Menguak Misteri Pangeran Pajajaran di Situs Cagar Alam Batu Kalde
loading...
A
A
A
Balok-balok batu berserekan di permukaan tanah, sebagian juga masih terlihat tertanam di tanah. Balok-balok batu beserta sejumlah arca tersebut, berada di Situs Batu Kalde, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat.
Arca yang ditemukan di kawasan situs cagar alam Batu Kalde tersebut, antara lain dalam bentuk Nandi, Yono, dan Lingga. Diduga, arca dan balok-balok batu di daerah Pananjung tersebut, merupakan reruntuhan candi era kerajaan Hindu.
Dilansir dari tourism.pangandarankab.go.id, struktur bangunan berupa balok-balok batu tersebut telah mengalami abrasi air laut, karena kawasan itu kerap terendam air laut saat terjadi air pasang.
"Hal yang menarik adalah, di antara onggokan batu-batu terdapat sebuah yoni yang bagian atasnya pecah, arca nandi, dan bagian atas sebuah lapik (pedestal) bulatan cembung di atas bentuk persegi rendah, di sudut-sudutnya dihias dengan bentuk simbar sudut," tulis situs tourism.pangandarankab.go.id.
Struktur bangunan yang diduga bangunan candi bercorak Hindu tersebut, juga banyak disebut dengan nama Candi Pananjung. Dalam tourism.pangandarankab.go.id disebutkan, ada laporan perjalanan pendeta Bujangga Manik, pada abad ke-15 Masehi, sepulang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, disebutkan singgah di suatu desa yang bernama Pananjung.
Dalam catatan tersebut, disebutkan wilayah Desa Pananjung, berada di sebuah tanjung yang menjorok ke laut selatan. Diduga, Bujangga Manik, yang merupakan pendeta Hindu Sunda telah mengunjungi Batu Kalde.
Batu Kalde atau juga disebut Candi Candha Wasi di Pananjung tersebut, diduga selain merupakan tempat peribadatan, juga sebagai tempat peristirahatan Raja Galuh Pangauban, bernama Maharaja Sanghiyang Cipta atau Prabu Linggawesi.
Candi Candha Wasi itu terdiri dari batu arca sapi yang biasa disebut sapi gumarang berukuran 1 x 1 x 0,6 m² dengan tinggi 5 meter mirip berukuran Kijang yang dalam Bahasa Sunda Kalde. Di lokasi tersebut, juga terdapat lima makam kuno.
Cerita tutur yang berkembang di masyarakat setempat, memaparkan kisah arca sapi ini merupakan nisan salah seorang menteri pertanian bernama Arya Sapi Gumarang, dari Kerajaan Pananjung yang sukses meningkatkan produktifitas pertanian. Untuk mengenang jasanya, maka pada kuburannya dibuatkana arca berbentuk sapi jantan.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Pangandaran, juga menyebutkan bahwa selain sebagai tempat peribadatan Hindu dan pencarian ilmu, Batu Kalde juga sebagai tempat pemakaman atau peristirahatan akhir Raja Galuh Maharaja Sanghiyang Cipta atau Prabu Linggawesi.
Dalam Waosan Babad Galuh tersirat, setelah Prabu Linggawesi wafat, jasadnya disempurnakan di Candi Candha Wasi yang lokasinya terletak di sebuah semenanjung Pantai Selatan.
Pada Waosan Babad Galuh juga diterangkan, saat prosesi pemakaman di sepanjang jalan dari mulai Ciputrapinggan ke lokasi Candi Canda Wasi rakyat duduk berlapis-lapis memberikan penghormatan terakhir pada raja.
Antrean rakyat yang memberikan penghormatan terakhir kepada Raja Galuh Pangauban Maharaja Sanghiyang Cipta, disebutkan sampai berjubel dari puri keraton yang terletak di Ciputrapinggan, hingga Candi Candha Wasi.
Rasa hormat yang tinggi masyarakat kepada raja, terlihat dari berbagai macam prosesi kebudayaan digelar dalam acara pemakaman raja tersebut. Arak-arakan juga digelar, untuk mengantarkan jenazah ke tempat peristirahat terakhir, yakni berupa arak-arakan payung asri, payung kembar, dan payung agung.
Keterangan dalam Waosan Babad Galuh, merupakan penegasan jika sekitar Abad 14 Candi Candha Wasi merupakan tempat yang dinilai suci dan sakral semasa masyarakat menganut ajaran Hindu.
Baca Juga
Arca yang ditemukan di kawasan situs cagar alam Batu Kalde tersebut, antara lain dalam bentuk Nandi, Yono, dan Lingga. Diduga, arca dan balok-balok batu di daerah Pananjung tersebut, merupakan reruntuhan candi era kerajaan Hindu.
Dilansir dari tourism.pangandarankab.go.id, struktur bangunan berupa balok-balok batu tersebut telah mengalami abrasi air laut, karena kawasan itu kerap terendam air laut saat terjadi air pasang.
"Hal yang menarik adalah, di antara onggokan batu-batu terdapat sebuah yoni yang bagian atasnya pecah, arca nandi, dan bagian atas sebuah lapik (pedestal) bulatan cembung di atas bentuk persegi rendah, di sudut-sudutnya dihias dengan bentuk simbar sudut," tulis situs tourism.pangandarankab.go.id.
Struktur bangunan yang diduga bangunan candi bercorak Hindu tersebut, juga banyak disebut dengan nama Candi Pananjung. Dalam tourism.pangandarankab.go.id disebutkan, ada laporan perjalanan pendeta Bujangga Manik, pada abad ke-15 Masehi, sepulang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, disebutkan singgah di suatu desa yang bernama Pananjung.
Dalam catatan tersebut, disebutkan wilayah Desa Pananjung, berada di sebuah tanjung yang menjorok ke laut selatan. Diduga, Bujangga Manik, yang merupakan pendeta Hindu Sunda telah mengunjungi Batu Kalde.
Batu Kalde atau juga disebut Candi Candha Wasi di Pananjung tersebut, diduga selain merupakan tempat peribadatan, juga sebagai tempat peristirahatan Raja Galuh Pangauban, bernama Maharaja Sanghiyang Cipta atau Prabu Linggawesi.
Candi Candha Wasi itu terdiri dari batu arca sapi yang biasa disebut sapi gumarang berukuran 1 x 1 x 0,6 m² dengan tinggi 5 meter mirip berukuran Kijang yang dalam Bahasa Sunda Kalde. Di lokasi tersebut, juga terdapat lima makam kuno.
Cerita tutur yang berkembang di masyarakat setempat, memaparkan kisah arca sapi ini merupakan nisan salah seorang menteri pertanian bernama Arya Sapi Gumarang, dari Kerajaan Pananjung yang sukses meningkatkan produktifitas pertanian. Untuk mengenang jasanya, maka pada kuburannya dibuatkana arca berbentuk sapi jantan.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Pangandaran, juga menyebutkan bahwa selain sebagai tempat peribadatan Hindu dan pencarian ilmu, Batu Kalde juga sebagai tempat pemakaman atau peristirahatan akhir Raja Galuh Maharaja Sanghiyang Cipta atau Prabu Linggawesi.
Dalam Waosan Babad Galuh tersirat, setelah Prabu Linggawesi wafat, jasadnya disempurnakan di Candi Candha Wasi yang lokasinya terletak di sebuah semenanjung Pantai Selatan.
Pada Waosan Babad Galuh juga diterangkan, saat prosesi pemakaman di sepanjang jalan dari mulai Ciputrapinggan ke lokasi Candi Canda Wasi rakyat duduk berlapis-lapis memberikan penghormatan terakhir pada raja.
Antrean rakyat yang memberikan penghormatan terakhir kepada Raja Galuh Pangauban Maharaja Sanghiyang Cipta, disebutkan sampai berjubel dari puri keraton yang terletak di Ciputrapinggan, hingga Candi Candha Wasi.
Rasa hormat yang tinggi masyarakat kepada raja, terlihat dari berbagai macam prosesi kebudayaan digelar dalam acara pemakaman raja tersebut. Arak-arakan juga digelar, untuk mengantarkan jenazah ke tempat peristirahat terakhir, yakni berupa arak-arakan payung asri, payung kembar, dan payung agung.
Keterangan dalam Waosan Babad Galuh, merupakan penegasan jika sekitar Abad 14 Candi Candha Wasi merupakan tempat yang dinilai suci dan sakral semasa masyarakat menganut ajaran Hindu.
(eyt)