Jabar Masuk 3 Besar Provinsi Paling Rawan Politik Uang di Pemilu 2024
loading...
A
A
A
BANDUNG - Jawa Barat menjadi salah satu provinsi dengan tingkat kerawanan politik uang paling tinggi dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang. Hal itu berdasarkan pemetaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Jabar berada pada urutan tiga teratas provinsi paling rawan politik uang di Indonesia. Adapun 5 besar tingkat kerawanan tinggi terkait isu politik uang, yakni Maluku Utara, Lampung, Jabar, Banten, dan Sulawesi Utara.
Sedangkan DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur masuk kategori kerawanan sedang.
Anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty mengatakan, pemetaan kerawanan isu politik uang menjadi kebutuhan dalam menghadapi Pemilu 2024. Sebab potret pelanggaran politik uang relatif tinggi jika berkaca pada pemilu sebelumnya.
”Situasi kekinian sekarang modus operandinya banyak, Bawaslu berkebutuhan penting untuk memastikan kami lebih detail berkenaan memetakan kerawanan,” kata Lolly di Launching Pemetaan Kerawanan Pemilu dan Pilkada 2024 di Bandung, Senin (14/8/2023).
Lolly mengaku, Jabar masuk dalam kerawanan tinggi politik uang. Alhasil, pemetaan tersebut harus menjadi atensi semua pihak.
”Tidak hanya Bawaslu, tapi pemerintah, seluruh pihak, termasuk partai politik, supaya menjaga, memastikan 2024 kita tidak tinggi angka penanganan pelanggaran politik uangnya,” ujarnya.
Menurut Lolly, pencegahan dan penanganan politik uang ini bukan hanya sekadar tugas dari Bawaslu. Semua pihak, kata Lolly, harus ikut mengawal agar politik uang tidak terjadi di pemilu mendatang.
”Semua orang bertanggungjawab untuk tahu soal mitigasi ini, pemetaan ini, lalu punya upaya yang sama yang tepat untuk mencegahnya,” jelas Lolly.
Selain itu, Lolly juga menyoroti pelaku politik uang yang satu di antaranya adalah penyelenggara ad hoc. Temuan tersebut terjadi pada rentang 2019 hingga 2020 dan sudah ada putusan dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
”Apa warningnya buat Bawaslu? Tidak hanya buat Bawaslu karena kalau penyelenggara berarti dia juga menyangkut KPU. Warningnya kami harus lebih ketat dan kuat lagi memastikan jajaran kami gak ada yang nakal,” tuturnya.
Lolly lantas menguraikan alasan dari ad hoc menjadi pelaku politik uang. Selain karena masa kerjanya sebentar, mereka pun dekat dengan kepentingan dan dekat dengan konflik. Kemudian, gaji penyelenggara ad hoc tidak terlalu tinggi.
Sebab mereka memang melakukan kerja-kerja pengabdian. ”Dalam posisi seperti itu, maka penyelenggara ad hoc menjadi sangat rentan, sebagai pelaku politik uang untuk itu hal ini harus diperhatikan,” tandasnya.
Jabar berada pada urutan tiga teratas provinsi paling rawan politik uang di Indonesia. Adapun 5 besar tingkat kerawanan tinggi terkait isu politik uang, yakni Maluku Utara, Lampung, Jabar, Banten, dan Sulawesi Utara.
Sedangkan DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur masuk kategori kerawanan sedang.
Anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty mengatakan, pemetaan kerawanan isu politik uang menjadi kebutuhan dalam menghadapi Pemilu 2024. Sebab potret pelanggaran politik uang relatif tinggi jika berkaca pada pemilu sebelumnya.
”Situasi kekinian sekarang modus operandinya banyak, Bawaslu berkebutuhan penting untuk memastikan kami lebih detail berkenaan memetakan kerawanan,” kata Lolly di Launching Pemetaan Kerawanan Pemilu dan Pilkada 2024 di Bandung, Senin (14/8/2023).
Lolly mengaku, Jabar masuk dalam kerawanan tinggi politik uang. Alhasil, pemetaan tersebut harus menjadi atensi semua pihak.
”Tidak hanya Bawaslu, tapi pemerintah, seluruh pihak, termasuk partai politik, supaya menjaga, memastikan 2024 kita tidak tinggi angka penanganan pelanggaran politik uangnya,” ujarnya.
Menurut Lolly, pencegahan dan penanganan politik uang ini bukan hanya sekadar tugas dari Bawaslu. Semua pihak, kata Lolly, harus ikut mengawal agar politik uang tidak terjadi di pemilu mendatang.
”Semua orang bertanggungjawab untuk tahu soal mitigasi ini, pemetaan ini, lalu punya upaya yang sama yang tepat untuk mencegahnya,” jelas Lolly.
Selain itu, Lolly juga menyoroti pelaku politik uang yang satu di antaranya adalah penyelenggara ad hoc. Temuan tersebut terjadi pada rentang 2019 hingga 2020 dan sudah ada putusan dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
”Apa warningnya buat Bawaslu? Tidak hanya buat Bawaslu karena kalau penyelenggara berarti dia juga menyangkut KPU. Warningnya kami harus lebih ketat dan kuat lagi memastikan jajaran kami gak ada yang nakal,” tuturnya.
Lolly lantas menguraikan alasan dari ad hoc menjadi pelaku politik uang. Selain karena masa kerjanya sebentar, mereka pun dekat dengan kepentingan dan dekat dengan konflik. Kemudian, gaji penyelenggara ad hoc tidak terlalu tinggi.
Sebab mereka memang melakukan kerja-kerja pengabdian. ”Dalam posisi seperti itu, maka penyelenggara ad hoc menjadi sangat rentan, sebagai pelaku politik uang untuk itu hal ini harus diperhatikan,” tandasnya.
(ams)