Ketum DMSI Sebut Kandungan Vitamin Sawit Hilang Jika Dijadikan Minyak Goreng

Jum'at, 02 Februari 2024 - 13:56 WIB
loading...
Ketum DMSI Sebut Kandungan Vitamin Sawit Hilang Jika Dijadikan Minyak Goreng
Plt Ketua Umum DMSI, Sahat M Sinaga dalam Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit bertemakan Perkembangan dan Kontribusi Industri Hilir Sawit Bagi Perekonomian Indonesia di Kota Bandung. Foto: SINDOnews/Agung Bakti Sarasa
A A A
BANDUNG - Plt Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat M Sinaga mengungkapkan, kesalahpahaman soal sawit yang diperuntukkan untuk minyak goreng. Padahal, saat sawit dijadikan minyak goreng otomatis kandungan vitaminnya hilang karena suhu panas.

Hal tersebut diungkapkan Sahat dalam Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit bertemakan “Perkembangan dan Kontribusi Industri Hilir Sawit Bagi Perekonomian Indonesia” pada 31 Januari – 2 Februari 2024 di Bandung.

Sahat mengatakan, sawit mengandung kadar β-carotene serta tokoferol dan tocotrienol yang relatif tinggi. β-carotene merupakan sumber vitamin A dan antioksidan sedangkan tokoferol dan tocotrienol yang merupakan salah satu golongan vitamin E yang berasal dari tumbuhan yang juga dapat berperan sebagai antioksidan.



”Sawit menghasilkan vitamin A yang 15 kali dari wortel dan vitamin E yang 20 kali dari minyak olive. Minyak zaitun hanya mengandung vitamin E sebesar 51 ppm, sementara kandungan vitamin E minyak sawit jauh lebih tinggi yakni 1172 ppm. Padahal, harga olive oil jauh lebih mahal dibanding sawit,” kata Sahat, Kamis (1/2/2024).

Selain itu, sawit juga bisa menjadi minyak bernutrisi tinggi melebihi minyak nabati lainnya melalui pengolahan secara dry process. Ia menyebut, dengan ditemukannya teknologi dry-process, proses ini mampu menjaga nutrisi alami tetap tinggi, sewaktu mengolah tandan buah segar sawit jadi minyak sawit DPFO (Degummed Palm Fruit Oil).

"Dilakukan dengan aplikasi teknologi ramah lingkungan untuk memurnikan DPFO menjadi RPFO (Reseterified Palm Mesocarp Oil) dengan Free Fatty Acid yang rendah, dry process beroperasi di temperatur kurang dari 70 derajat Celcius, maka kontaminan tidak terjadi dan mikro nutrisi tetap tinggi," terangnya.

Sahat mengatakan, berdasarkan data Palm Oil Agribusiness Strategic Institute, kandungan minyak sawit ini memiliki keidentikan dengan air susu ibu. Kandungan Octadeconoic Acid pada keduanya hampir sama, sekitar 36 persen. Juga kandungan yang sama seperti palmitic acids sampai linoleic acids.

"Jadi tidaklah mengherankan, bahwa banyak minyak sawit dalam bentuk RBD Olein dipakai oleh industri susu, dalam produk yang mereka pasarkan. Ini juga dapat menjadi senjata pamungkas mencegah stunting dan avitaminosis," ungkapnya.

Menurut Sahat, dengan pengolahan dry process, nutrisi lain yang terkandung dalam minyak sawit dapat lebih besar. Penelitian FMIPA Universitas Indonesia di antaranya menyatakan minyak sawit mengandung karotenoids minimal 600 mg/kg (ppm), Vitamin E minimal 850 mg/kg (ppm), squalene minimal 400 mg/kg (ppm), dan phytosterols minimal 350 mg/kg (ppm).

"Dengan pengolahan wet process atau yang selama ini dilakukan, karotenoids sebanyak 430 mg/kg (ppm), Vitamin E minimal 620 mg/kg (ppm), squalene minimal 230 mg/kg (ppm), dan phytosterols minimal 210 mg/kg (ppm).Pengolahan secara dry process pun menghasilkan cemaran logam berat yang jauh lebih kecil daripada wet process pada umumnya," tuturnya.

Dengan fakta ini, kata Sahat, industri sawit punya masa depan yang cerah dan bisa menjadi pendorong kejayaan ekonomi Indonesia, dengan menjalankan usaha tanpa deforestasi.

Volume kebun dan pengolahan kelapa sawit (PO Mill) bisa meningkat 30,8 persen. Para petani pun bisa memilik PO Mill sendiri dengan teknologi dry-process sehingga industri hilir berkembang.

"Kembangkan pasar dalam negeri dengan memanfaatkan functional foods melalui sebaran UMKM atau kuliner sehingga dalam waktu yang cepat Kemenkes dapat memberantas avitaminosis dan stunting," imbuhnya.

Sahat mengatakan, pengolahan hulu kelapa sawit secara dry process ini segera dimulai di Wajo, Sulawesi Selatan dan Seruyan, Kalimantan Tengah. Untuk itu pihaknya menyiapkan pabrik hilirnya di Gresik, Jawa Timur, berkapasitas 100 ton per hari.

"Tapi kita tidak jual minyak goreng. Kita jual minyak makan sehat full nutrisi itu yang diproses melalui dry-process," ucapnya.

Bahkan, pihaknya menyiapkan fabrikasi alat penggoreng dengan tekanan rendah yang dapat menjaga nutrisi minyak makan tersebut supaya tidak rusak seperti menggoreng secara biasanya.

"Biaya produksi dry process itu lebih rendah daripada wet process. Kalau yang wet process, yang konvensional itu, per tonnya butuh Rp4,5 miliar. Kalau dry-process Rp3,8 miliar. Kenapa dia lebih murah, karena dia tidak memakai steam. Mesinnya lebih simpel tidak seperti yang sekarang," bebernya.

Sahat mengatakan, pengolahan sawit secara dry-process, lebih ramah lingkungan karena memiliki emisi karbon lebih rendah 78 persen dari cara biasanya.

"Kami ingin produksinya melalui UMKM, sehingga kampung-kampung bisa maju, dan bisa sehat. Maka dari itu, perlu dikelola Kementerian Kesehatan untuk riset gizinya," ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Pelaksana Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit, Qayuum Amri mengatakan, bahwa sawit bukan hanya minyak goreng dan mentega saja. Tetapi juga bisa menghasilkan kosmetik, skincare, lipstick, hingga bio energi.

“Dengan diskusi ini, teman-teman media bisa nanti mengetahui industri hilir sawit sudah sejauh mana dalam 2-3 tahun terakhir ini. Berdasarkan data GAPKI, hampir 80 persen ekspor sawit Indonesia saat ini sudah produk hilir. Hanya sekitar 10-20 persen yang berupa CPO,” kata Qayuum.
(ams)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4368 seconds (0.1#10.140)