Saat Kenangan Lebih Penting dari Keselamatan Bangsa
loading...
A
A
A
Ahmad Zainul Hamdi
(Direktur Moderate Muslim Insitute, UIN Sunan Ampel Surabaya)
Saat ini kita dibuat masygul dengan peristiwa kerumunan di sebuah rumah makan cepat saji di Jakarta. Rumah makan yang sudah berusia puluhan tahun ini beberapa hari lalu mengumumkan akan tutup selamanya. Kabar penutupan itu segera disambut dengan kesedihan mungkin oleh ribuan orang yang dalam hidupnya menorehkan kenangan mendalam di situ.
Rumah makan itu mungkin bukan sebuah icon Ibu Kota, namun pada kalangan tertentu, terutama yang sering menghabiskan waktunya untuk menikmati junk food sambil menikmati malam, mungkin bersama kekasihnya, mungkin bersama gerombolan temannya, rumah makan itu adalah salah satu situs bersejarah. Bagi mereka yang menembak gebetannya di situ, baik diterima maupun ditolak, jelas tempat itu memiliki sejarah dalam hidupnya. Bagi mereka yang putus dengan pacarnya di rumah makan dengan menu utama ayam goreng itu, jelas tempat itu mematrikan sebuah kenangan yang mungkin sulit untuk dilupakan.
Tidak heran, ketika manajemen mengumumkan secara terbuka bahwa rumah makan itu akan tutup selamanya, banyak hati yang tetiba layu. Mungkin juga hingga meneteskan air mata. Setiap tempat yang di situ sempat terlukis keindahan di masa lalu dalam kehidupan seseorang, selalu ingin dikenang. Bahkan, kenangan pahit pun sesekali perlu ditertawakan dengan cara melihat ulang tempat di mana kenangan itu pernah tercipta. Salah satu cara mengenangnya adalah dengan sesekali mengunjunginya. Bahkan, melewatinya saja sudah cukup karena desir di dada adalah peristiwa jiwa yang sensasinya tak kalah indahnya.
Tak ada yang salah dengan orang merayakan kenangan. Sama persis dengan tidak bersalahnya mereka yang ingin menikmati kesucian Ramadan dengan melaksanakan jamaah shalat tarawih. Kesemarakan Ramadan di masjid juga adalah sebuah kenangan yang ingin selalu diulang oleh banyak orang. Salah satu yang didamba dari banyak orang dari Ramadan adalah mengulangi kenangan-kenangan indah yang tertoreh di sana setia tahun. Berangkat ke masjid bersama kawan-kawan, keriangan sepanjang jalan, tadarus al-Qur’an dan penganan yang disajikan untuk dinikmati siapa saja, semua itu adalah kenangan yang tidak kalah asyiknya.
Saat tiba-tiba masjid “ditutup” karena sebuah virus hingga mereka tidak punya kesempatan untuk mengulang kenangan-kenangan itu, pasti itu memedihkan. Banyak yang nekad tetap berangkat ke masjid karena tidak rela melepas keindahan yang sudah terlanjur terpatri di dalam hati. Hadangan polisi pun harus dihadapi, pagar pun dielompati, agar bisa menikmati kenangan dan keindahan.
Sekali lagi, tidak ada salahnya orang menikmati kenangan, apalagi pada sebuah momentum di mana tempat itu hendak ditutup atau mungkin dihancurkan. Tempat itu mewakili hati. Jika ia dihancurkan, hati terasa ikut lebur. Siapa yang bisa hidup jika jantungnya dilepaskan? Siapa yang tahan hidup tanpa kenangan?
Masalahnya adalah saat ini kita sedang dikepung wabah, di mana salah satu protokol pemutusan rantai penyebarannya adalah dengan meniadakan atau menghindari kerumunan. Pilihan kita adalah hidup atau mati. Orang mungkin ingin mati dengan mendekap kenangan. Sama juga ada yang orang rela mati asal bisa merayakan keindahan Ramadan. Tapi mati karena wabah berbeda dengan mati karena bunuh diri. Jika bunuh diri kematian itu hanya akan dialami sendiri, namun kematian yang terinveksi virus dalam situasi pandemi akan membahayakan banyak orang. Bahkan, mati bunuh diri pun tetap sebuah tindakan nista.
Jika selama ini seakan ada stigma bahwa agama menjadi alasan yang paling sulit untuk menerapkan protokol distancing (penjarakan), peristiwa kerumunan di sebuah rumah makan itu menyadarkan kita bahwa kedunguan itu bisa terjadi pada siapa saja. Ini bukan persoalan agama, pun bukan tentang seberapa tinggi pendidikan seseorang. Ini tentang seberapa bijak orang memutuskan sebuah tindakan.
Apakah mereka yang berkerumun itu tidak sadar bahwa kesehatan lebih utama dari sebuah kenangan? Mereka pasti menyadari bahwa kenangan akan sia-sia jika pada akhirnya esok harinya mereka akan berkalang tanah. Apakah mereka tahu bahwa di masa pandemi seperti ini mereka dilarang keras terlibat dalam kerumunan? Suara-suara mereka mengindikasikan dengan kuat bahwa mereka tahu telah melanggar aturan. Tapi berapa banyak orang yang melanggar peraturan sekalipun mereka menyadari adanya sebuah larangan?
Jika ada orang yang melanggar protokol penjarakan karena alasan untuk menyambung hidupnya, kita sepenuhnya bisa memahami. Bagi kelompok ini, pilihannya bukan tentang hidup atau mati, tapi di mana mereka akan mati. Tinggal di dalam rumah tanpa kerja mereka akan mati, atau mereka bekerja keluar rumah dengan kemungkinan mati.
Tapi bagi mereka yang berkerumun untuk sebuah kenangan, bagaimana kita bisa memahami. Adakah alasan yang diterima oleh akal sehat bahwa kenangan lebih utama dari keselamatan? Adakah dalil yang menjelaskan bahwa kenangan di sebuh rumah makan lebih mulia dari menjaga keselamatan bangsa?
Jika kepada orang-orang beragama bisa dipahamkan dengan dalil dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalil (menghindari kerusakan/keburukan lebih diutamakan/didahulukan dari meraih kebaikan), lalu dalil apa yang bisa diajukan bagi mereka yang berkerumun untuk sebuah kenangan? Mari nikmati pandemi lebih lama karena kenangan dinilai lebih utama dari keselamatan anak bangsa!
(Direktur Moderate Muslim Insitute, UIN Sunan Ampel Surabaya)
Saat ini kita dibuat masygul dengan peristiwa kerumunan di sebuah rumah makan cepat saji di Jakarta. Rumah makan yang sudah berusia puluhan tahun ini beberapa hari lalu mengumumkan akan tutup selamanya. Kabar penutupan itu segera disambut dengan kesedihan mungkin oleh ribuan orang yang dalam hidupnya menorehkan kenangan mendalam di situ.
Rumah makan itu mungkin bukan sebuah icon Ibu Kota, namun pada kalangan tertentu, terutama yang sering menghabiskan waktunya untuk menikmati junk food sambil menikmati malam, mungkin bersama kekasihnya, mungkin bersama gerombolan temannya, rumah makan itu adalah salah satu situs bersejarah. Bagi mereka yang menembak gebetannya di situ, baik diterima maupun ditolak, jelas tempat itu memiliki sejarah dalam hidupnya. Bagi mereka yang putus dengan pacarnya di rumah makan dengan menu utama ayam goreng itu, jelas tempat itu mematrikan sebuah kenangan yang mungkin sulit untuk dilupakan.
Tidak heran, ketika manajemen mengumumkan secara terbuka bahwa rumah makan itu akan tutup selamanya, banyak hati yang tetiba layu. Mungkin juga hingga meneteskan air mata. Setiap tempat yang di situ sempat terlukis keindahan di masa lalu dalam kehidupan seseorang, selalu ingin dikenang. Bahkan, kenangan pahit pun sesekali perlu ditertawakan dengan cara melihat ulang tempat di mana kenangan itu pernah tercipta. Salah satu cara mengenangnya adalah dengan sesekali mengunjunginya. Bahkan, melewatinya saja sudah cukup karena desir di dada adalah peristiwa jiwa yang sensasinya tak kalah indahnya.
Tak ada yang salah dengan orang merayakan kenangan. Sama persis dengan tidak bersalahnya mereka yang ingin menikmati kesucian Ramadan dengan melaksanakan jamaah shalat tarawih. Kesemarakan Ramadan di masjid juga adalah sebuah kenangan yang ingin selalu diulang oleh banyak orang. Salah satu yang didamba dari banyak orang dari Ramadan adalah mengulangi kenangan-kenangan indah yang tertoreh di sana setia tahun. Berangkat ke masjid bersama kawan-kawan, keriangan sepanjang jalan, tadarus al-Qur’an dan penganan yang disajikan untuk dinikmati siapa saja, semua itu adalah kenangan yang tidak kalah asyiknya.
Saat tiba-tiba masjid “ditutup” karena sebuah virus hingga mereka tidak punya kesempatan untuk mengulang kenangan-kenangan itu, pasti itu memedihkan. Banyak yang nekad tetap berangkat ke masjid karena tidak rela melepas keindahan yang sudah terlanjur terpatri di dalam hati. Hadangan polisi pun harus dihadapi, pagar pun dielompati, agar bisa menikmati kenangan dan keindahan.
Sekali lagi, tidak ada salahnya orang menikmati kenangan, apalagi pada sebuah momentum di mana tempat itu hendak ditutup atau mungkin dihancurkan. Tempat itu mewakili hati. Jika ia dihancurkan, hati terasa ikut lebur. Siapa yang bisa hidup jika jantungnya dilepaskan? Siapa yang tahan hidup tanpa kenangan?
Masalahnya adalah saat ini kita sedang dikepung wabah, di mana salah satu protokol pemutusan rantai penyebarannya adalah dengan meniadakan atau menghindari kerumunan. Pilihan kita adalah hidup atau mati. Orang mungkin ingin mati dengan mendekap kenangan. Sama juga ada yang orang rela mati asal bisa merayakan keindahan Ramadan. Tapi mati karena wabah berbeda dengan mati karena bunuh diri. Jika bunuh diri kematian itu hanya akan dialami sendiri, namun kematian yang terinveksi virus dalam situasi pandemi akan membahayakan banyak orang. Bahkan, mati bunuh diri pun tetap sebuah tindakan nista.
Jika selama ini seakan ada stigma bahwa agama menjadi alasan yang paling sulit untuk menerapkan protokol distancing (penjarakan), peristiwa kerumunan di sebuah rumah makan itu menyadarkan kita bahwa kedunguan itu bisa terjadi pada siapa saja. Ini bukan persoalan agama, pun bukan tentang seberapa tinggi pendidikan seseorang. Ini tentang seberapa bijak orang memutuskan sebuah tindakan.
Apakah mereka yang berkerumun itu tidak sadar bahwa kesehatan lebih utama dari sebuah kenangan? Mereka pasti menyadari bahwa kenangan akan sia-sia jika pada akhirnya esok harinya mereka akan berkalang tanah. Apakah mereka tahu bahwa di masa pandemi seperti ini mereka dilarang keras terlibat dalam kerumunan? Suara-suara mereka mengindikasikan dengan kuat bahwa mereka tahu telah melanggar aturan. Tapi berapa banyak orang yang melanggar peraturan sekalipun mereka menyadari adanya sebuah larangan?
Jika ada orang yang melanggar protokol penjarakan karena alasan untuk menyambung hidupnya, kita sepenuhnya bisa memahami. Bagi kelompok ini, pilihannya bukan tentang hidup atau mati, tapi di mana mereka akan mati. Tinggal di dalam rumah tanpa kerja mereka akan mati, atau mereka bekerja keluar rumah dengan kemungkinan mati.
Tapi bagi mereka yang berkerumun untuk sebuah kenangan, bagaimana kita bisa memahami. Adakah alasan yang diterima oleh akal sehat bahwa kenangan lebih utama dari keselamatan? Adakah dalil yang menjelaskan bahwa kenangan di sebuh rumah makan lebih mulia dari menjaga keselamatan bangsa?
Jika kepada orang-orang beragama bisa dipahamkan dengan dalil dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalil (menghindari kerusakan/keburukan lebih diutamakan/didahulukan dari meraih kebaikan), lalu dalil apa yang bisa diajukan bagi mereka yang berkerumun untuk sebuah kenangan? Mari nikmati pandemi lebih lama karena kenangan dinilai lebih utama dari keselamatan anak bangsa!
(msd)