Pancasila Jadi Solusi Atasi Kerapuhan Etika dan Ketimpangan Sosial
loading...
A
A
A
MALANG - Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menyelaraskan etika, ideologi, dan pembangunan sosial. Penguatan nilai-nilai Pancasila menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Hak itu diungkapkan Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara: Etika Sosial dan Pendidikan yang digelar oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)" di Malang, Jawa Timur, Senin (2/9/2024)
Mahfud mengatakan, kerapuhan etika sudah lama menjadi masalah di Indonesia. Menurutnya, etika yang rapuh sejak era Orde Baru telah melahirkan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang masih berlanjut hingga kini.
Meskipun, Reformasi diharapkan membawa perubahan melalui TAP MPR RI No. 6 Tahun 2021 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, tantangan etika tetap ada.
“Terjadi flexing, pamer kemewahan, suka bohong, pemborosan yang luar biasa sehingga yang terjadi tumpulnya Trisakti. Kedaulatan politik tidak secara substansi dilaksanakan, terkadang didikte juga oleh ambisi pribadi,” katanya.
Salah satu upaya untuk menghapus persoalan etika itu ialah melalui penguatan Pancasila.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia itu menjelaskan, Pancasila punya dua fungsi, pertama berfungsi sebagai dasar negara dan fungsi selain dasar negara.
Fungsi sebagai dasar negara, Pancasila merupakan sumber pembentukan hukum di Indonesia. Sementara Pancasila yang berfungsi sebagai selain dasar negara, Pancasila menjadi medium pemersatu bangsa, pedoman hidup bangsa, dan pandangan hidup bangsa.
“Fungsi Pancasila selain dasar negara ini adalah nilai moral dan etik. Daya ikatnya kesadaran moral, takut, risih sehingga sanskinya otonom. Yang terjadi, orang hanya takut pada Pancasila sebagai dasar negara, sehingga bisa diubah sewaktu-waktu oleh penyelenggara negara,” tukasnya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, Pancasila harus diletakkan kembali sebagai ideologi berbasis kesadaran historis. “Bahwa Ideologi itu lahir dari berbagai pemikiran, islamisme, nasionalisme, humanisme, demokrasi, dan marxisme,” katanya.
Lewat kesadaran historis terhadap Pancasila itu, proses demokratisasi di Indonesia harus dipastikan tidak melayani segelintir orang saja tapi melayani kepentingan rakyat.
“Sistem hubungan kekuasaan cenderung oligarki, terbukti pada masa Orde Baru tidak menguntungkan bagi kepentingan masyarakat, hanya memunculkan ketimpangan sosial,” ujarnya.
Budayawan Garin Nugroho menyoroti internet yang dulu dianggap sebagai ruang publik yang demokratis kini berubah menjadi arena politik massa yang manipulatif.
Sutradara sejumlah film itu mencatat hampir 80% anak muda menggunakan internet, namun banyak dari mereka terjebak dalam politik pasar yang mengutamakan kepentingan ekonomi dan kekuasaan, bukan produktivitas masyarakat.
“Perlu ada strategi etika yang jelas untuk mengatasi fenomena ini dan memastikan bahwa ruang digital dapat digunakan secara konstruktif,” katanya sambil menegaskan ruang maya saat ini tanpa panduan nilai kebangsaan.
Indonesian Conference on Religion and Peace (ICPR) Siti Musdah Mulia mengatakan, pentingnya reformasi budaya dan undang-undang untuk mengatasi diskriminasi dan intoleransi.
“Reform sejumlah undang-undang atau peraturan yang ada yaitu sejumlah perundang-undangan masih ada yang diskriminatif. ICRP pernah mendata, terdapat 147 undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang mengandung unsur diskriminatif dan intoleran,” pungkasnya.
Hak itu diungkapkan Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara: Etika Sosial dan Pendidikan yang digelar oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)" di Malang, Jawa Timur, Senin (2/9/2024)
Mahfud mengatakan, kerapuhan etika sudah lama menjadi masalah di Indonesia. Menurutnya, etika yang rapuh sejak era Orde Baru telah melahirkan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang masih berlanjut hingga kini.
Meskipun, Reformasi diharapkan membawa perubahan melalui TAP MPR RI No. 6 Tahun 2021 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, tantangan etika tetap ada.
“Terjadi flexing, pamer kemewahan, suka bohong, pemborosan yang luar biasa sehingga yang terjadi tumpulnya Trisakti. Kedaulatan politik tidak secara substansi dilaksanakan, terkadang didikte juga oleh ambisi pribadi,” katanya.
Salah satu upaya untuk menghapus persoalan etika itu ialah melalui penguatan Pancasila.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia itu menjelaskan, Pancasila punya dua fungsi, pertama berfungsi sebagai dasar negara dan fungsi selain dasar negara.
Fungsi sebagai dasar negara, Pancasila merupakan sumber pembentukan hukum di Indonesia. Sementara Pancasila yang berfungsi sebagai selain dasar negara, Pancasila menjadi medium pemersatu bangsa, pedoman hidup bangsa, dan pandangan hidup bangsa.
“Fungsi Pancasila selain dasar negara ini adalah nilai moral dan etik. Daya ikatnya kesadaran moral, takut, risih sehingga sanskinya otonom. Yang terjadi, orang hanya takut pada Pancasila sebagai dasar negara, sehingga bisa diubah sewaktu-waktu oleh penyelenggara negara,” tukasnya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, Pancasila harus diletakkan kembali sebagai ideologi berbasis kesadaran historis. “Bahwa Ideologi itu lahir dari berbagai pemikiran, islamisme, nasionalisme, humanisme, demokrasi, dan marxisme,” katanya.
Lewat kesadaran historis terhadap Pancasila itu, proses demokratisasi di Indonesia harus dipastikan tidak melayani segelintir orang saja tapi melayani kepentingan rakyat.
“Sistem hubungan kekuasaan cenderung oligarki, terbukti pada masa Orde Baru tidak menguntungkan bagi kepentingan masyarakat, hanya memunculkan ketimpangan sosial,” ujarnya.
Budayawan Garin Nugroho menyoroti internet yang dulu dianggap sebagai ruang publik yang demokratis kini berubah menjadi arena politik massa yang manipulatif.
Sutradara sejumlah film itu mencatat hampir 80% anak muda menggunakan internet, namun banyak dari mereka terjebak dalam politik pasar yang mengutamakan kepentingan ekonomi dan kekuasaan, bukan produktivitas masyarakat.
“Perlu ada strategi etika yang jelas untuk mengatasi fenomena ini dan memastikan bahwa ruang digital dapat digunakan secara konstruktif,” katanya sambil menegaskan ruang maya saat ini tanpa panduan nilai kebangsaan.
Indonesian Conference on Religion and Peace (ICPR) Siti Musdah Mulia mengatakan, pentingnya reformasi budaya dan undang-undang untuk mengatasi diskriminasi dan intoleransi.
“Reform sejumlah undang-undang atau peraturan yang ada yaitu sejumlah perundang-undangan masih ada yang diskriminatif. ICRP pernah mendata, terdapat 147 undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang mengandung unsur diskriminatif dan intoleran,” pungkasnya.
(ams)