Pandemi COVID-19, Money Politics Diprediksi Berjaya di Pilkada
loading...
A
A
A
SURABAYA - Pilkada serentak yang digelar 9 Desember mendatang menjadikan peluang berkibarnya kembali money politics di tengah pandemi COVID-19. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian, Penelitian, Pelatihan dan Pendampingan Jhon Consulindo, Lasiono menuturkan, selama ini transaksi politik uang memang telah menjadi rahasia umum dalam proses demokrasi dan politik elektoral di Indonesia.
“Tapi politik uang di era pandemi COVID-19 lebih mengerikan lagi. Selama pandemi ini telah melahirkan begitu banyak krisis di masyarakat. Secara umum, ada dua krisis besar yakni krisis kesehatan dan ekonomi. Kedua krisis ini melahirkan dampak nyata di masyarakat,” kata Lasiono, Kamis (24/9/2020). (Baca: Politik Uang di Pilkada, Pemilih Lebih Pilih Duit Dibanding Barang)
Ia melanjutkan, kondisi masyarakat semakin terjepit sejak pandemi COVID-19 datang. Terutama mereka yang bergantung pada pendapatan ekonomi harian yang kini masuk dalam kelompok rentan. “Akibat pandemi, ekonomi masyarakat melemah. Itu artinya politik uang menjadi praktik yang lebih rawan untuk terjadi pada Pilkada kali ini,” ungkapnya.
Dalam kondisi tersebut, katanya, di saat masyarakat memerlukan bantuan dan sulitnya keuangan, lalu muncul kekuatan baru untuk memberikan uang. Tapi sebagai gantinya, mereka diminta untuk mendukung kepentingan politiknya. "Sebelum COVID-19 saja politik uang marak terjadi, apalagi saat ini akan sangat potensial terjadi lebih masif," jelasnya.
Lasiono menambahkan, pada era pandemi ini ada dua kebutuhan bertemu. Satu sisi masyarakat membutuhkan uang, di sisi lain ada kepentingan politik mengintai. "Untuk itu peran penting penegak hukum yang berwenang sangat diperlukan untuk memantau dan menindak lebih serius potensi politik uang tersebut,” ungkapnya.
Parahnya, katanya, adanya politik uang ini karena lemahnya kaderisasi dalam parpol untuk mengusung calon-calon berintegritas dan kompeten. Dari setiap pagelaran Pilkada jarang muncul kandidat yang benar-benar telah menjalani proses pengkaderan yang matang serta disiapkan untuk menjadi pemimpin rakyat.
Kebanyakan yang muncul adalah tokoh-tokoh karbitan yang berhasrat untuk menjadi kepala daerah. “Karena tidak memiliki modal sosial, ketokohan, dan modal politik mengharuskan mereka harus bertransaksi politik uang dengan pemilih dan kelompok masyarakat,” ucapnya. (Baca: Soal Politik Uang di Pilkada, Mahfud MD Bilang Ada yang Eceran dan Borongan)
Lasiono kemudian menunjukan bukti nyata yang bisa dilihat dalam Pilkada 2020. Sebagian besar banyak tokoh yang dicalonkan partai politik merupakan kader karbitan. Praktik politik uang dalam kontestasi politik elektoral era pandemi COVID-19 juga tak lepas dari efek sistem pemilu yang masih sama.
“Sistem ini membuat para kandidat harus berlomba-lomba meraih suara sebanyak-banyaknya dengan menggunakan berbagai cara. Dan politik uang dianggap adalah cara yang paling ampuh dan efektif untuk meraih suara,” jelasnya.
“Tapi politik uang di era pandemi COVID-19 lebih mengerikan lagi. Selama pandemi ini telah melahirkan begitu banyak krisis di masyarakat. Secara umum, ada dua krisis besar yakni krisis kesehatan dan ekonomi. Kedua krisis ini melahirkan dampak nyata di masyarakat,” kata Lasiono, Kamis (24/9/2020). (Baca: Politik Uang di Pilkada, Pemilih Lebih Pilih Duit Dibanding Barang)
Ia melanjutkan, kondisi masyarakat semakin terjepit sejak pandemi COVID-19 datang. Terutama mereka yang bergantung pada pendapatan ekonomi harian yang kini masuk dalam kelompok rentan. “Akibat pandemi, ekonomi masyarakat melemah. Itu artinya politik uang menjadi praktik yang lebih rawan untuk terjadi pada Pilkada kali ini,” ungkapnya.
Dalam kondisi tersebut, katanya, di saat masyarakat memerlukan bantuan dan sulitnya keuangan, lalu muncul kekuatan baru untuk memberikan uang. Tapi sebagai gantinya, mereka diminta untuk mendukung kepentingan politiknya. "Sebelum COVID-19 saja politik uang marak terjadi, apalagi saat ini akan sangat potensial terjadi lebih masif," jelasnya.
Lasiono menambahkan, pada era pandemi ini ada dua kebutuhan bertemu. Satu sisi masyarakat membutuhkan uang, di sisi lain ada kepentingan politik mengintai. "Untuk itu peran penting penegak hukum yang berwenang sangat diperlukan untuk memantau dan menindak lebih serius potensi politik uang tersebut,” ungkapnya.
Parahnya, katanya, adanya politik uang ini karena lemahnya kaderisasi dalam parpol untuk mengusung calon-calon berintegritas dan kompeten. Dari setiap pagelaran Pilkada jarang muncul kandidat yang benar-benar telah menjalani proses pengkaderan yang matang serta disiapkan untuk menjadi pemimpin rakyat.
Kebanyakan yang muncul adalah tokoh-tokoh karbitan yang berhasrat untuk menjadi kepala daerah. “Karena tidak memiliki modal sosial, ketokohan, dan modal politik mengharuskan mereka harus bertransaksi politik uang dengan pemilih dan kelompok masyarakat,” ucapnya. (Baca: Soal Politik Uang di Pilkada, Mahfud MD Bilang Ada yang Eceran dan Borongan)
Lasiono kemudian menunjukan bukti nyata yang bisa dilihat dalam Pilkada 2020. Sebagian besar banyak tokoh yang dicalonkan partai politik merupakan kader karbitan. Praktik politik uang dalam kontestasi politik elektoral era pandemi COVID-19 juga tak lepas dari efek sistem pemilu yang masih sama.
“Sistem ini membuat para kandidat harus berlomba-lomba meraih suara sebanyak-banyaknya dengan menggunakan berbagai cara. Dan politik uang dianggap adalah cara yang paling ampuh dan efektif untuk meraih suara,” jelasnya.
(don)