Legenda dan Romantisme Danau Asmara di Ujung Pulau Bunga

Senin, 31 Agustus 2020 - 05:00 WIB
loading...
Legenda dan Romantisme Danau Asmara di Ujung Pulau Bunga
Foto istimewa
A A A
CERITA seputar danau di Flores selalu terhubung dengan kehidupan manusia. Sama seperti danau Tiga Warna Kelimutu di Ende yang memiliki cerita terkait sisi kehidupan manusia yakni kebaikan dan kejahatan, demikian juga kisah Danau Asmara di Flores Timur.

Danau Asmara yang menjadi kiblat baru wisata di Flores Timur itu terletak di antara dua desa, yaitu Desa Waibao dan Desa Riangkeroko. Kedua desa itu berada di Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Danau Asmara adalah cerita soal pertentangan nilai. (Baca: Search Results Web results Pesona Danau Kelimutu dan Legenda Perang Abadi)

Pada mulanya, Danau Asmara memiliki nama asli Danau Waibelen (Wai: air dan Belen: luas/besar). Menurut cerita legenda yang berkembang turun-temurun di masyarakat dua desa itu, Danau Air Luas atau Waibelen muncul akibat letusan gunung Sodoberawao pada 400-500 SM. Letusan itu membentuk kawah besar yang kemudian terisi oleh air hujan sehingga terbentuklah danau. Namun uniknya, danau ini memiliki pusaran dan dihuni banyak buaya.

Meski dihuni banyak buaya, Danau Waibelen tetap menjadi berkat bagi masyarakat sekitar, sebab mereka bisa mengambil air untuk berbagai keperluan di tempat ini. Pun buaya tidak sembarangan memangsa manusia, karena diyakini makhluk buas itu adalah jelmaan leluhur.

Nama Waibelen mulai bertukar sebut dengan Danau Asmara sekitar tahun 1970-an. Menurut cerita warga setempat, sebutan baru Danau Waibelen bermula dari peristiwa yang menimpa dua sejoli. Kisahnya, dua remaja yang sudah akil balik jatuh cinta. Sepasang manusia yang sama-sama berasal dari kampung Tengadei di Desa Waibao ini lalu menjalin kasih. Pria bernama Lio Kelen dan remaja putri bernama Nela Kelen.

Sayangnya, cinta yang sedang membuat mereka mabuk kepayang adalah cinta buta. Sebab menurut tatanan sosial dan budaya setempat, jalinan asmara keduanya cacat nilai. Keduanya masih memiliki hubungan keluarga. Karena itu hubungan mereka tidak direstui oleh kedua orang tuanya.

Namun, tak direstui orangtua dan tidak sah secara adat tidak menyurutkan gelora asmara keduanya. Lio dan Nela tetap nekat menjalin kasih. Sama seperti warga kampung umumnya, Danau Waibelen tidak hanya menjadi sumber air bagi masyarakat Desa Waibao yang terdiri dari kampung Keka, Tengadei, Riangpuho, dan Lebao. Demikian pun, kedua kekasih. Jalan setapak ke tepi danau untuk mengambil air kerap dilewati berdua.

Saban hari, pesona danau yang indah, riak air diterpa angin membangkitkan gairah asmara kedua pasang makhluk itu. Gairah yang terus memuncak di satu sisi, namun tantanan nilai dan sikap keluarga yang tak merestui membuat keduanya terus terimpit. Makin hari keduanya makin terdesak. Hingga suatu waktu, tibalah mereka pada satu keputusan. Keduanya sepakat untuk mengakhiri hidup di Waibelen, danau yang selama ini memberi mereka hidup dan gairah.

Menurut analisis warga setempat, keputusan keduanya untuk bunuh diri dengan menceburkan diri ke danau disiapkan secara matang dan rahasia. Terbukti, gelagat keduanya untuk melakukan tindakan tak terpuji itu tidak pernah tercium sedikit pun oleh orang yang paling dekat dengan mereka.

Di pinggir danau, sebelum membuang diri ke danau, mereka menjepitkan kertas pada sebatang pohon. Kertas itu berisi pesan kepada orangtua mereka. "Kalau Bapa Mama Mereka ingin mencari emas, maka carilah ke dalam danau". Demikian isi pesan tersebut.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.7165 seconds (0.1#10.140)