Cerita Gubernur Edy Pernah Merokok hingga 8 Bungkus Sehari, Kini Dukung Perda Kawasan Tanpa Rokok
loading...
A
A
A
MEDAN - Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Edy Rahmayadi berbagi cerita soal rokok yang pernah menjadi candu baginya, terutama sebelum lulus akademi. Bahkan baru berhenti total saat menyandang pangkat Letkol.
Cerita tersebut disampaikan Edy Rahmayadi dalam kegiatan Advokasi Perda KTR di Aula Raja Inal Siregar (RIS), Kantor Gubernur Sumut, Jalan Diponegoro Nomor 30, Medan, Kamis (25/5/2023).
“Saya bisa habiskan rokok 8 bungkus per hari dulu, terutama setelah saya lulus dari akademi, tahun 2005 saat pangkat saya Letkol saya benar-benar berhenti, makanya sekarang saya kesal sama perokok, terutama yang tidak tahu tempat, sehingga merugikan orang lain,” katanya.
Kini gubernur Edy mendukung pembentukan Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok. Perda tersebut diharapkan mampu melindungi masyarakat yang tidak merokok menjadi perokok pasif dan mengurangi perokok aktif.
Hanya saja, menurut Edy Rahmayadi, hal yang lebih penting dalam mengurangi perokok dan melindungi masyarakat menjadi perokok pasif adalah implementasi di lapangan. Di beberapa daerah, menurutnya merokok di ruang publik atau di dalam gedung merupakan hal yang lumrah.
“Ini kebiasaan, kebiasaan yang buruk, jadi tidak cukup hanya dengan Perda, dan tentu kita tidak bisa menghapuskan 100% perokok, tetapi paling tidak kita bisa menyelamatkan anak-anak kita. Kita bisa akali dengan menyediakan ruang merokok yang tidak nyaman, denda besar kepada perokok yang melanggar atau cara lainnya,” kata gubernur.
Sebagai langkah awal, Edy Rahmayadi memerintahkan OPD untuk menerapkan kawasan tanpa rokok di kantornya masing-masing. Dia juga ingin ini diterapkan di sekolah-sekolah melalui larangan merokok di sekolah termasuk untuk guru.
“Setelah ini kita kumpulkan OPD, kepala sekolah juga untuk menerapkan kawasan tanpa rokok, mustahil kalian larang anak didik kalau kalian sendiri merokok di depan mereka,” tegasnya.
Sementara, Direktur Produk Hukum Daerah Kemendagri Makmur Marbun mengatakan, ada 8 kabupaten/kota yang belum memiliki Perda/Perkada KTR di Sumut. Daerah tersebut antara lain Kabupaten Karo, Labuhanbatu, Labuhanbatu Selatan, Nias, Nias Barat, Simalungun, Kota Gunungsitoli dan Tanjung Balai.
“Masih ada 8 daerah lagi yang belum ada Perda KTR di Sumut, ada Perda-nya saja masih sulit, apalagi belum ada, karena itu kita mulai bergerak dari Perda,” kata Makmur Marbun.
Menurut keterangan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Eva Susanti ada peningkatan perilaku merokok pemula. Dari 7,20% tahun 2013 meningkat menjadi 10,7% di 2019 dan diprediksi meningkat ke angka 16% di tahun 2030.
“Prevalensi perokok dewasa juga terus meningkat, sekitar 70,2 juta (34,5%) orang dewasa Indonesia merokok sedangkan untuk rokok elektrik meningkat 10 kali lipat dari tahun 2011 ke tahun 2021,” kata Eva Susanti.
Mirisnya, berdasarkan data BPS tahun 2021 pengeluaran keluarga untuk konsumsi rokok 3 kali lipat lebih tinggi dari pada pengeluaran untuk protein. Data BPS menunjukkan rokok peringkat kedua pengeluaran per kapita masyarakat perkotaan 19,69% untuk beras dan 11,3% untuk rokok kretek filter. Sedangkan untuk pedesaan 23.79% untuk beras disusul rokok 10,78%.
“Masalah ini semakin pelik karena tidak sedikit masyarakat yang sejatinya kurang mampu malah mengalokasikan uangnya untuk rokok ketimbang protein atau gizi tambahan,” tandasnya.
Cerita tersebut disampaikan Edy Rahmayadi dalam kegiatan Advokasi Perda KTR di Aula Raja Inal Siregar (RIS), Kantor Gubernur Sumut, Jalan Diponegoro Nomor 30, Medan, Kamis (25/5/2023).
“Saya bisa habiskan rokok 8 bungkus per hari dulu, terutama setelah saya lulus dari akademi, tahun 2005 saat pangkat saya Letkol saya benar-benar berhenti, makanya sekarang saya kesal sama perokok, terutama yang tidak tahu tempat, sehingga merugikan orang lain,” katanya.
Kini gubernur Edy mendukung pembentukan Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok. Perda tersebut diharapkan mampu melindungi masyarakat yang tidak merokok menjadi perokok pasif dan mengurangi perokok aktif.
Hanya saja, menurut Edy Rahmayadi, hal yang lebih penting dalam mengurangi perokok dan melindungi masyarakat menjadi perokok pasif adalah implementasi di lapangan. Di beberapa daerah, menurutnya merokok di ruang publik atau di dalam gedung merupakan hal yang lumrah.
“Ini kebiasaan, kebiasaan yang buruk, jadi tidak cukup hanya dengan Perda, dan tentu kita tidak bisa menghapuskan 100% perokok, tetapi paling tidak kita bisa menyelamatkan anak-anak kita. Kita bisa akali dengan menyediakan ruang merokok yang tidak nyaman, denda besar kepada perokok yang melanggar atau cara lainnya,” kata gubernur.
Sebagai langkah awal, Edy Rahmayadi memerintahkan OPD untuk menerapkan kawasan tanpa rokok di kantornya masing-masing. Dia juga ingin ini diterapkan di sekolah-sekolah melalui larangan merokok di sekolah termasuk untuk guru.
Baca Juga
“Setelah ini kita kumpulkan OPD, kepala sekolah juga untuk menerapkan kawasan tanpa rokok, mustahil kalian larang anak didik kalau kalian sendiri merokok di depan mereka,” tegasnya.
Sementara, Direktur Produk Hukum Daerah Kemendagri Makmur Marbun mengatakan, ada 8 kabupaten/kota yang belum memiliki Perda/Perkada KTR di Sumut. Daerah tersebut antara lain Kabupaten Karo, Labuhanbatu, Labuhanbatu Selatan, Nias, Nias Barat, Simalungun, Kota Gunungsitoli dan Tanjung Balai.
“Masih ada 8 daerah lagi yang belum ada Perda KTR di Sumut, ada Perda-nya saja masih sulit, apalagi belum ada, karena itu kita mulai bergerak dari Perda,” kata Makmur Marbun.
Menurut keterangan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Eva Susanti ada peningkatan perilaku merokok pemula. Dari 7,20% tahun 2013 meningkat menjadi 10,7% di 2019 dan diprediksi meningkat ke angka 16% di tahun 2030.
“Prevalensi perokok dewasa juga terus meningkat, sekitar 70,2 juta (34,5%) orang dewasa Indonesia merokok sedangkan untuk rokok elektrik meningkat 10 kali lipat dari tahun 2011 ke tahun 2021,” kata Eva Susanti.
Mirisnya, berdasarkan data BPS tahun 2021 pengeluaran keluarga untuk konsumsi rokok 3 kali lipat lebih tinggi dari pada pengeluaran untuk protein. Data BPS menunjukkan rokok peringkat kedua pengeluaran per kapita masyarakat perkotaan 19,69% untuk beras dan 11,3% untuk rokok kretek filter. Sedangkan untuk pedesaan 23.79% untuk beras disusul rokok 10,78%.
“Masalah ini semakin pelik karena tidak sedikit masyarakat yang sejatinya kurang mampu malah mengalokasikan uangnya untuk rokok ketimbang protein atau gizi tambahan,” tandasnya.
(nic)