Kisah 2 Pemimpin Perang Jawa Berselisih saat Pangeran Diponegoro Kobarkan Perang Melawan Belanda
loading...
A
A
A
Kekalahan di peperangan di Gawok menjadikan kedua pemimpin Perang Jawa itu saling menyalahkan. Pendukung Pangeran Diponegoro dari keraton menuding Kiai Mojo menjadi biang keladi kekalahan serbuan pasukan ke penjajah Belanda tersebut.
Kiai Mojo dan keluarganya dituding mendorong - dorong menyerang Surakarta sebetulnya demi kepentingan mereka sendiri di masa depan.
Bahkan pada Agustus 1827, saat perundingan damai sedang berjalan di Salatiga, timbul kembali perdebatan besar antara Pangeran Diponegoro dengan Kiai Mojo, kepala penasihat agamanya tentang hakikat kekuasaan politik.
Menurut Diponegoro, menantang posisi pangeran sebagai Sultan Erucokro dengan memintanya membagi kekuasaan ke dalam empat bagian, yaitu kekuasaan ratu (raja), wali (penyebar agama), pandita (yang terpelajar di bidang hukum), dan mukmin (orang yang percaya), sambil menyarankan agar Pangeran Diponegoro memilih satu saja dari empat fungsi di atas.
Kiai Mojo menyebut, jika sang pangeran memilih menjadi ratu, maka ia sendiri mengatakan akan mengambil kekuasaan wali dan akan menjalankan kekuasaan agama secara mutlak.
Sang pangeran pun menolak seraya dan menyatakan Kiai Mojo ingin lebih berkuasa. Bahkan sang pangeran juga membuat perbandingan antara kiai dan para pemimpin agama di Giri di abad ke-16 dan 17, yang menurut Diponegoro berkuasa atas sultan-sultan Demak.
Perdebatan tersebut kian menambah panjang konflik yang dilandasi rivalitas antar daerah. Basis Pangeran Diponegoro adalah Mataram, sedangkan loyalitas Kiai Mojo adalah Pajang, khususnya Kabupaten Boyolali, wilayah Surakarta sekarang.
Setelah Kiai Mojo bergabung dengan pangeran di Selarong pada Agustus 1825, banyak ulama pengikutnya ikut bergabung dalam satuan-satuan resimen elit pangeran.
Lihat Juga: Kisah Penyerangan Rakyat Maluku Dikomandoi Pattimura Nyaris Gagal karena Ulah Sekelompok Pemuda
Kiai Mojo dan keluarganya dituding mendorong - dorong menyerang Surakarta sebetulnya demi kepentingan mereka sendiri di masa depan.
Bahkan pada Agustus 1827, saat perundingan damai sedang berjalan di Salatiga, timbul kembali perdebatan besar antara Pangeran Diponegoro dengan Kiai Mojo, kepala penasihat agamanya tentang hakikat kekuasaan politik.
Menurut Diponegoro, menantang posisi pangeran sebagai Sultan Erucokro dengan memintanya membagi kekuasaan ke dalam empat bagian, yaitu kekuasaan ratu (raja), wali (penyebar agama), pandita (yang terpelajar di bidang hukum), dan mukmin (orang yang percaya), sambil menyarankan agar Pangeran Diponegoro memilih satu saja dari empat fungsi di atas.
Kiai Mojo menyebut, jika sang pangeran memilih menjadi ratu, maka ia sendiri mengatakan akan mengambil kekuasaan wali dan akan menjalankan kekuasaan agama secara mutlak.
Sang pangeran pun menolak seraya dan menyatakan Kiai Mojo ingin lebih berkuasa. Bahkan sang pangeran juga membuat perbandingan antara kiai dan para pemimpin agama di Giri di abad ke-16 dan 17, yang menurut Diponegoro berkuasa atas sultan-sultan Demak.
Perdebatan tersebut kian menambah panjang konflik yang dilandasi rivalitas antar daerah. Basis Pangeran Diponegoro adalah Mataram, sedangkan loyalitas Kiai Mojo adalah Pajang, khususnya Kabupaten Boyolali, wilayah Surakarta sekarang.
Setelah Kiai Mojo bergabung dengan pangeran di Selarong pada Agustus 1825, banyak ulama pengikutnya ikut bergabung dalam satuan-satuan resimen elit pangeran.
Lihat Juga: Kisah Penyerangan Rakyat Maluku Dikomandoi Pattimura Nyaris Gagal karena Ulah Sekelompok Pemuda
(shf)