Kisah Perpecahan Singasari usai Raja Pertama Tewas Dibunuh Anak Tiri
loading...
A
A
A
Kerajaan Singasari , yang dulunya bernama Tumapel, mengalami masa kelam usai tewasnya Ken Arok, pendiri dan raja pertamanya. Ken Arok berhasil membangun Tumapel setelah membebaskannya dari kekuasaan Kerajaan Kediri. Namun, tak lama setelah keberhasilan tersebut, sebuah tragedi besar menimpa kerajaan yang baru saja berdiri ini.
Ken Arok dibunuh oleh anak tirinya, Anusapati, yang merupakan putra dari istrinya, Ken Dedes, dengan Tunggul Ametung, penguasa Tumapel sebelum masa Ken Arok. Peristiwa pembunuhan ini menimbulkan pertumpahan darah yang berkepanjangan dan mengancam stabilitas kerajaan.
Pada masa pemerintahannya, Ken Arok menetapkan Kutaraja sebagai ibu kota Tumapel, sebagaimana tercatat dalam Kakawin Nagarakretagama. Di sisi lain, Kediri yang saat itu dikenal dengan nama Daha menjadi kota kedua di wilayah Tumapel atau Kerajaan Singasari. Keputusan Ken Arok ini memberikan Kediri peran penting dalam struktur kerajaan.
Menurut sejarawan Prof. Slamet Muljana dalam bukunya "Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit," Mahisa Wunga Teleng, putra Ken Arok dari pernikahannya dengan Ken Dedes, ditunjuk sebagai raja di Kediri, yang merupakan wilayah bawahan Tumapel. Namanya juga muncul dalam Prasasti Mula Malurung dengan sebutan Bhatara Parameswara.
Penunjukan Mahisa Wunga Teleng sebagai raja di Kediri menimbulkan kecemburuan dalam hati Anusapati. Ia merasa ada perlakuan berbeda antara dirinya dan Mahisa Wunga Teleng, yang akhirnya memicu keputusan Anusapati untuk membunuh Ken Arok. Tindakan ini mengakibatkan tahta Tumapel jatuh ke tangan Anusapati, sementara Mahisa Wunga Teleng masih memerintah di Kediri.
Namun, mengetahui bahwa Anusapati bertanggung jawab atas kematian ayahnya, Mahisa Wunga Teleng menolak untuk tunduk kepada Tumapel. Ketegangan ini menyebabkan perpecahan di tubuh Kerajaan Singasari. Pada tahun 1227, usai kematian Ken Arok, kerajaan terbagi menjadi dua bagian: Tumapel di bawah kekuasaan Anusapati dan Kediri di bawah kekuasaan Mahisa Wunga Teleng.
Perseteruan antara kedua kerajaan ini semakin diperparah oleh dukungan saudara-saudara Mahisa Wunga Teleng yang lebih berpihak pada Kediri, seperti yang dinyatakan dalam Prasasti Mula-Malurung. Prasasti ini menyebutkan bahwa Guning Bhaya dan Tohjaya secara berturut-turut menggantikan Mahisa Wunga Teleng sebagai pemimpin di Kediri.
Perpecahan Singasari ini menandai awal dari konflik berkepanjangan yang mengancam stabilitas dan keberlangsungan kerajaan, menciptakan sejarah berdarah yang akan terus diingat dalam kisah-kisah masa lalu Nusantara.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
Ken Arok dibunuh oleh anak tirinya, Anusapati, yang merupakan putra dari istrinya, Ken Dedes, dengan Tunggul Ametung, penguasa Tumapel sebelum masa Ken Arok. Peristiwa pembunuhan ini menimbulkan pertumpahan darah yang berkepanjangan dan mengancam stabilitas kerajaan.
Pada masa pemerintahannya, Ken Arok menetapkan Kutaraja sebagai ibu kota Tumapel, sebagaimana tercatat dalam Kakawin Nagarakretagama. Di sisi lain, Kediri yang saat itu dikenal dengan nama Daha menjadi kota kedua di wilayah Tumapel atau Kerajaan Singasari. Keputusan Ken Arok ini memberikan Kediri peran penting dalam struktur kerajaan.
Menurut sejarawan Prof. Slamet Muljana dalam bukunya "Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit," Mahisa Wunga Teleng, putra Ken Arok dari pernikahannya dengan Ken Dedes, ditunjuk sebagai raja di Kediri, yang merupakan wilayah bawahan Tumapel. Namanya juga muncul dalam Prasasti Mula Malurung dengan sebutan Bhatara Parameswara.
Penunjukan Mahisa Wunga Teleng sebagai raja di Kediri menimbulkan kecemburuan dalam hati Anusapati. Ia merasa ada perlakuan berbeda antara dirinya dan Mahisa Wunga Teleng, yang akhirnya memicu keputusan Anusapati untuk membunuh Ken Arok. Tindakan ini mengakibatkan tahta Tumapel jatuh ke tangan Anusapati, sementara Mahisa Wunga Teleng masih memerintah di Kediri.
Namun, mengetahui bahwa Anusapati bertanggung jawab atas kematian ayahnya, Mahisa Wunga Teleng menolak untuk tunduk kepada Tumapel. Ketegangan ini menyebabkan perpecahan di tubuh Kerajaan Singasari. Pada tahun 1227, usai kematian Ken Arok, kerajaan terbagi menjadi dua bagian: Tumapel di bawah kekuasaan Anusapati dan Kediri di bawah kekuasaan Mahisa Wunga Teleng.
Perseteruan antara kedua kerajaan ini semakin diperparah oleh dukungan saudara-saudara Mahisa Wunga Teleng yang lebih berpihak pada Kediri, seperti yang dinyatakan dalam Prasasti Mula-Malurung. Prasasti ini menyebutkan bahwa Guning Bhaya dan Tohjaya secara berturut-turut menggantikan Mahisa Wunga Teleng sebagai pemimpin di Kediri.
Perpecahan Singasari ini menandai awal dari konflik berkepanjangan yang mengancam stabilitas dan keberlangsungan kerajaan, menciptakan sejarah berdarah yang akan terus diingat dalam kisah-kisah masa lalu Nusantara.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
(hri)