Kisah Perdamaian Mataram dengan Belanda di Era Sultan Amangkurat I

Senin, 19 Juni 2023 - 06:10 WIB
loading...
Kisah Perdamaian Mataram dengan Belanda di Era Sultan Amangkurat I
Kerajaan Mataram Islam. Foto/Dok. jogjaprov.go.id
A A A
Usai serangan bergelombang ke Batavia, yang dipimpin Sultan Agung, Kerajaan Mataram akhirnya memutuskan berdamai dengan Belanda. Kesepakatan perdamaian dengan Belanda ini, dilakukan raja baru Kerajaan Mataram, Sultan Amangkurat I yang merupakan putra dari Sultang Agung.



Kerajaan Mataram harus menandatangani beberapa poin dalam kesepakatan perdamaian tersebut. Persyaratan yang ditandatangani dalam perjanjian itu, merupakan hasil perundingan antara kedua belah pihak yang diwakili para utusan.



Perundingan perdamaian Kerajaan Mataram, dengan Belanda itu, berlangsung sekitar bulan Agustus 1646. H.J. De Graaf dalam bukunya "Disintegrasi Mataram: Dibawah Mangkurat I", pada utusan itu bukan lagi mewakili atas nama Tumenggung Wiraguna atau Tumenggung Mataram, tetapi juga bertindak atas nama Sunan Mataram sendiri dan mempunyai kuasa untuk mengubah usul-usul mereka.



Hasil perundingan-perundingan di Batavia itu dituangkan dalam enam pasal, empat yang pertama di antaranya sama dengan usul pihak Jawa, dan hanya dalam pasal yang terakhir diadakan dua perubahan.

Menurut pasal 1, kompeni dengan berkedok perjalanan perdagangan akan mengirim perutusan setiap tahun kepada Sunan Mataram, yang sudah tentu tidak mungkin datang dengan tangan hampa. Ini sungguh-sungguh sama seperti berdatang sembah sekali setiap tahun.

Berdasarkan pasal 2, maka jika Sunan Mataram meminta, pihak Belanda bersedia mengangkut para ulama, misalnya ke Mekkah. Hal ini memang sebelumnya pernah ditawarkan oleh kompeni. Namun, Sunan Mataram tidak pernah mengajukan permintaan demikian.



Menurut pasal 3, semua orang Belanda yang ditawan di Mataram, akan dibebaskan. Kecuali yang telah disunat dan yang kebanyakan sudah beristrikan wanita Jawa, mereka semua telah dibebaskan. Pada akhirnya semua tawanan akan mendapatkan kembali kebebasan mereka, yaitu pada tahun 1649 dan 1651.

Di pasal 4 dilakukan saling penyerahan orang-orang yang berutang. Pasal ini mungkin diusulkan oleh kompeni, yang juga akan menarik keuntungan paling besar dari pasal tersebut, yaitu sudah pada tahun 1648. Yang dimaksudkan adalah debitur-debitur China yang merasa aman di daerah Mataram.

Konsekuensi kedudukan sebagai vazal, menurut pengertian Jawa, membawa keharusan untuk membantu Sultan Amangkurat I dalam setiap peperangan yang dilakukannya. Kompeni tidak mau menerima hal ini, dan hanya mau mendukung raja dalam menghadapi musuh-musuh yang juga menjadi musuhnya sendiri.



Oleh karena itu, kemudian tidak terdapat sikap saling membantu. Dengan demikian, pasal 5 ini praktis tidak banyak artinya. Pemerintah kompeni Belanda juga tidak dapat menerima permintaan supaya semua pedagang di bawah kekuasaan Raja Mataram, boleh secara bebas berlayar dan berdagang di mana-mana, dan juga tidak akan merintangi orang Melayu yang menuju Istana.

Sebab, ini akan berarti hancurnya sistem perdagangan kompeni. Oleh karena itu, pasal 6 melarang pelayaran bebas di Kepulauan Maluku, dan lebih jauh dari Malaka. Anehnya, perdagangan bebas bagi orang Belanda di pelabuhan-pelabuhan Mataram tidak terjamin. Hal ini setelah tahun 1652 akan menimbulkan kejutan-kejutan yang tidak menyenangkan.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1026 seconds (0.1#10.140)