YLKI Tak Setuju BPOM Hanya Larang Kental Manis untuk Anak

Kamis, 24 September 2020 - 14:57 WIB
loading...
YLKI Tak Setuju BPOM Hanya Larang Kental Manis untuk Anak
Ilustrasi susu kental manis. Foto/Dok
A A A
BOGOR - Peraturan Kepala (Perka) Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM ) Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan menyebutkan bahwa Susu Kental Manis (SKM) tidak untuk menggantikan air susu ibu (ASI) sehingga tidak cocok untuk bayi sampai usia 12 bulan.

Batasan usia hingga 12 bulan ini dipertanyakan banyak pihak, termasuk Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). (Baca juga: Hati-hati! Klaim Herbal Sembuhkan Covid-19 Marak di Pasaran, Cek Saja ke BPOM )

“Rekomendasi menyusui yang diwajibkan itu adalah dua tahun bukan setahun. Waktu itu dalam pertemuan dengan BPOM di uji publik dan rekomendasi peraturan itu, YLKI sudah memberikan masukan agar itu dibuat jangan setahun tapi dua tahun. Banyak juga yang menentang waktu itu, tidak hanya YLKI saja,” kata Peneliti YLKI Natalya Kurniawati, dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Kamis (24/9/2020). (Baca juga: Konsumsi Susu Kental Manis Dinilai Pengaruhi Asupan Gizi Anak )

Menurut Natalya, alasan BPOM mencantumkan usia yang dilarang itu hingga 12 bulan adalah karena adanya rekomendasi dari Kemenkes bahwa anak yang sudah berusia 12 bulan atau setahun itu sudah bisa diberikan makan makanan keluarga.

“Tapi kalaupun setelah setahun anak bisa dibantu susu lain, tapi itu bukan susu kental manis. SKM ini tidak bisa diberikan sebagai pengganti susu. Tapi kalau mau makan puding dicampur SKM itu baru boleh,” kata Natalya yang juga lulusan Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ini.

Natalya mengatakan, YLKI termasuk yang tidak setuju SKM ini disebut susu. Menurutnya, yang menandakan itu susu dan bergizi adalah kandungan proteinnya . Sedang produk yang layak diberikan untuk anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan adalah gizinya harus benar-benar seimbang dan tinggi protein.

“Tapi dari penelitian kami, kandungan gula dan protein dalam SKM itu jomblang. Dalam satu kaleng SKM, itu jumlah gulanya mencapai 51%, sedang kandungan proteinnya tidak lebih dari 6,5%. Itu kan sangat jomblang, seperti gula disusupi, bukan susu yang disusupi. Itu yang membuat YLKI sangat konsen untuk mendukung pelarangan SKM dikonsumsi anak-anak,” kata dia.

Menurut Natalya, khusus SKM ini memang peraturannya harus dibuat lebih ketat lagi. Peraturan mengenai SKM ini harus merupakan kolaborasi dari berbagai pihak. Di mana harus dibuat pedoman bahwa gizi seimbang itu seperti apa, masyarakat yang mengambil asupan gizi dari pangan olahan seperti apa, kandungan gula itu maksimal berapa, dan harus dijelaskan sumbernya dari mana saja. Kementerian Kesehatan RI merekomendasikan batasan konsumsi gula per orang per hari yaitu 50 gram gula (4 sendok makan).

Tapi Natalya mengingatkan kandungan gula itu harus dihitung dari semua makanan yang mengandung gula yang dikonsumsi setiap harinya. YLKI menyarankan kandungan gula yang drekomendasikan itu sebaiknya yang berasal dari pangan alami saja.

“Kalau itu saja sudah cukup, sebetulnya tidak diperlukan lagi dari makanan-makanan olahan yang justru kandungan gulanya sangat tinggi seperti kental manis. Jadi yang perlu ditekankan di masyarakat itu sebetulnya adalah, bagaimana masyarakat menghitung kandungan gula yang dikonsumsinya sehingga perlu diperhatikan pola makannya,” kata dia.

Natalya juga menyampaikan mengenai adanya fenomena asimetris informasi yang sebaiknya harus diterapkan dalam kasus SKM ini. BPOM memang sudah mengatur bahwa yang diregristasikan itu seperti apa, manfaatnya seperti apa, dan peruntukannya seperti apa.

Dia menyebutkan kelemahan peraturan BPOM itu adalah tidak ada bentuk teknisnya di situ seperti apa. Ini yang membuat si pelaku usaha tidak sulit untuk mengikuti apa yang diatur dalam Peraturan BPOM itu. Misalnya membuat suatu gambaran yang baru lagi dalam promosinya mereka. Secara peraturan, promosi yang dibuat itu tidak melanggar, yaitu dengan tidak menampilkan anak-anak dalam gambar atau visualisasi iklan. Namun tetap saja iklan yang dibuat itu tidak etis.

Karenanya, YLKI mendorong agar BPOM dalam membuat peraturan itu harus juga memperhatikan masyarakat akar rumput bukan hanya masyarakat yang sudah teredukasi. Masyarakat Indonesia itu lebih dari 40%-nya belum benar-benar teredukasi, punya penghasilan rendah dan bergantung kepada upah harian, serta tidak menentu ekonominya. “Mereka ini yang sebenarnya tidak tersentuh edukasi yang secara formal jarang datang ke Posyandu,” kata Natalya.

Dia melihat Peraturan BPOM itu secara teknik kurang bisa mencakup bagaimana menerapkannya sesuai dengan apa yang ada di pemikiran masyarakat, khususnya kalangan akar rumput. Peraturan BPOM mengenai bagaimana untuk mengonsumsi SKM itu belum sejalan dengan aturan ketat yang terkait iklan dan promosi di masyarakat. Maksudnya, regulasi itu harus bisa menyentuh ke ranah teknis.

Menurut Natalya, kalau hanya membuat peraturan tidak boleh untuk pengganti ASI dan anak 12 bulan ke bawah, itu gampang bagi pengusaha untuk tinggal menempelkannya di label kemasan. Mereka tahu bahwa jarang konsumen yang membaca label tersebut. Saya melihat BPOM kreativitasnya kurang bermain ketika membuat suatu regulasi. Mereka kalah kreatif dengan tim promosi pelaku usaha,” ucapnya.

“Harusnya BPOM juga harus bisa lebih kreatif lagi dalam mengeluarkan peraturan terkait SKM ini. Misalnya menjalin suara lebih ke berbagai Universitas untuk melihat bagaimana tanggapan mereka terhadap SKM itu,” kata Natalya.
(nth)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1161 seconds (0.1#10.140)