sekolah ini mengadukan kebijakan penghematan dan penerapan kuota siswa penerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) madrasah di era pandemi COVID-19 ini.
Mereka diterima ketua dan sekretaris LPBHNU. Guru dan kepala sekolah ini mengaku dirugikan atas kebijakan tersebut. Alasannya, dengan kebijakan itu berdampak pada jumlah penerima BOS di lingkup sekolahnya menjadi berkurang hingga 50 persen.
Kepala MTS Al Falah Kecamatan Badas, Mohammad Toha Hamid mengatakan, kebijakan baru tersebut berlaku pada pencairan BOS tahap pertama 2020. Dengan alasan penghematan, dana BOS untuk siswa di tingkat Raudlatul Athfal (RA) atau MI, Tranawiyah, dan Aliyah dipotong sebesar Rp100 - 200 ribu per siswa.
Sehingga dengan kebijakan ini menjadi keluh kesah para lembaga sekolah. Untuk BOS siswa MI semula Rp600 ribu menjadi Rp400 ribu per anak per tahun. BOS siawa MI dari Rp900 ribu menjadi Rp800 ribu. Sedangkan siswa MTS dari Rp1,1 juta menjadi Rp1 juta dn Madrasah Aliyah dari Rp5 juta menjadi Rp 4 juta.
(Baca juga: DPR Cecar Menag Soal Pemotongan BOS Madrasah Rp100.000 per Siswa )
Toha menambahkan, jumlah siswa RA sampai MA di Kabupaten Keediri sebanyak 77.686 orang. Maka total dana BOS yang dipangkas mencapai Rp7 miliar.
Sementara itu, pemotongan dana BOS ini berdasarkan SK Dirjen Pendis Kemenag RI. Tetapi karena aturan itu telah dianulir, kemenag diharapkan segera mengembalikan BOS berbasis sisw. "Artinya semua siswa harus mendapat kuota sesuai alokasi," ungkapnya.
Belum selesai persoalan pemotongan dana BOS, muncul kebijakan baru penerapan siswa penerima BOS. Menggunakan rumus tertentu menyebabkan jumlah penerima bantuan setiap lembaga berkurang hingga 50 persen. Alasan pemotongan sama, yaitu menyesuaikan DIPA dari pusat.
Tahun ini, di periode Juli-Desember sangat berbeda dari sebelumnya. Pada periode Januari-Juni masih utuh, semua siswa dapat dana BOS.
(Baca juga: Tiga Pejabat Pemkot Probolinggo Dicopot, Nasdem Angkat Bicara )
Seperti di MTS Al Falah Badas, Toha mencontohkan, dari jumlah peserta didik 172 orang, kini hanya dapat kuota 78 siswa atau berkurang 94 siswa. Kemudian di MTS Al Hikmah Purwoasri, dari 1.100 siswa hanya dapat 450 siswa.
Akibat dari berkurangnya kuota dana BOS ini, lembaga sekolah mengalami kesulitan operasional. Pasalnya, dana BOS memang berbasis siswa, tetapi pengelolaannya dilaksanakan sekolah. Digunakan untuk gaji guru swasta. Karena banyak yang belum sertifikasi. Kemudian pengadaan lain-lain, seperti sarana prasarana, bayar tagihan listrik dan internet.
Ketua LPBHNU Kabupaten Kediri, Imam Moklas mengatakan, simulasi pembagian kuota per lembaga BOP/BOS tahap II 2020 tersebut menggunakan rumusan tertentu. Data yang dihimpun dari lembaga sekolah terdampak adalah jumlah siswa sesuai ketersediaan anggaran dibagi jumlah siswa riil se-Kabupaten Kediri dikalikan siswa riil lembaga.
Ironisnya, kebijakan pembagian kuota BOS ini diduga belum memiliki payung hukum yang jelas. Pihaknya telah menanyakan payung hukumnya ke kemenag Kabupaten Kediri. "Apakah ada regulasinya? Ternyata tidak ada regulasi," ujar Imam Moklas. Anehnya, ini hanya berlaku untuk sekolah swasta di bawah naungan Kemenag Kabupaten Kediri. Untuk madrasah negeri utuh, sesuai jumlah siswa.
(Baca juga: Malam Senyap Tanpa Kunang-kunang di Blitar Sepanjang 1965 )
"Kami menyayangkan kebijakan tersebut," tuturnya. Menurutnya, pemotongan dana BOS dan pembagian kuota BOS bersifat diskriminatif. Kebijakan itu hanya berlaku untuk siswa dan lembaga madrasah swasta. Pihaknya memberi ultimatum agar kemenag segera mengembalikannya karena tidak ada payung hukumnya.
Pihaknya juga mempelajari, ternyata ada 39.803 siswa yang akhirnya tidak dapat dana BOS. Di aturan Dirjen Kementerian Pendidikan, penyaluran dan pencairan BOS tahap II Juni 2020 sesuai jumlah peserta didik 2020-2021.
Imam Moklas juga akan mengonfirmasi semua itu ke kemenag. Jika tidak dipenuhi, akan menempuh jalur hukum.
(msd)