Berbagai Perlawanan Rakyat Jambi terhadap Penjajahan Belanda

Minggu, 01 April 2018 - 05:00 WIB
Berbagai Perlawanan Rakyat Jambi terhadap Penjajahan Belanda
Berbagai Perlawanan Rakyat Jambi terhadap Penjajahan Belanda
A A A
Pemberian kedudukan demang pada orang luar Jambi oleh pemerintahan Belanda serta mahalnya harga beras sejak tahun 1911, sedangkan upah kerja sebagai penyadap karet rendah menimbulkan keresahan pada masyarakat Jambi. Oleh karena itu pada awal pemerintahan kolonial Belanda di Jambi banyak terjadi gerakan sosial.

Gerakan-gerakan sosial yang terjadi sejak tahun 1910 sampai tahun 1916 mempunyai ciri antara lain, bersifat lokal, tidak terorganisir, dan berumur singkat.

Misalnya pada tahun 1910 perlawanan-perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda dimulai di Sarolangun dan Muara Tembesi. Di dusun Sungai Dingin, distrik Datuk Nan Betigo seorang pemuda bernama Alam Bidar yang menyebut dirinya sebagai Imam Mahdi dan menyerukan supaya penduduk daerah itu tidak membayar pajak dan memenuhi panggilan heerendiensten.

Pemerintah kolonial yang mendapat berita mengenai Alam Bidar ini segera memerintahkan demang dan sepasukan polisi untuk mengadakan penyelidikan dan penangkapan. Alam Bidar dan pengikutnya mengadakan perlawanan dan akhirnya Alam Bidar beserta dua orang pengikutnya terbunuh.

Pada tahun 1914 di Bangko terjadi pula gerakan anti kafir yang dipimpin oleh kedemang Ali. Kedemang Ali dan pengikutnya merencanakan pembunuhan terhadap kontrolir Bangko. Tetapi rencana ini diketahui dan 39 anggota gerakan itu ditangkap. Kedemang Ali sendiri dapat meloloskan diri tetapi akhirnya pada tahun 1914 Ali terbunuh oleh pasukan militer Belanda.

Perlawanan rakyat Jambi yang cukup dominan terjadi ketika ketidak puasan rakyat mendapat sambutan dari Sarekat Islam. Cabang dari oganisasi Sarekat Islam didirikan di Jambi pada bulan Mei 1914 oleh Raden Gunawan (ketua Sarekat Islam Jawa Barat dan termasuk Sumatera Selatan).

Seperti di daerah lain di Indonesia, anggota Sarekat Islam yang mula-mula adalah mereka dari golongan menengah yang terdiri dari pegawai dan pedagang. Dalam waktu kurang dari 3 bulan Sarekat Islam di Jambi telah berhasil menarik anggota lebih dari 2.000 orang.

Akan tetapi pada bulan Juli 1914 Residen Jambi memerintahkan supaya penerimaan anggota dibekukan sementara karena menurut pemerintah telah berakibat buruk, antara lain peristiwa kedemang Ali di Bangko.

Pada waktu perintah pembekuan dikeluarkan masih banyak calon anggota dari pedalaman yang masih menunggu untuk diambil sumpahnya. Mereka ini kemudian berusaha menjadi anggota Sarekat Islam di Rawas (Palembang) yang didirikan pada bulan Juni 1914 oleh Raden Gunawan.

Usaha mereka menemui kesulitan karena pada waktu itu perjalanan ke luar distrik memerlukan izin dari pemerintah kolonial Belanda. Walau pun demikian penduduk Sarolangun dan Muara Tembesi secara diam-diam pergi ke Rawas untuk mendaftarkan diri, sehingga pada bulan Agustus 1915 dikabarkan bahwa hampir seluruh penduduk Lubuk Resam dan Tiga Dusun telah menjadi anggota Sarekat Islam.

Sarekat Islam di Rawas ini berlainan dengan Sarekat Islam yang berdiri di Jambi yang merupakan organisasi kelas menengah yang bergerak dalam usaha memperbaiki kondisi sosial ekonomi golongan bumiputera.

Sebaliknya Sarekat Islam di Rawas yang berada di pedalaman merupakan organisasi rakyat yang radikal dan lebih dikenal sebagai Sarekat Abang. Organisasi ini tidak mengembangkan struktur organisasi seperti Sarekat Islam.

Sarekat Abang memulai gerakannya di Muara Tembesi pada tanggal 26 Agustus 1916 dipimpin oleh Duahid bin Dualip, seorang penyadap karet. Duahid ini sesungguhnya adalah seorang hukuman yang melarikan diri dengan terjun dari kapal yang akan membawanya ke Batavia.

Mula-mula ia mengaku sebagai Raden Gunawan kemudian berganti menjadi Raden Mat Tahir. Pergantian-pergantian nama ini dilakukan karena beberapa pemimpin lain mulai memakai nama tokoh sejarah yang dianggap lebih tinggi derajat legitimasinya, seperti Sultan Taha, pangeran Ratu dan lain-lain.

Para pemimpin pergerakan rakyat ini berasal dari segala lapisan, seperti buruh di perkebunan karet, guru agama ataupun guru ilmu abang, kepala dusun, petani biasa atau pun keturunan bangsawan Jambi.

Pemberontakan rakyat Jambi dimulai dengan beredarnya kabar pada tanggal 26 Agustus 1916 yang diterima oleh ketua partai Sarekat Islam di Muara Tembesi bahwa rakyat Jambi akan melakukan penyerangan.

Pada hari yang sama serangan kelompok massa terhadap pejabat pemerintah dan kantor-kantor pemerintah di kota Muara Tembesi terjadi. Massa membakar tangsi, membuka paksa penjara dan membebaskan tahanan, merusak kantor pos, dan menjarah rumah-rumah orang China dan para pejabat.

Mereka juga melakukan pembunuhan terhadap seorang agen pemerintah, opsir kesehatan orang Jawa, dan pengurus rumah tangga seorang demang. Penduduk Muara Tembesi dipaksa menjadi anggota Sarekat Islam

Pada saat serangan terjadi kontrolir dan Demang Arbain tidak berada di Muara Tembesi. Setelah mereka mendapat berita tentang kejadian penyerangan di Muara Tembesi maka mereka kembali dengan menggunakan kapal Muara Enim.

Pada saat memasuki Muara Tembesi kapal mendapat tembakan-tembakan dari tepi sungai, maka kapal Muara Enim tidak jadi singgah di Muara Tembesi melainkan terus menghilir ke Jambi. Peristiwa penembakan itu ternyata melukai Demang Arbain. Akhirnya demang pun meninggal dunia di Jambi.

Selain di Muara Tembesi kerusuhan terjadi di hampir semua Ibu Kota Afdeeling, kecuali Muara Bungo, Kota Jambi, dan Kerinci. Di Muara Bungo perlawanan rakyat sama sekali tidak sempat berkembang oleh karena tindakan keras kontrolir yang memerintahkan supaya tiga orang pemimpin yang tertangkap dijatuhi hukuman mati pada waktu itu juga.

Padahal di berbagai tempat, seperti di Sarolangun (Jambi), Bangko, dan Surulangun di Rawas, dan Muara Tebo terjadi serangan terhadap pos-pos pemerintah. Misalnya, kantor pos di Muara Tebo dibakar, serangan massa di Sarolangun mengakibatkan terbunuhnya kontrolir J. Walter dan seorang pribumi pegawai pemerintah. Nasib orang Eropa yang berada di Sarolangun mencemaskan dan orang Eropa yang berada di Muara Tebo dikabarkan melarikan diri.

Di daerah Muara Tebo serangan pasukan Saerekay Islam terhadap pemerintah kolonial Belanda dilakukan pada tanggal 1 dan 2 September 1916. Serangan itu ditujukan pada rumah kontrolir dan kantor pos. Dalam serangan ini pasar Muara Tebo terbakar habis. Di daerah Bangko penyerangan dipimpin oleh Manna bin Andun yang berasal dari Semurung, Air Hitam.

Serangan dilakukan pada tanggal 11 September 1916 dengan kekuatan 1500 orang. Dalam serangan ini terjadi pembakaran rumah kontrolir, pasar dan beberapa rumah lain. Serangan terhadap tangsi tentara Belanda di Bangko, tempat kontrolir dan demang mengungsi

Kerusuhan dapat berkembang karena para komandan militer setempat hanya memiliki pasukan sedikit, sehingga memerlukan bantuan pasukan dari daerah lain. Keberanian massa melakukan penyerangan karena adanya keyakinan mereka tentang kekuatan yang tidak terlihat akan membantu mereka.

Mereka melakukan serangan hanya bersenjatakan pisau. Sasaran serangan adalah para pejabat lokal yang dianggap bekerja sama dengan ‘orang kafir’ dan kantor-kantor pemerintah. Perlawanan rakyat di Muara Tembesi baru dapat diatasi pada tanggal 2 September 1916 dengan bantuan pasukan dari Palembang, dan Muara Tembesi dapat diduduki pemerintah kembali. Korban dari pihak rakyat dalam penyerangan ini adalah 50 orang meninggal dunia.

Sumber:
wikipedia
explorejambi
diolah dari berbagai sumber

(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7975 seconds (0.1#10.140)