Kisah Keluarga Sumiran, Penghuni Terakhir Kampung Mati di Pegunungan Menoreh Kulonprogo

Rabu, 10 Juli 2024 - 10:00 WIB
loading...
Kisah Keluarga Sumiran,...
Tempat tinggal keluarga Sumiran di Kampung Mati, Padukuhan Watu Belah, Kalurahan Sidomulyo, Pengasih, Kabupaten Kulonprogo, DIY. Foto: iNews TV/Budi Utomo
A A A
KULONPROGO - Di Padukuhan Watu Belah, Kalurahan Sidomulyo, Pengasih, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), terdapat kampung mati. Kampung mati itu sebenarnya bernama Kampung Suci.

Kampung berlokasi sekitar 12 kilometer dari Alun-alun Wates itu disebut kampung mati karena hanya dihuni satu keluarga yakni Sumiran (50). Kampung tersebut hanya bisa diakses melalui jalan setapak naik turun Pegunungan Menoreh dengan jarak sekitar 2 kilometer.

Kisah Keluarga Sumiran, Penghuni Terakhir Kampung Mati di Pegunungan Menoreh Kulonprogo


iNews Media Group diajak Dewi Septiani, anak dari Sumiran (50) untuk melihat desa terpencil di Dusun Watu Belah, Kapanewon Pengasih, Kabupaten Kulonprogo.

Benar saja, akses masuk desa yang ekstrem dan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki naik turun Pegunungan Menoreh.



Untuk menjangkau rumah tetangga terdekat yang mempunyai akses menuju dunia luar, dibutuhkan waktu tempuh sekitar hampir satu jam berjalan kaki dengan medan jalan yang naik turun masuk hutan mengikuti kontur pegunungan.

Secara administratif, kampung yang oleh warga sekitar diberi nama Kampung Suci ini berada di wilayah Dusun Watubelah, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Pengasih, Kulonprogo. Jaraknya sekitar 33 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta dan 12 kilometer dari Kota Wates.

Keluarga yang tetap setia tinggal di Kampung Mati itu beranggotakan Sumiran (50) dan istrinya Sugiati (51), serta dua anaknya Agus Sarwanto (24) dan Dewi Septiani (11). Sejak akhir 2023, keluarga Sumiran sebenarnya sudah punya hunian baru di wilayah Dusun Watu Belah.

”Dulu Kampung Suci ini banyak warganya, ada sekitar 12 KK, tapi karena dengan medan yang sulit, cuma jalan setapak, jadi yang punya lahan di atas mereka pada pindah, akhirnya jadi kampung mati,” kata Dukuh Watu Belah Sutatik.



Menurut dia, karena Sumiran belum punya lahan dulunya, sehingga dia masih bertahan di lokasi meski kini sudah punya rumah baru di permukiman dengan akses yang lebih mudah. Rumah baru itu ia terima berkat sumbangan berbagai pihak dan komunitas atas keprihatinannya.

Namun, Sumiran merasa masih nyaman untuk tinggal di rumah lamanya, yang menjadi penunjang hidupnya sebagai tukang kayu. ”Sumiran, masih senang di sini. Tempatnya nyaman, sejuk, apa-apa ada. Mau cari kayu masih dekat di sini, lebih enak, lebih nyaman,” katanya.

Sumiran mengaku rumah barunya memang ditempati oleh anak-anaknya dalam kesehariannya. “Rumah baru ya ditempati anak-anak saya. Pulang sekolah di sana, kasihan kalau ke sini, anak kecil, sanga jauh,” ungkap Sumiran.

Kedati demikian, rumah lama digunakan untuk aktivitas pekerjaan Sumiran yang biasa aktif di malam hari, sehingga tidak mengganggu warga sekitar. Rumah baru masih dikunjungi, namun kalau tidur mereka masih di rumah lama.

Beberapa warga juga sudah mengajaknya untuk menempati rumah yang baru dan bergabung dengan warga lain, namun karena dia lebih nyaman di pedalaman, warga pun tak mau memaksa. Kini, Sumiran menjadi satu-satunya penghuni kampung mati tersebut.
(ams)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2147 seconds (0.1#10.140)