Imunitas Sosial dan Kriminalitas Saat Pandemi

Senin, 04 Mei 2020 - 15:01 WIB
loading...
A A A
Kondisi ini bisa diperparah dengan disinformasi. Kasus penolakan beberapa jenazah pasien covid-19 di beberapa daerah menjadi buktinya. Penolakan terjadi diantaranya karena salah persepsi dan sikap overphobia.

Masyarakat mulai acuh dengan lingkungan sosialnya. Sebagian masyarakat sudah tidak mengenal tetangganya. Juga tidak peduli dan tidak mau tahu dengan kondisi lingkungan sekitanya.
Jarak sosial semakin lebar yang dicirikan dengan secara fisik bangunan rumah – rumah semakin berdekatan, tetapi hubungan sosialnya justru semakin jauh. Kemajuan teknologi ikut andil memperbesar jarak sosial.

Sebagian masyarakat juga mulai memiliki karakter impersonal yang berarti mulai nyaman hidup dalam dunianya sendiri. Itulah, sebagian diantara gejala melemahnya imunitas sosial.
Ketika imunitas sosial itu melemah, maka berbagai bentuk kejahatan dengan mudah masuk dalam ruang – ruang sosial masyarakat. Padahal, dalam hal ketertiban dan keamanan, di masa lampau masyarakat memiliki kemampuan reproduksi imunitas sosial yang luar biasa.

Masyarakat punya sistem pengamanan swadaya. Keberadaan pranata sosial berupa Pos Keamanan Lingkungan (Poskamling), Kelompok Sadar Lingkungan (Pokdarling), ronda malam, atau sistem jaga secara bergilir adalah bukti kita telah memiliki imunitas sosial yang kuat.

Pranata sosial itu tidak hanya membantu aparat keamanan, tetapi juga secara psikologis membuat minder para pelaku kejahatan. Seperti pesan pembaca acara kriminal di sebuah stasiun televisi, kejahatan muncul bukan hanya karena niat pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan. Kesempatan inilah yang perlu diminimalisir dengan memperkuat imunitas sosial.

Solidaritas Kolektif
Meski telah menggejala, kita tentu tidak bisa menggeneralisasi semua masyarakat mengalami degradasi imunitas sosial. Sebagian masyarakat juga masih ada yang berkarakter paguyuban (gemeinschaft).

Pola kehidupannya masih mengarah ke pedesaan, ikatan kekeluargaannya kuat, jarak sosialnya dekat, dan ada ikatan emosional satu dengan yang lain. Hanya saja ketika gejala sosial ini telah teridentifikasi ada baiknya kita melaksanakan gerakan antisipasi.

Bentuk konkrit antisipasi itu berupa upaya memperkuat solidaritas sosial secara kolektif. Saat pandemi melanda terbukti masyarakat berupaya membentuk keseimbangan sosial (social equilibrium) baru. Misalnya dengan melakukan penyemprotan disinfektan mandiri, menggalang dana sosial, mengumpulkan sembako, dan membagikan masker. Hal ini sangat membantu kinerja aparatur pemerintah. Sekaligus bukti bahwa imunitas sosial untuk masih ada.

Jika pada imunitas kesehatan dan ekonomi masyarakat bergerak, maka imunitas sosial dalam mengantisipasi kriminalitas juga perlu ditumbukan. Semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, yang biasa kita sebut dengan patologi sosial disebabkan oleh adanya perkembangan yang tidak seimbang dari macam-macam bagian kebudayaan, sehingga melahirkan kesenjangan sosial, kelambatan kultural (culture lag), disorganisasi sosial, hingga disintegrasi sosial.

Sebagai solusinya, perlu kesadaran kolektif dari semua pihak untuk mencegah rangsangan bagi orang normal menjadi sakit sosial (sosiopatik). Mencegah kejahatan dalam jangka pendek dapat dilaksanakan dengan cara – cara kuratif. Akan tetapi, mencegah kejahatan, dalam arti jangka panjang adalah dengan menciptakan lingkungan sosial yang berimunitas kuat.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2194 seconds (0.1#10.140)