Kepala BNPT Wacanakan Napi Teroris Dihukum Bukan Hitungan Tahun
loading...
A
A
A
CILACAP - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Mohammed Rycko Amelza Dahniel mewacanakan hukuman napi teroris (napiter) bukan hitungan tahun.
Rycko menilai hukuman bagi napiter tidak bisa disamakan dengan pelaku pidana lain seperti pembunuhan, narkotika, dan semacamnya yang menggunakan masa lama tahanan.
Meskipun sudah dikenakan 25 tahun masa hukuman, namun napiter tersebut keluar dalam keadaan masih merah, ia akan tetap berbahaya di tengah masyarakat.
“Mazhab hukuman harus dirubah. Hukum teroris itu harusnya bukan hitungan tahun, tapi kapan cara berpikirnya berubah. Jika enam bulan sudah berubah, maka ia bisa dibebaskan,” kata Rycko saat kunjungan kerja di Pulau Nusakambangan, dikutip Selasa (21/11/2023).
Kepala BNPT menyinggung soal tantangan program deradikalisasi yang tercantum dalam UU No. 7 Tahun 2021 di mana sifatnya adalah sukarela. Karena perlu adanya tindakan efektif agar tantangan ini bisa dijawab dengan baik. Ia mengusulkan tentang perlunya meninjau kisah para napiter yang sukses dideradikalisasi sebelumnya.
“Kita belajar dari success story mereka yang sudah berhasil (hijau), di mana mereka tersentuh sehingga bisa dipertimbangkan untuk dilakukan juga (pada yang lain). Success story itu dipelajari, dievaluasi, sembari tetap membuka pintu terhadap potensi apa saja yang bisa membuka hati para napiter,” tutur Rycko.
“Kita harus sukseskan program deradikalisasi agar semua orang bisa seperti Umar Patek, untuk melakukan sosialiasi kepada yang belum berubah,” sambungnya.
Rycko menegaskan bahwa bangsa Indonesia dibangun atas dasar perbedaan, maka paham yang tidak bisa menerima perbedaan bisa sangat mengancam keutuhan bangsa. Status rekrutmen ini menurutnya juga perlu dipahami karena sejatinya simpatisan dan pelaku bom adalah korban dari ideolog.
Sementara Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham Irjen Pol Reynhard Saut Poltak Silitonga menjekaskan bahwa petugas lapas tidak lagi menghukum. Akan tapi membina supaya napi kalau keluar dia tidak mengulangi lagi perbuatannya.
“Para napi dilatih kepribadian dengan kajian keagamaan, dan kemandirian dengan berbagai pelatihan,” terang Reynhard.
Sedangkan Direktur Deradikalisasi BNPT Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid menambahkan bahwa pendekatan berbasis kemanusiaan penting untuk membuat napiter merasa diperhatikan. Oleh karena itu, dalam proses deradikalisasi perlu membangun kepercayaan antara petugas Lapas dan Napiter.
“Trust building dengan pendekatan kemanusiaan perlu dilakukan. Karena itu kita punya rumah singgah untuk keluarga napiter, ada pelayanan pemeriksaan gigi, konseling, supaya mereka terbuka untuk komunikasi,” papar Ahmad Nur Wahid.
“Karena mereka benci pada petugas, maka perlu pendekatan kemanusiaan,” sambungnya.
Nurwakhid menyebutkan, dari 118 napiter yang masuk dalam program deradikalisasi, tingkat keberhasilannya adalah dua pertiga dari seratus persen. Sebanyak 35 persen berakhir ikrar NKRI, 27 persen berubah namun belum ikrar, sedangkan 38 persen belum berubah sama sekali.
Kalapas Kelas I Batu Nusakambangan Mardi Santoso menyinggung soal absennya tenaga psikologi dan program perencanaan pembinaan kepribadian berdasarkan tingkat pemahaman radikalisme.
“Salah satu kendalanya adalah keluarga dan masyarakat belum bisa menerima napiter yang mendapat program integrasi,” ujarnya.
Rycko menilai hukuman bagi napiter tidak bisa disamakan dengan pelaku pidana lain seperti pembunuhan, narkotika, dan semacamnya yang menggunakan masa lama tahanan.
Meskipun sudah dikenakan 25 tahun masa hukuman, namun napiter tersebut keluar dalam keadaan masih merah, ia akan tetap berbahaya di tengah masyarakat.
“Mazhab hukuman harus dirubah. Hukum teroris itu harusnya bukan hitungan tahun, tapi kapan cara berpikirnya berubah. Jika enam bulan sudah berubah, maka ia bisa dibebaskan,” kata Rycko saat kunjungan kerja di Pulau Nusakambangan, dikutip Selasa (21/11/2023).
Kepala BNPT menyinggung soal tantangan program deradikalisasi yang tercantum dalam UU No. 7 Tahun 2021 di mana sifatnya adalah sukarela. Karena perlu adanya tindakan efektif agar tantangan ini bisa dijawab dengan baik. Ia mengusulkan tentang perlunya meninjau kisah para napiter yang sukses dideradikalisasi sebelumnya.
“Kita belajar dari success story mereka yang sudah berhasil (hijau), di mana mereka tersentuh sehingga bisa dipertimbangkan untuk dilakukan juga (pada yang lain). Success story itu dipelajari, dievaluasi, sembari tetap membuka pintu terhadap potensi apa saja yang bisa membuka hati para napiter,” tutur Rycko.
“Kita harus sukseskan program deradikalisasi agar semua orang bisa seperti Umar Patek, untuk melakukan sosialiasi kepada yang belum berubah,” sambungnya.
Rycko menegaskan bahwa bangsa Indonesia dibangun atas dasar perbedaan, maka paham yang tidak bisa menerima perbedaan bisa sangat mengancam keutuhan bangsa. Status rekrutmen ini menurutnya juga perlu dipahami karena sejatinya simpatisan dan pelaku bom adalah korban dari ideolog.
Sementara Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham Irjen Pol Reynhard Saut Poltak Silitonga menjekaskan bahwa petugas lapas tidak lagi menghukum. Akan tapi membina supaya napi kalau keluar dia tidak mengulangi lagi perbuatannya.
“Para napi dilatih kepribadian dengan kajian keagamaan, dan kemandirian dengan berbagai pelatihan,” terang Reynhard.
Sedangkan Direktur Deradikalisasi BNPT Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid menambahkan bahwa pendekatan berbasis kemanusiaan penting untuk membuat napiter merasa diperhatikan. Oleh karena itu, dalam proses deradikalisasi perlu membangun kepercayaan antara petugas Lapas dan Napiter.
“Trust building dengan pendekatan kemanusiaan perlu dilakukan. Karena itu kita punya rumah singgah untuk keluarga napiter, ada pelayanan pemeriksaan gigi, konseling, supaya mereka terbuka untuk komunikasi,” papar Ahmad Nur Wahid.
“Karena mereka benci pada petugas, maka perlu pendekatan kemanusiaan,” sambungnya.
Nurwakhid menyebutkan, dari 118 napiter yang masuk dalam program deradikalisasi, tingkat keberhasilannya adalah dua pertiga dari seratus persen. Sebanyak 35 persen berakhir ikrar NKRI, 27 persen berubah namun belum ikrar, sedangkan 38 persen belum berubah sama sekali.
Kalapas Kelas I Batu Nusakambangan Mardi Santoso menyinggung soal absennya tenaga psikologi dan program perencanaan pembinaan kepribadian berdasarkan tingkat pemahaman radikalisme.
“Salah satu kendalanya adalah keluarga dan masyarakat belum bisa menerima napiter yang mendapat program integrasi,” ujarnya.
(shf)