Imunitas Sosial dan Kriminalitas Saat Pandemi

Senin, 04 Mei 2020 - 15:01 WIB
loading...
Imunitas Sosial dan...
Gigih Mardana
A A A
Gigih Mardana
ASN di Bappeda Kota Blitar

Beban tambahan pemerintah dan masyarakat saat penanggulangan Covid-19 adalah menekan angka kriminalitas. Menurunnya pendapatan saat pandemi menjadi faktor pendorong meningkatnya aksi kejahatan. Pada momentum yang berhimpitan, tuntutan kebutuhan menjelang Idul Fitri menjadikan seseorang nekat berbuat di luar norma. Bentuk dan motifnya beragam. Mulai pencurian, penjambretan, penyalahgunaan narkoba sampai penjambretan.

Kondisi semakin perlu diwaspadai saat ada kebijakan membebaskan napi atas alasan pandemi. Realitasnya, ada sebagian napi asimilasi justru kembali melakukan kejahatan. Persentasenya memang tidak besar. Data Mabes Polri per 26 April 2020, dari 38 ribu lebih napi yang dibebaskan, ada 39 yang kembali melakukan aksi kejahatan.

Dalam masa normal saja, aksi kriminalitas biasa meningkat saat Ramadan sampai menjelang Idul Fitri berpotensi meningkat. Apalagi dalam suasana yang tidak menguntungkan seperti sekarang ini. Faktor ekonomi dan pandemi bukan faktor penyebab yang berdiri sendiri.

Ada faktor lain yang juga ikut memberikan kontribusi pada meningkatnya kriminalitas menjelang lebaran. Yakni ada gejala melemahnya imunitas sosial. Tidak bijaksana kiranya jika menimpakan beban keamanan dan ketertiban hanya kepada aparat keamanan.

Publik pun bisa berbuat sesuai dengan fungsi dan kemampuan. Karena keamanan dan ketertiban umum juga menjadi bagian dari tanggung jawab bersama. Memperkuat imunitas sosial berarti membantu kinerja aparat keamanan sekaligus berkontribusi menciptakan rasa aman.

Imunitas Sosial
Selain berharap kepada aparat keamanan, sejatinya masyarakat senantiasa memiliki kekuatan tersendiri dalam menyelesaikan masalahnya. Layaknya tubuh manusia, masyarakat memiliki kemampuan dan mekanisme sendiri untuk menjaga dirinya dari serangan virus yang menyerang. Kekuatan ini biasa disebut dengan imunitas sosial.

Semakin kuat imunitas sosial masyarakat, maka semakin kebal masyarakat tersebut terhadap goncangan yang menimpa. Kekuatan ini lahir dari jalinan ketergantungan antar satu individu dengan individu lain dalam sebuah sistem sosial. Jalinan sosial ini bersifat resiprokal, saling mempengaruhi, dan saling melengkapi.

Imunitas sosial ini tidak muncul begitu saja. Keberadaannya adalah buah dari proses saling percaya, komunikasi yang harmonis, dan adanya konsensus sosial yang kuat. Produksi dan reproduksi social antibody itu berlangsung dalam waktu yang lama. Hasilnya, setiap kali massyarakat tersebut mengalami patologi sosial dalam bentuk apapun, imunitas sosial ini akan mampu menangkalnya.

Sayang, seiring dengan menguatnya nilai – nilai individualisme, imunitas sosial itu mulai melemah. Sebagian masyarakat mulai mengarah pada kehidupan patembayan (gesselschaft). Hal ini dicirikan dengan menurunnya nilai – nilai kepedulian, solidaritas, dan kualitas interaksi sosial.

Kondisi ini bisa diperparah dengan disinformasi. Kasus penolakan beberapa jenazah pasien covid-19 di beberapa daerah menjadi buktinya. Penolakan terjadi diantaranya karena salah persepsi dan sikap overphobia.

Masyarakat mulai acuh dengan lingkungan sosialnya. Sebagian masyarakat sudah tidak mengenal tetangganya. Juga tidak peduli dan tidak mau tahu dengan kondisi lingkungan sekitanya.
Jarak sosial semakin lebar yang dicirikan dengan secara fisik bangunan rumah – rumah semakin berdekatan, tetapi hubungan sosialnya justru semakin jauh. Kemajuan teknologi ikut andil memperbesar jarak sosial.

Sebagian masyarakat juga mulai memiliki karakter impersonal yang berarti mulai nyaman hidup dalam dunianya sendiri. Itulah, sebagian diantara gejala melemahnya imunitas sosial.
Ketika imunitas sosial itu melemah, maka berbagai bentuk kejahatan dengan mudah masuk dalam ruang – ruang sosial masyarakat. Padahal, dalam hal ketertiban dan keamanan, di masa lampau masyarakat memiliki kemampuan reproduksi imunitas sosial yang luar biasa.

Masyarakat punya sistem pengamanan swadaya. Keberadaan pranata sosial berupa Pos Keamanan Lingkungan (Poskamling), Kelompok Sadar Lingkungan (Pokdarling), ronda malam, atau sistem jaga secara bergilir adalah bukti kita telah memiliki imunitas sosial yang kuat.

Pranata sosial itu tidak hanya membantu aparat keamanan, tetapi juga secara psikologis membuat minder para pelaku kejahatan. Seperti pesan pembaca acara kriminal di sebuah stasiun televisi, kejahatan muncul bukan hanya karena niat pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan. Kesempatan inilah yang perlu diminimalisir dengan memperkuat imunitas sosial.

Solidaritas Kolektif
Meski telah menggejala, kita tentu tidak bisa menggeneralisasi semua masyarakat mengalami degradasi imunitas sosial. Sebagian masyarakat juga masih ada yang berkarakter paguyuban (gemeinschaft).

Pola kehidupannya masih mengarah ke pedesaan, ikatan kekeluargaannya kuat, jarak sosialnya dekat, dan ada ikatan emosional satu dengan yang lain. Hanya saja ketika gejala sosial ini telah teridentifikasi ada baiknya kita melaksanakan gerakan antisipasi.

Bentuk konkrit antisipasi itu berupa upaya memperkuat solidaritas sosial secara kolektif. Saat pandemi melanda terbukti masyarakat berupaya membentuk keseimbangan sosial (social equilibrium) baru. Misalnya dengan melakukan penyemprotan disinfektan mandiri, menggalang dana sosial, mengumpulkan sembako, dan membagikan masker. Hal ini sangat membantu kinerja aparatur pemerintah. Sekaligus bukti bahwa imunitas sosial untuk masih ada.

Jika pada imunitas kesehatan dan ekonomi masyarakat bergerak, maka imunitas sosial dalam mengantisipasi kriminalitas juga perlu ditumbukan. Semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, yang biasa kita sebut dengan patologi sosial disebabkan oleh adanya perkembangan yang tidak seimbang dari macam-macam bagian kebudayaan, sehingga melahirkan kesenjangan sosial, kelambatan kultural (culture lag), disorganisasi sosial, hingga disintegrasi sosial.

Sebagai solusinya, perlu kesadaran kolektif dari semua pihak untuk mencegah rangsangan bagi orang normal menjadi sakit sosial (sosiopatik). Mencegah kejahatan dalam jangka pendek dapat dilaksanakan dengan cara – cara kuratif. Akan tetapi, mencegah kejahatan, dalam arti jangka panjang adalah dengan menciptakan lingkungan sosial yang berimunitas kuat.

Beberapa riset menunjukkan bahwa mereka yang tinggal nyaman di lingkungan sosial yang sehat akan lebih berpeluang menjadi orang – orang yang baik daripada mereka yang tinggal di lingkungan yang tidak sehat. Di sinilah semua pihak bisa mengambil peran untuk setidaknya meminimalisasi kiminalitas.
(msd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1509 seconds (0.1#10.140)