Cerita Partai Masyumi: Pernah Menjadi Kekuatan Politik Terbesar di Indonesia
loading...
A
A
A
BLITAR - Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) sebagai partai politik berbasis agama Islam dalam perjalanan sejarah NKRI pernah menjadi kekuatan terbesar.
Masyumi berdiri pada 24 Oktober 1943 menyusul dilarangnya Partai Syarikat Islam Indonesia dan Partai Islam Indonesia oleh penjajah Jepang.
Masyumi mula-mula sebuah federasi dari empat organisasi Islam, yakni NU, Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam Indonesia. Namun dalam perjalanannya kemudian berubah menjadi partai politik.
Baca juga: Pedagang Malang Plaza Ungkap Dugaan Pelanggaran Pidana Pengelola Mal Pasca Kebakaran
Pada awal pemerintahan Presiden Soekarno atau Bung Karno, yakni tepatnya masa Demokrasi Liberal, kekuatan politik Masyumi telah mengungguli PNI (Partai Nasionalis Indonesia) yang hanya meraup 41 kursi atau 18 %.
Pada Agustus 1952, sebagai salah satu dari 16 partai yang masuk di parlemen, Masyumi memiliki sebanyak 50 kursi atau 21 %, dan sekaligus menjadi yang terbesar. Pencapaian Masyumi membuktikan kekuatan Islam melebihi kaum nasionalis.
“Masyumi berkat perannya yang menentukan di penghujung revolusi serta di saat kelahiran Republik persatuan, maka ia tampil sebagai kekuatan politik utama di era rezim baru dengan 50 kursi di parlemen,” demikian dikutip dari buku Partai Masjumi, Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral (2013).
Dalam peta politik nasional, Masyumi secara tegas dan gamblang mewakili kekuatan kutub Islam. Sedangkan PNI mewakili kutub golongan kaum nasionalis.
Berbeda dengan Masyumi yang banyak mengambil peran di penghujung revolusi, PNI lebih banyak mendapat untung dari sentimen kebanyakan rakyat Indonesia, yakni yang selalu mengasosiasikannya dengan Bung Karno.
PNI menjadi pewaris tradisi nasionalis akbar di masa sebelum perang sekaligus partai tunggal yang berdiri sehari setelah proklamasi kemerdekaan.
Kendati demikian, karena berbagai aliran di dalamnya, PNI kemudian terpecah -pecah menjadi beberapa partai, yakni Partai Persatuan Indonesia Raya (PIR) dan Partai Rakyat Nasional (PRN) yang masing-masing memiliki 18 kursi dan enam kursi.
“Dengan merekrut pengikut terutama dari kalangan pegawai pemerintah, baik pusat maupun daerah, mereka (PNI) mengusung kepentingan orang kecil dalam suatu bentuk nasionalisme proletarian yang disebut Marhaeinisme”.
Di luar Masyumi dan PNI, pada tahun 1952 itu juga berdiri kekuatan politik yang dianggap mewakili kutub Marxis. Salah satunya adalah PKI (Partai Komunis Indonesia) yang pasca peristiwa Madiun 1948, tidak dilarang.
Kendati demikian, dengan dibubarkannya FDR (Front Demokrasi Rakyat) PKI mengalami kemunduran besar. PKI juga tidak diterima bergabung ke dalam pemerintahan.
Namun sejumlah partai yang senafas (Marxis), tapi secara politik pesaing PKI, berhasil masuk pemerintahan. Di antaranya adalah Partai Murba yang meski hanya memiliki empat kursi di parlemen, namun tak sedikit simpatisannya tersebar di PNI dan PSI.
Kemudian ada PSI pimpinan Sutan Sjahrir yang mendapatkan 15 kursi dan Partai Sosialis pimpinan Amir Sjarifuddin yang hanya meraup dua kursi.
Di luar perwakilan partai politik, terdapat wakil rakyat non partai yang jumlahnya juga lumayan besar. Pada masa itu, koalisi politik terhadap jalannya roda pemerintahan berlangsung tidak stabil.
Keputusan kabinet tak lebih dari keputusan pimpinan partai politik yang diambil dalam rapat pimpinan sehari sebelumnya. Dari 16 kelompok politik, yakni termasuk non partai, 13 di antaranya meraih jabatan penting di pemerintahan.
Namun dua partai terbesar, yaitu Masyumi dan PNI yang menjadi penentu stabilitas lembaga negara justru kurang terwakili. Merasa yakin sebagai salah satu organisasi politik langka yang menjadi simpatisan riil di masyarakat, Masyumi hanya bisa menyesali keadaan tersebut.
Dalam perjalanan sejarahnya, perolehan kursi Masyumi mengalami penurunan setelah NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik di pemilu 1955. Pada tahun 1960, Presiden Soekarno membubarkan Partai Masyumi dan PSI karena sejumlah tokohnya dianggap terlibat gerakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).
Masyumi berdiri pada 24 Oktober 1943 menyusul dilarangnya Partai Syarikat Islam Indonesia dan Partai Islam Indonesia oleh penjajah Jepang.
Masyumi mula-mula sebuah federasi dari empat organisasi Islam, yakni NU, Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam Indonesia. Namun dalam perjalanannya kemudian berubah menjadi partai politik.
Baca juga: Pedagang Malang Plaza Ungkap Dugaan Pelanggaran Pidana Pengelola Mal Pasca Kebakaran
Pada awal pemerintahan Presiden Soekarno atau Bung Karno, yakni tepatnya masa Demokrasi Liberal, kekuatan politik Masyumi telah mengungguli PNI (Partai Nasionalis Indonesia) yang hanya meraup 41 kursi atau 18 %.
Pada Agustus 1952, sebagai salah satu dari 16 partai yang masuk di parlemen, Masyumi memiliki sebanyak 50 kursi atau 21 %, dan sekaligus menjadi yang terbesar. Pencapaian Masyumi membuktikan kekuatan Islam melebihi kaum nasionalis.
“Masyumi berkat perannya yang menentukan di penghujung revolusi serta di saat kelahiran Republik persatuan, maka ia tampil sebagai kekuatan politik utama di era rezim baru dengan 50 kursi di parlemen,” demikian dikutip dari buku Partai Masjumi, Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral (2013).
Dalam peta politik nasional, Masyumi secara tegas dan gamblang mewakili kekuatan kutub Islam. Sedangkan PNI mewakili kutub golongan kaum nasionalis.
Berbeda dengan Masyumi yang banyak mengambil peran di penghujung revolusi, PNI lebih banyak mendapat untung dari sentimen kebanyakan rakyat Indonesia, yakni yang selalu mengasosiasikannya dengan Bung Karno.
PNI menjadi pewaris tradisi nasionalis akbar di masa sebelum perang sekaligus partai tunggal yang berdiri sehari setelah proklamasi kemerdekaan.
Kendati demikian, karena berbagai aliran di dalamnya, PNI kemudian terpecah -pecah menjadi beberapa partai, yakni Partai Persatuan Indonesia Raya (PIR) dan Partai Rakyat Nasional (PRN) yang masing-masing memiliki 18 kursi dan enam kursi.
“Dengan merekrut pengikut terutama dari kalangan pegawai pemerintah, baik pusat maupun daerah, mereka (PNI) mengusung kepentingan orang kecil dalam suatu bentuk nasionalisme proletarian yang disebut Marhaeinisme”.
Di luar Masyumi dan PNI, pada tahun 1952 itu juga berdiri kekuatan politik yang dianggap mewakili kutub Marxis. Salah satunya adalah PKI (Partai Komunis Indonesia) yang pasca peristiwa Madiun 1948, tidak dilarang.
Kendati demikian, dengan dibubarkannya FDR (Front Demokrasi Rakyat) PKI mengalami kemunduran besar. PKI juga tidak diterima bergabung ke dalam pemerintahan.
Namun sejumlah partai yang senafas (Marxis), tapi secara politik pesaing PKI, berhasil masuk pemerintahan. Di antaranya adalah Partai Murba yang meski hanya memiliki empat kursi di parlemen, namun tak sedikit simpatisannya tersebar di PNI dan PSI.
Kemudian ada PSI pimpinan Sutan Sjahrir yang mendapatkan 15 kursi dan Partai Sosialis pimpinan Amir Sjarifuddin yang hanya meraup dua kursi.
Di luar perwakilan partai politik, terdapat wakil rakyat non partai yang jumlahnya juga lumayan besar. Pada masa itu, koalisi politik terhadap jalannya roda pemerintahan berlangsung tidak stabil.
Keputusan kabinet tak lebih dari keputusan pimpinan partai politik yang diambil dalam rapat pimpinan sehari sebelumnya. Dari 16 kelompok politik, yakni termasuk non partai, 13 di antaranya meraih jabatan penting di pemerintahan.
Namun dua partai terbesar, yaitu Masyumi dan PNI yang menjadi penentu stabilitas lembaga negara justru kurang terwakili. Merasa yakin sebagai salah satu organisasi politik langka yang menjadi simpatisan riil di masyarakat, Masyumi hanya bisa menyesali keadaan tersebut.
Dalam perjalanan sejarahnya, perolehan kursi Masyumi mengalami penurunan setelah NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik di pemilu 1955. Pada tahun 1960, Presiden Soekarno membubarkan Partai Masyumi dan PSI karena sejumlah tokohnya dianggap terlibat gerakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).
(msd)